Asrul Ibrahim Nur Legal Analyst 0shares MENYULUT ENERGI HIJAU DARI EMAS CAIR: PERAN STRATEGIS KELAPA SAWIT DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Read More Perubahan iklim mengakibatkan anomali cuaca yang terjadi belakangan ini. Hal ini menunjukkan manusia harus beradaptasi serta memitigasi risiko untuk hidup harmonis dengan alam. Data yang dirilis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tahun 2021 menunjukkan bahwa pada bulan Juni terjadi kenaikan suhu udara di Indonesia sebesar 0,5 ºC dan merupakan tertinggi kelima sejak tahun 1981. Fenomena ini adalah bukti nyata yang tidak terbantahkan bahwa perubahan iklim membawa implikasi bagi penduduk Indonesia. Emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan salah satu pemicu terjadinya perubahan iklim yang dihasilkan dari kegiatan manusia di berbagai sektor seperti industri, pertanian, kehutanan, dan energi. Berdasarkan Laporan Inventarisasi GRK dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi Tahun 2020 diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menempatkan sektor kehutanan dan energi sebagai salah satu penghasil emisi GRK terbesar pada tahun 2019. Sektor kehutanan berkontribusi sebesar 50% sedangkan sektor energi sebesar 34% dari total energi nasional. Dibutuhkan kebijakan progresif untuk menekan jumlah emisi GRK yang dihasilkan setiap tahun mengingat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim PBB serta berkomitmen dalam Paris Agreement untuk mengurangi emisi sesuai kesepakatan. Berharap pada Kendaraan Listrik Indonesia secara nasional pada tahun 2020 menghasilkan total emisi GRK sebesar 1.866.552 GgCO2e. Pada tahun yang sama sektor energi menyumbang 638.808 GgCO2e setara dengan 34% dari total emisi. Jika dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 44%, emisi GRK yang dihasilkan sektor energi turun 10% (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020). Emisi GRK yang dihasilkan dari sektor energi berasal dari pengadaan/penyediaan energi dan penggunaannya seperti transportasi kendaraan konvensional dalam memproduksi emisi dari bahan bakar fosil. Sebanyak 98% permintaan energi untuk transportasi di Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil seperti bensin, solar, dan avtur (Dewan Energi Nasional, 2019). Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya jumlah kendaraan konvensional sebanyak tujuh juta unit setiap tahun (Badan Pusat Statistik, 2021). Jika dibiarkan begitu saja maka Indonesia dapat ditempatkan sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di tengah upaya negara lain mengurangi emisi melalui transformasi penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan. Kehadiran kendaraan listrik dapat menjadi solusi untuk mengurangi emisi GRK dari sektor energi khususnya penggunaan transportasi. Saat ini kendaraan listrik belum terlalu dikenal di Indonesia, meskipun secara regulasi pada tahun 2019 lalu Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan (Perpres Kendaraan Listrik). Bahkan sebelumnya dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 hingga tahun 2050 ditargetkan jumlah populasi kendaraan listrik mencapai 2.200 unit untuk mobil dan 2,1 juta unit untuk motor. Meskipun demikian, hingga tahun 2021 nyatanya ekosistem kendaraan listrik belum terbentuk dengan baik di Indonesia. Momentum Pandemi COVID-19 justru memperburuk kondisi tersebut dengan adanya kebijakan insentif pajak 0% bagi kendaraan konvensional khususnya roda empat yang membuat meroketnya penjualan di tahun 2021. Membangun ekosistem kendaraan listrik memang tidak mudah, terutama mentransformasikan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil menjadi energi terbarukan. Menurut Marciano (2021), terdapat lima penyebab tidak terbentuknya ekosistem kendaraan listrik di Indonesia yaitu infrastruktur pengisian daya, model dan pasokan, kesadaran dan penerimaan publik, rantai pasokan baterai dan komponennya, dan minimnya insentif dari pemerintah. Kondisi ini berbeda dengan negara lain yang telah menggunakan kendaraan listrik secara masif seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Norwegia. Bahkan kendaraan listrik di Norwegia menguasai 54,3% penjualan mobil (theguardian.com, 2021). Hal ini berarti mayoritas masyarakat negara Skandinavia telah sadar dan menerima kendaraan listrik untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari serta kuatnya dukungan kebijakan pemerintah setempat. Indonesia mau tidak mau wajib mengikuti langkah ini jika tidak ingin tertinggal dalam penggunaan teknologi masa depan sekaligus mengurangi emisi GRK yang terkait dengan pengendalian dampak perubahan iklim. Tiga alasan Indonesia perlu secara progresif mempercepat penggunaan kendaraan listrik secara masif. Pertama, Indonesia termasuk negara sepuluh besar penghasil emisi GRK dan seiring pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi serta jumlah populasi kendaraan konvensional maka peningkatan emisi GRK sangat memungkinkan terjadi jika tidak ada kebijakan yang berusaha menekannya. Kedua, tingginya permintaan bahan bakar fosil untuk kebutuhan transportasi dalam jangka panjang harus dibatasi dan diubah menjadi energi terbarukan mengingat kemampuan untuk memproduksi minyak dan gas bumi semakin terbatas. Ketiga, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim serta dan protokolnya, oleh karena itu dibutuhkan tindakan nyata sebagai wujud komitmen implementasi. Next Generation Energy Technology Policy Sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas, Indonesia membutuhkan kebijakan yang progresif terkait penggunaan kendaraan listrik bagi publik untuk mengurangi emisi GRK dari sektor energi khususnya transportasi. Bradbrook (2011) mengusulkan Next