fbpx
Pixabay/Valentin J-W

Mewujudkan Transisi Energi Terbarukan yang Berkeadilan Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Mewujudkan Transisi Energi Terbarukan yang Berkeadilan Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

 

Pengantar

Dewasa ini, kita dihadapkan dengan pelbagai krisis multidimensional yang memerlukan penanganan masalah dengan pendekatan yang sensitif terhadap aspek-aspek yang dipengaruhi. Salah satu krisis besar di masa ini, yang mana tiada seorang pun dapat luput dari pengaruhnya, ialah krisis iklim. Oleh karena perubahan iklim, serta aktivitas-aktivitas manusia yang menimbulkan akselerasinya, kian hari manusia menemui bencana yang “magnitudo” pengaruhnya tidak terbatas oleh jarak maupun batas negara. Sebagai akibat dari perubahan iklim, diproyeksikan bahwa penyebaran patogen baru seperti Covid-19 dapat kembali terjadi di masa depan (Rodó et al., 2021). Selain itu, usaha untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik memerlukan cara penanganan yang tidak hanya terpaku pada tataran teknis. Penanganan perubahan iklim juga perlu untuk menjawab kerentanan yang dihadapi oleh berbagai kelompok marjinal, sebagai pihak yang paling terdampak dari adanya krisis iklim. Berangkat dari perlunya pendekatan yang memperhatikan aspek sosial maupun ekonomi, transisi menuju energi terbarukan yang berkeadilan hadir sebagai salah satu jalan untuk mengatasi perubahan iklim.

Problematika Aksesibilitas dan Ketergantungan Pada Energi Fosil

Seiring dengan berkembangnya teknologi, dunia kian hari kian terdigitalisasi dan mayoritas aktivitas manusia pun kini bertumpu pada keberadaan mesin serta alat yang memerlukan energi. Sentralnya energi dalam kehidupan manusia dewasa ini juga bertautan dengan peran energi sebagai salah satu faktor pendorong pencapaian pembangunan ekonomi. Tak ayal, aksesibilitas serta terpenuhinya kebutuhan suatu komunitas atas energi menjadi satu dari beberapa komponen paling diprioritaskan dalam usaha mewujudkan pembangunan ekonomi. Selama beberapa dekade hingga kini, energi fosil menjadi sumber energi yang paling dominan hal ini terbukti dari proporsi energi fosil yang mencapai 79,7% dari total keseluruhan konsumsi energi dunia (World Bank, 2015). Selain itu, untuk merespons kebutuhan energi yang kian meningkat, pemerintah Indonesia membangun beberapa infrastruktur pembangkit energi berbasis batubara berskala besar (Maulidia et al., 2019). Sayangnya, keberadaan infrastruktur energi fosil yang skalanya masif ini masih belum mampu menjawab persoalan mengenai akses dan kebutuhan atas energi masyarakat Indonesia secara komprehensif.

Meskipun rasio elektrifikasi Indonesia telah mencapai 99,20% pada tahun 2020 (ESDM, 2021), namun tingginya kuantitas ini belum dapat diterjemahkan ke dalam derajat kualitas akses elektrifikasi itu sendiri. Akses yang berkualitas ini di antaranya meliputi parameter seperti layak secara lingkungan (environmental soundness) dan keterjangkauan (affordability) (IESR, 2019). Padahal, energi fosil menyumbang 70% dari total emisi gas rumah kaca global (Olivier et al., 2017), sehingga ketergantungan pada sumber energi fosil turut berkontribusi pada akselerasi krisis iklim. Salah satu solusi yang harus ditempuh untuk memitigasi efek emisi karbon akibat penggunaan energi fosil adalah beralih menggunakan energi terbarukan (Johnsson et al., 2019). Selain sebagai bentuk pemenuhan atas tujuan SDG ketujuh, yaitu “Energi Bersih dan Terjangkau”, peralihan ke energi terbarukan juga akan turut berkontribusi pada perwujudan usaha-usaha untuk tujuan SDG ketigabelas, yaitu “Penanganan Perubahan Iklim”.

