Fredrick Binsar Gamaliel M Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga 0shares Ketika Hutan Dianggap Sebatas Kumpulan Daun Hijau Read More Seringkali, ketika membahas perihal pengelolaan sumber daya alam, termasuk salah satunya adalah pengelolaan pariwisata, kebanyakan orang berlandas pikir pada perspektif yang bersifat antroposentris. Untuk diketahui, antroposentrisme berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu ánthrōpos yang berarti manusia dan kéntron atau center dalam bahasa Inggris yang memiliki arti pusat. Bertolak dari pengertian secara etimologis tersebut, dapat dimaknai bahwa antroposentrisme adalah suatu perspektif yang memosisikan manusia sebagai pusat dalam segala hal, termasuk dalam suatu ekosistem atau lingkungan hidup. Dikarenakan pandangan manusia sebagai pusat, berakibat pada setiap tindakan atau hal yang ada di setiap persoalan, harus memberikan manfaat pada manusia semata dan manusia berkuasa penuh atas segalanya. Hal itu tentu tidak akan menciptakan kondisi yang saling menguntungkan antara manusia dan komponen lainnya di dalam suatu ekosistem, baik komponen biotik maupun abiotik. Sederhananya, antroposentrisme adalah perwujudan keserakahan dan egoisme manusia dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya di muka bumi. Pandangan antroposentris adalah kerikil yang menghalangi manusia dalam rangka melestarikan lingkungan hidup, termasuk dalam rangka mempertahankan keindahan alam yang menjadi salah satu kunci pariwisata, terutama di Indonesia. Hal itu disebabkan karena manusia hanya fokus pada kepentingannya, yaitu meraup keuntungan dari pariwisata dan sama sekali tidak memedulikan kelangsungan atau keberlanjutan pariwisata tersebut. Lebih dari itu, pandangan antroposentris tersebut, dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk paling buruknya, yaitu individualisme yang tentu akan menjadi momok bagi cita-cita pembangunan pariwisata yang inklusif. Berdasarkan penjelasan tentang bagaimana antroposentrisme menjadi halangan bagi terciptanya pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan, tujuan kita sekarang hanya satu, menyingkirkan antroposentrisme tersebut. Terdapat satu cara untuk meniadakan antroposentrisme dalam rangka menciptakan pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia, yaitu dengan menyodorkan perspektif berbeda yang bernama ekosentrisme. Ekosentrisme, seperti namanya adalah suatu pandangan yang memosisikan manusia dan seluruh komponen lain dalam suatu ekosistem lingkungan hidup sebagai satu kesatuan dalam satu rumah tangga (bahasa Yunani: οἶκος). Pandangan ini bernapaskan pola pelestarian alam dan pengelolaan pariwisata yang egaliter. Berbeda dengan antroposentrisme, dalam ekosentrisme, posisi manusia setara dengan komponen lainnya dalam suatu ekosistem, tidak ada satu pun yang dianggap sebagai subordinasi dalam ekosistem tersebut. Oleh karena itu, pandangan ekosentrisme bisa menjadi solusi bagi terwujudnya pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan. Sejatinya, pandangan yang bersifat ekosentris sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, tidak perlu lagi diajarkan atau dilakukan suatu indoktrinasi terhadap sudut pandang tersebut bagi masyarakat Indonesia, mengapa demikian? Hal itu karena pada asalnya, ekosentrisme sudah ada di dalam tradisi dan budaya kebanyakan masyarakat Indonesia di berbagai suku bangsa. Salah satu contohnya, di masyarakat Batak Toba, Sumatera Utara atau secara spesifik pada masyarakat yang mendiami wilayah Pandumaan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Masyarakat Pandumaan memiliki satu tradisi yang biasa dilakukan sebelum melakukan penyadapan getah pohon kemenyan, yaitu Mangarontas. Salah satu agenda yang ada dalam kegiatan Mangarontas adalah membujuk pohon kemenyan dengan penuh santun dan kelemahlembutan agar sang pohon dengan kerelaannya, sudi memberikan getahnya demi pencaharian dan penghidupan masyarakat. Berangkat dari pandangan ini, kita mengerti bahwa penghormatan terhadap komponen lain yang bukan manusia di dalam ekosistem telah lama tertanam dalam kebudayaan Nusantara. Sayang, saat ini, pandangan tersebut seakan tidak lagi menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat Indonesia. Bergerak dari perspektif ekosentris yang pada asalnya telah hidup dalam masyrakat Indonesia, pembangunan pariwisata—yang biasanya menjadikan alam sebagai objeknya—harus juga dilandasi pada persepktif yang sama demi keberlanjutannya. Begitu juga dengan inklusivitas dalam pariwisata, tidak dapat disempitkan pada sekadar inklusif bagi manusia, tetapi juga inklusif terhadap seluruh komponen kepariwisataan, termasuk yang bukan