Generation Energy Technology sebagai panduan dalam merumuskan kebijakan teknologi masa depan. Konsep tersebut menyebutkan terdapat lima faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan teknologi energi mutakhir (next generation) yaitu perlindungan hukum bagi produsen dan konsumen, instrumen hukum yang kuat, pelibatan industri lokal, edukasi kepada masyarakat, dan iklim investasi yang baik dan stabil (Bradbrook, 2011). Lima faktor keberhasilan tersebut jika dijawantahkan dalam kebijakan kendaraan listrik di Indonesia maka negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi produsen dan konsumen dengan menggunakan instrumen hukum yang kuat. Korelasi antara perlindungan hukum dan instrumen hukum terletak pada keluarannya yaitu kepastian hukum. Investor tentu akan ragu untuk menanamkan modal pada industri yang minim perlindungan hukum, kondisi berlaku pula pada konsumen yang akan berganti dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik. Hal ini juga sangat terkait dengan upaya menciptakan iklim investasi yang baik dan stabil, selain perlindungan hukum juga diperlukan insentif dan disinsentif dalam mendukung perkembangan industri teknologi energi yang belum berkembang secara nasional. Untuk itu maka penulis mendorong agar kebijakan kendaraan listrik menggunakan instrumen hukum berupa Undang-Undang atau minimal Peraturan Pemerintah agar dapat memberikan perlindungan hukum yang maksimal. Melibatkan industri lokal juga sangat dibutuhkan agar manfaat ekonomi industri teknologi energi mutakhir juga dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Faktor ini juga sangat terkait dengan edukasi kepada masyarakat, dengan adanya edukasi yang baik dan masif maka masyarakat dapat menerima kehadiran teknologi baru serta memanfaatkan peluang ekonomi yang muncul. Melalui perlindungan hukum yang kuat dan kesadaran masyarakat akan manfaat teknologi kendaraan listrik maka kebijakan pemerintah dapat terlaksana dengan baik. Sebaliknya, jika tidak maka jangan pernah berharap penetrasi teknologi kendaraan listrik ke masyarakat akan terjadi dengan mudah bahkan sangat mungkin terjadi resistensi yang berakibat pada tidak tercapainya target pengurangan emisi GRK Indonesia. Mencapai Target 2030 Penggunaan kendaraan listrik secara masif oleh publik di Indonesia selain untuk mengurangi emisi GRK sebagai upaya pengendalian perubahan iklim juga merupakan usaha untuk mencapai target yang ditetapkan oleh PBB dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) khususnya Tujuan 13 yaitu “Mengambil aksi segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.” Setidaknya terdapat tiga faktor yang merupakan intisari dari lima faktor keberhasilan Next Generation Energy Technology Policy menurut Lyster dan Bradbrook (22006) yaitu regulasi, stimulasi, dan edukasi. Kendaraan listrik, perubahan iklim, atau bahkan TPB itu sendiri seringkali menjadi isu elit yang tidak pernah didengar atau diperbincangkan oleh masyarakat lapisan bawah. Oleh karena itu diperlukan regulasi, stimulasi, dan edukasi baik dari pemerintah ataupun pemangku kepentingan lain agar agenda global ini dapat juga terserap menjadi agenda lokal yang manfaatnya secara nyata dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Regulasi tentu menjadi tugas pemerintah yang sebaiknya tidak hanya menjadi tugas satu Kementerian saja, tetapi menjadi agenda nasional yang dinarasikan oleh Presiden selaku Kepala Negara. Stimulasi dapat berasal dari pemerintah ataupun korporasi baik berupa insentif dalam kebijakan publik, promosi produk, atau bahkan pemberian perlakuan khusus (afirmasi). Edukasi menjadi tugas bersama seluruh pemangku kepentingan agar TPB menjadi isu yang dibicarakan dan dihayati sebagai bagian dari ikhtiar menuju hidup yang lebih baik. Penutup Kendaraan listrik mungkin bagi sebagian orang adalah utopia yang hanya bisa dilihat dalam film Hollywood. Namun demikian, terdapat harapan terhadap penggunaan teknologi ramah lingkungan tersebut untuk dapat mengurangi emisi GRK dan membantu upaya pengendalian perubahan iklim. Pemerintah secara penuh bertanggungjawab agar utopia tersebut dapat terimplementasi di Indonesia. Kebijakan yang progresif disertai dengan edukasi yang masif kepada masyarakat menjadi kunci keberhasilan untuk memasyarakatkan kendaraan listrik sebagai pengganti kendaraan berbahan bakar energi fosil. Referensi Bradbrook, A. J. (2011). Creating Law for Next Generation Energy Technologies. Journal of Energy & Environmental Law, Winter 201, 17–38. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Ekstrem Perubahan Iklim, dalam https://www.bmkg.go.id/iklim/?p=ekstrem-perubahan-iklim diakses 2 Juli 2021 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis (Unit) 2017-2019, dalam https://www.bps.go.id/indicator/17/57/1/jumlah-kendaraan-bermotor.html, diakses 2 Juli 2021. Dewan Energi Nasional. (2019). Indonesia Energy Outlook 2019. (Jakarta: Dewan Energi Nasional). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Laporan Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV). (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Lyster, Rosemary dan Bradbrook, A. J. (2006). Energy Law and the Environment.(Cambridge: Cambridge University Press). Marciano, Idoan. (2021). Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalamana Amerika Serikat, Norwegia, dan China. (Jakarta: Institure for Essential Services Reform). The Guardian. 2021. Electric cars rise to record 54% market share in Norway dalam https://www.theguardian.com/environment/2021/jan/05/electric-cars-record-market-share-norway diakses 2 Juli 2021.
MENYULUT ENERGI HIJAU DARI EMAS CAIR: PERAN STRATEGIS KELAPA SAWIT DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Read More