Energi Terbarukan Untuk Pembangunan Berkelanjutan

Energi terbarukan merupakan pemanfaatan sumber-sumber energi seperti tenaga surya, turbin angin, energi ombak laut, serta tenaga hidroelektrik sebagai beberapa contohnya (Barreto, 2018). Bentuk-bentuk energi tersebut adalah sumber energi alternatif yang mumpuni dan ramah lingkungan dikarenakan rendahnya emisi karbon yang diproduksi dari konsumsi energi tersebut, serta konstruksi maupun pengoperasian infrastruktur pembangkitnya (Pehl et al., 2017). Oleh karena rendahnya emisi yang dihasilkan dari konsumsi energi terbarukan, transisi menuju sumber energi terbarukan ini merupakan langkah penting yang harus ditempuh untuk memitigasi dampak perubahan iklim serta untuk mewujudkan masa depan yang lebih hijau. Maka dari itu, peralihan menuju energi terbarukan juga merupakan salah satu perwujudan konkret dalam aksi untuk memenuhi parameter pembangunan berkelanjutan, yaitu tujuan ketigabelas yang adalah “Penanganan Perubahan Iklim”. Selain itu, sebagai bentuk mekanisme deliberasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ketujuh, yaitu “Energi Bersih dan Terjangkau”, keterjangkauan energi yang dapat ditawarkan oleh bentuk energi bersih ini mewujud pada ketersediaan sumbernya di alam Indonesia.

Meskipun tingkat pemanfaatannya masih tergolong sangat rendah, Indonesia memiliki sumber daya serta potensi energi alternatif dan terbarukan yang berlimpah (Gielen et al., 2017). Sumber energi terbarukan seperti angin, air maupun tenaga surya jumlahnya tidak hanya berlimpah, namun ketersediaannya di lingkup lokal juga tidak terhalang oleh batas geografis tertentu. Keberadaan sumber energi yang dekat dengan subyek yang akan mengkonsumsi energi ini dapat menyederhanakan alur pendistribusian energi, dan masyarakat lokal yang mengonsumsi pun dapat terlibat secara langsung dalam pengelolaannya. Akibat dari karakteristiknya tersebut pula, energi terbarukan merupakan pilihan alternatif dari sumber energi tradisional seperti minyak bumi maupun batubara, sehingga dapat mengatasi problematika mengenai elektrifikasi di Indonesia yang sebagian besar diukur hanya dari segi kuantitas (IESR, 2019). Keberadaan sumber energi yang melimpah ini dapat dengan mumpuni menjawab pemenuhan aspek lain dari elektrifikasi di Indonesia, seperti kualitas, keterjangkauan, kecukupan, kehandalan, serta layak secara lingkungan (IESR, 2019). Dengan potensi yang dimiliki oleh sumber energi alternatif, komunitas masyarakat dapat mengandalkan energi terbarukan untuk menjawab kebutuhan energi mereka dengan lebih berkualitas.

Sistem Desentralisasi Energi Terbarukan

Sumber energi terbarukan di Indonesia secara kuantitas sangatlah berlimpah, dan potensi pemanfaatannya dapat berkontribusi pada upaya mitigasi efek perubahan iklim secara global. Selain itu, oleh karena karakteristiknya yang terjangkau, berlimpah, serta ramah lingkungan, transisi menuju penggunaan energi terbarukan juga akan menjawab tantangan mengenai energy trilemma. Segitiga alat ukur energi ini mendefinisikan tiga dilema yang kerap kali dihadapi dalam diskursus mengenai energi, yaitu keterjangkauan, keamanan atas energi serta keberlanjutan dari pemanfaatan energi tersebut (Adriansyah et al., 2012). Dalam mewujudkan transisi menuju energi terbarukan ini, salah satu cara yang bisa diupayakan adalah melalui sistem desentralisasi energi. Sistem desentralisasi energi merupakan sebuah bentuk sistem pembangkit dan distribusi energi yang dihasilkan secara lokal dan dalam batas geografi yang spesifik (Jain & Kattuman, 2015). Oleh karena itu, sistem desentralisasi energi dapat mempersingkat atau bahkan menghilangkan (Jain & Kattuman, 2015) alur transmisi energi yang umum adanya pada sistem pembangkit energi tradisional. Sebagai bentuk dari desentralisasi energi, sistem pembangkit mini-grid yang merupakan infrastruktur energi berskala kecil hingga sedang dapat mendistribusikan tenaga ke rumah tangga dalam komunitas, usaha ekonomi serta institusi pemerintah dalam lingkup lokal (Leopold et al., 2015). Pemanfaatan sistem mini-grid akan dapat menjawab kebutuhan energi daerah-daerah di Indonesia yang sebelumnya kesulitan mengakses energi yang memenuhi parameter energy trilemma karena keterbatasan geografis, baik karena jarak maupun halangan berupa bentang alam.

