fbpx
Pixabay/Cong Vu

Meminimalisir Potensi Timbulan Food Loss dengan Memanfaatkan Program Korporasi Petani

Sebagai negara agraris dan merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya mengonsumsi bahan pangan pokok hasil pertanian seperti beras. Untuk akhirnya bahan pokok tersebut sampai ke masyarakat, terdapat proses bisnis yang panjang yang melibatkan banyak orang. Aktivitas itu diantaranya penyemaian bibit, proses panen, pasca panen, penyimpanan, pengolahan dan lain sebagainya yang kemudian dilanjutkan ke tahap distribusi dan/atau pemasaran dan sampai akhirnya produk tersebut diterima oleh masyarakat. Dan di dalam proses-proses tersebut, ada potensi masalah yang timbul yaitu sampah. Sampah yang dimaksud disini adalah food loss. Penyebabnya tentu ialah ketidakefisienan di dalam proses produksi.

Timbulan food loss bukanlah persoalan remeh. Berdasarkan laporan kajian Bappenas berjudul Food Loss and Waste di Indonesia yang diluncurkan tahun 2021, timbulan food loss di tahap produksi mencapai 7-12,3 juta ton/tahun, di tahap pascapanen dan penyimpanan sebesar 6,1-9,9 juta ton/tahun, serta di tahap pemrosesan dan pengemasan 1,1-1,8 juta ton/tahun. Lebih lanjut, pada laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa subsektor tanaman pangan berkontribusi menyumbangkan Food Loss and Waste (FLW) paling besar yaitu 14-24 juta ton setiap tahun.

Diantara 11 kelompok Neraca Bahan Makanan nasional, FLW terbesar ada pada komoditas padi. Besarnya tonase FLW ini tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi namun juga kerugian sosial sebab jutaan ton bahan pangan ini mengandung nutrisi yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup sehat. Kehilangan zat besi sepanjang tahun 2009-2019 yang rata-ratanya adalah 4-7 mg setiap orang/hari. Apabila angka tersebut diakumulasikan, maka nilainya dapat memenuhi kebutuhan zat besi seluruh ibu hamil di Indonesia. Melihat permasalahan dan kerugian yang ditimbulkan akibat FLW maka perlu solusi yang menyeluruh. Menyeluruh dari sisi perencanaan, keterlibatan, sasaran dan evaluasinya.

Apa itu Korporasi Petani?

Food loss di dalam proses produksi bahan pangan hasil pertanian adalah suatu kondisi yang bisa dikendalikan atau dengan kata lain diantisipasi. Salah satu pilihan solusi yang dapat dipertimbangkan yakni dengan mengarahkan program Korporasi Petani untuk dapat mendukung pengurangan food loss. Sekilas mengenai program Korporasi Petani dan Nelayan, program ini di dalam RPJMN 2020-2014 telah ditetapkan sebagai salah satu Program Prioritas yang diterjemahkan ke dalam Kegiatan Prioritas untuk meningkatkan produktivitas keberlanjutan SDM pertanian dan kepastian pasar.

Sebagai pelaksanaan Kegiatan Prioritas dimaksud, ditetapkan Major Project (MP) ditargetkan terbentuk 350 Korporasi Petani dan Nelayan di seluruh Indonesia. MP ini merupakan strategi agar terbentuk iklim yang baik bagi usaha pertanian dan perikanan dan mendorong terciptanya jiwa kewirausahaan dalam bentuk penguatan lembaga petani dan nelayan. Selain untuk mendorong produktivitas, Korporasi Petani dan Nelayan juga bertujuan untuk mengubah posisi petani yang selama ini diperlakukan dan dipandangan semata hanya sebagai kaum penerima derma dan bergantung pada pembiayaan pemerintah sehingga petani dan nelayan menjadi kelompok, yang mampu mengelola pendanaan mandiri seperti investasi dan swasta, memiliki daya tawar dan menjadi partisipan aktif dalam proses bisnis. Pada tahun 2021 ini ditargetkan akan terbentuk 33 Korporasi Petani dan Nelayan dan peningkatan produktivitas komoditas sebanyak 5%.

Contoh Korporasi Petani (Salah Satu Lokasi Pilot Project yang Ditunjuk Pemerintah)

Di Kabupaten Demak, Jawa Tengah terdapat suatu lokasi pilot project kawasan pertanian berbasis korporasi yaitu KSU Citra Kinaraya. Dalam produksinya, KSU Citra Kinaraya berkomitmen mendukung keberlanjutan pangan (food sustanability). Hal ini dilakukan dengan membangun pola budidaya pertanian yang modern dengan sistem terjadwal dan terkoordinasi. SOP budidaya ini diterapkan agar diperoleh hasil yang sesuai standard korporasi, baik dari sisi kualitas (premium organik) dan kuantitas panen. Dalam hal ini menjadi tantangan ialah memastikan agar para petani yang notabene berpendidikan rendah dan berusia tua untuk dapat mengikuti SOP. Hal mengajak petani untuk bergerak bersama dalam manajemen dan pengelolaan mulai dari budiday sampai produk jadi ini diakui oleh mereka sebagai salah satu kesulitan dalam Korporasi Petani.