manusia. Dengan begitu, strategi pembangunan kepariwisataan akan jauh lebih efektif, bahkan lebih memberikan manfaat bagi manusia karena pariwisata dapat terjaga kelestariannya dan terjaga nilai gunanya dalam waktu yang lebih panjang. Tentu, jalan supaya dapat mencapai pola pembangunan pariwisata yang ekosentris tersebut akan memerlukan waktu dan proses, baik melalui internalisasi nilai dan paham ekosentrisme maupun melalui perumusan kebijakan pariwisata yang ekosentris. Kita ketahui bersama, banyak kegiatan pariwisata berlokasi di daerah yang cenderung jauh dari perkotaan dan tidak sedikit yang merupakan lokasi pedesaan tradisional dari suatu entitas kebudayaan. Seharusnya, hal itu memberikan keuntungan tersendiri bagi para penyelenggara dan pegiat pariwisata karena dengan begitu, lebih mudah untuk memantapkan ekosentrisme sebagai budaya dan tradisi yang biasanya, memang terdapat pada setiap budaya masyarakat tradisional di Indonesia. Salah satu contoh yang paling nyata, desa Kanekes, tempat bermukimnya masyarakat suku Badui atau urang Kanekes yang sekaligus menjadi tempat wisata. Sekalipun menjadi tempat wisata, desa Kanekes tidak kehilangan kelestarian alamnya karena masyrakatnya dengan tegas menganggap alam sebagai sahabat dan harus terus dijaga kelestariannya. Bagi mereka, tidak ada tawar menawar dalam kelestarian alam. Desa Kanekes hanya satu dari banyak lagi contoh yang bisa kita pakai untuk membuktikan bahwa dengan mengutamakan kelestarian, pariwisata tidak akan kehilangan kemanfaatannya, bahkan bisa menambah nilai intrinsik tersendiri. Penghormatan terhadap apa yang kita anggap sebagai objek wisata perlu benar-benar gencar ditanamkan dalam pikiran, bahkan dalam rumusan kebijakan. Belakangan di kala pandemi covid-19 melanda , ada satu contoh kasus yang menggambarkan bagaimana manusia tidak memosisikan apa yang disebut objek pariwisata dalam posisi yang penting, yaitu ketika seekor harimau di Kebun Binatang Simalingkar Kota Medan atau Medan Zoo ditemukan dalam kondisi kurus dan sakit karena minimnya pengelolaan, terutama dikarenakan pandemi. Hal ini sungguh bertentangan dengan apa yang menjadi pandangan banyak masyarakat tradisional di Indonesia. Di beberapa tradisi dan kebudayaan, harimau dianggap sebagai sosok yang dihormati, bahkan jauh lebih dihormati ketimbang manusia. Posisi harimau—sebagai hewan yang sering menjadi objek wisata—dalam beberapa tradisi kebudayaan dianggap sebagai sosok yang dituakan, terdapat banyak panggilan kehormatannya, seperti Ompung di Batak Toba, Inyiak Balang di Minangkabau, Mbah Loreng di Jawa, dll. Hal itu menjadi bukti bahwa pandangan ekosentris, sejatinya, telah ada dan nyata di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kini, pandangan tersebut perlu kita hidupkan kembali agar tidak lagi terjadi tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan jati diri Indonesia yang ekosentris. Referensi: Keraf, Sonny. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius. Nasution, Miftah. 2018. “Mangarontas, Ritual Wajib Sebelum Menggarap Pohon Haminjon”, http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/mangarontas-ritual-wajib-sebelum-menggarap-pohon-haminjon/, diakses pada 28 September 2021, pukul 20.16 WIB. Marley, Dinda. 2020. “Haminjon, Si Pembawa Berkah yang Diambang Punah”, https://laketoba.travel/haminjon-si-pembawa-berkah-yang-diambang-punah/, diakses pada 28 September 2021, pukul 20.18 WIB. Koagouw, Miechell Octovy. 2019. “Desa Kanekes Baduy, Keteguhan Adat Budaya Lokal di Alam Modernisasi”, https://rri.co.id/humaniora/wisata/687896/desa-kanekes-baduy-keteguhan-adat-budaya-lokal-di-alam-modernisasi, diakses pada 28 September 2021, pukul 20.33 WIB. Efendi, Reza. 2021. “Bintang Baringin, Harimau Sumatera Medan Zoo yang Viral Karena Kurus dan Makan Rumput”, https://www.liputan6.com/regional/read/4668370/bintang-baringin-harimau-sumatera-medan-zoo-yang-viral-karena-kurus-dan-makan-rumput, diakses pada 28 September 2021, pukul 20.38 WIB. Tumanggor, Fetra. 2018. “Kisah Babiat Sitelpang, Legenda Harimau yang Menjadi Ompung Bagi Orang Batak”, https://www.tagar.id/kisah-babiat-sitelpang-legenda-harimau-yang-menjadi-ompung-bagi-orang-batak, diakses pada 28 September 2021, pukul 21.48 WIB. Yulicef, Anthony. 2014. “Legenda Klasik Harimau di Minangkabau”, https://www.jpnn.com/news/legenda-klasik-harimau-di-minangkabau”, diakses pada 28 September 2021, pukul 21.50 WIB. Kusumo, Rizky. 2021. ” Cerita Mbah Loreng dan Bentuk Penghormatan Orang Jawa kepada Harimau”, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/07/15/cerita-mbah-loreng-dan-bentuk-penghormatan-orang-jawa-kepada-harimau, diakses pada 28 September 2021, pukul 20.41 WIB.