Berbeda dengan sistem pertanian konvensional yang menggunakan bahan-bahan seperti pupuk dan pestisida kimiawi yang berpotensi merusak lingkungan, praktik pertanian pangan organik mempergunakan material yang aman bagi kelangsungan ekosistem lingkungan seperti misalnya pupuk dan pestisida dari input alami termasuk olahan limbah industri. KSU Citra Kinaraya telah melakukannya yaitu dengan mengolah limbah atau sampah hasil produksi sehingga dari limbah/sampah tersebut dihasilkan pupuk dan pakan ternak. Meskipun lokasi pabrik tidak terlalu besar, namun mereka berusaha memaksimalkan penggunaan luas area yang ada sehingga sampah tidak nampak berserakan dan tersimpan di tempat khusus.

Perlunya Ekstensifikasi Program Korporasi Petani untuk Menyasar Persoalan Food Loss

Program Korporasi Petani bisa membantu menyasar persoalan food loss jikalau program tersebut dibarengi dengan pemberian pendampingan agar aspek manajemen di dalam Korporasi Petani bisa menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Handling Practice (GHP). Pola budidaya dan produksi yang baik akan sangat memengaruhi potensi timbulan sampah. Hal yang sama juga dijelaskan dalam kajian Bappenas sebagaimana disebutkan di atas, dimana aspek teknis seperti teknik panen, teknologi, kualitas ruang penyimpanan dan kurangnya implementasi GHP merupakan faktor penyebab langsung timbulnya food loss.

Mengenai GHP, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 22 Tahun 2015 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian Asal Tanaman yang Baik menjelaskan bahwa GHP mencakup hal-hal seperti tata cara penanganan setelah panen (perontokan, pembersihan, pemilahan, pengeringan pengemasan, penyimpanan pengangkutan, dsb); lokasi penanganan pasca panen; standard bangunan; peralatan dan mesin; keamanan dan keselamatan kerja; pengelolaan lingkungan; kesehatan dan keterampilan pekerja, dan lainnya.

Kesiapan linear 2 aspek yaitu sarana dan prasarana serta SDM yang terampil merupakan faktor fundamental dalam membangun menejemen produksi pangan yang efisien. Sarana dan pra sarana termasuk di dalamnya penggunaan teknologi ramah lingkungan menjadi penting sebab kesemuanya merupakan elemen penting dalam menciptakan proses produksi yang minim food loss. Contohnya saja, untuk menyimpan gabah perlu ada ruang penyimpanan yang dilengkapi alat pengontrol suhu dan kelembaban, sehingga kadar air dalam beras bisa terjaga.

Hal-hal tersebut tidak hanya akan mempengaruhi kualitas output tetapi juga kemungkinan akan timbulnya food loss. Selain faktor alat dan proporsionalitas infrastruktur, hal yang tak kalah penting adalah keterampilan SDM. SDM disini tidak hanya yang bekerja di pabrik tapi juga para petani. Mereka semua inilah yang terlibat langsung dalam proses hulu sampai hilir di sepanjang alur produksi. Petani, pekerja dan pengelola pabrik perlu diberikan pendampingan dan pelatihan agar lebih terampil. Selain kemampuan teknis, hal-hal dasar seperti pengetahuan akan apa itu keberlanjutan dan tanggung jawab seluruh pihak dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem juga perlu diberikan.

Korporasi Petani adalah program yang tepat serta perlu dimaksimalkan untuk dapat turut menyasar persoalan-persoalan yang berkaitan dengan manajemen produksi bahan pangan. Target utama dari program Korporasi Petani memang untuk menggenjot produktivitas, namun melambungnya produktivitas tanpa penerapan GAP dan GHP yang mumpuni bisa memperbesar potensi timbulan sampah di proses produksi. Juga sejatinya memang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan manajemen produksi pangan tidak bisa dilihat secara. Semuanya saling berhubungan dan saling mendukung.

Kebijakan atau program solutif sejatinya tidak harus selalu baru namun bisa dilakukan dengan memanfaatkan program/kegiatan yang sedang berjalan mengarahkannya untuk juga menyasar isu-isu yang saling beririsan. Di samping dukungan finansial, pemberian dukungan sarana dan pendampingan keterampilan teknis tentu sangat dibutuhkan Korporasi Petani dan Nelayan. Dukungan ini tidak hanya dari pemerintah pusat dan daerah namun juga dari swasta dan akademisi. Keberadaan major project ini bisa menjadi momentum untuk membangun sistem pangan yang efisien dan rendah food loss.