Tantangan dan Peluang

Energi terbarukan dapat menjadi jawaban dari tantangan energy trilemma di Indonesia. Dari berbagai aspek yang telah dieksplor di tulisan ini, energi terbarukan menjadi opsi alternatif yang unggul bagi pemenuhan kebutuhan energi Indonesia dan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pada transisi menuju energi terbarukan, ada tantangan yang perlu ditangani dengan baik oleh semua pihak demi terwujudnya transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Di skala lokal, dalam pembangunan sistem desentralisasi energi misalnya, pihak yang terlibat di dalamnya (pemerintah, pihak swasta, dan komunitas lokal) harus memperhatikan aspek-aspek penunjang keberlanjutan sistem energi seperti “teknis, finansial, regulasi dan juga institusional” (Jain & Kattuman, 2015). Pada lingkup nasional, pemerintah harus mengatasi tantangan dalam transisi energi terbarukan, seperti kurangnya sinergitas antar lembaga negara pada isu mengenai energi, serta struktur pasar dan ekonomi yang masih sangat permisif terhadap dominasi energi fosil di Indonesia.

Selain itu, untuk mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkeadilan, pihak yang terlibat dalam pembangunan serta pengambilan keputusan harus sensitif terhadap kondisi sosial, ekonomi serta kultural masyarakat Indonesia. Infrastruktur energi terbarukan yang intensif-lahan berpotensi menimbulkan konflik agraria (Froese & Schilling, 2019) jika pembangunan yang dilakukan luput menginkorporasi perspektif masyarakat lokal atas ruang hidupnya. Absennya sensitivitas terhadap aspek gender dalam pembangunan infrastruktur energi alternatif juga dapat meningkatkan kerentanan perempuan yang sebagian besar bekerja pada dan mengurus ranah domestik. Oleh karena itu, potensi perwujudan berbagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan harus dilengkapi dengan kacamata sosio-ekonomi serta kultural yang berperspektif komunitas yang dipengaruhi. Dengan perspektif tersebut, transisi menuju energi terbarukan tidak hanya memenuhi aspek-aspek teknis seperti efisiensi, namun juga berkontribusi pada aktualisasi derajat hidup rakyat Indonesia yang lebih baik.

Kesimpulan

Transisi menuju energi terbarukan memiliki potensi yang melimpah bagi pemenuhan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, beberapa di antaranya ialah tujuan ketujuh “Energi Bersih dan Terjangkau” serta tujuan ketigabelas yaitu “Penanganan Perubahan Iklim”. Dengan sistem desentralisasi energi yang memungkinkan dilakukan dengan sumber energi terbarukan, permasalahan yang muncul dalam diskursus mengenai energy trilemma akan dapat dijawab tanpa dikarenakan kualitas yang dimiliki oleh bentuk energi terbarukan. Untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan serta berkelanjutan, perlu adanya sinergitas atas aktor yang terlibat dalam pembangunan dan pengambilan keputusan pada ranah energi terbarukan. Selain itu, sensitivitas atas elemen sosial, ekonomi dan kultural masyarakat Indonesia merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam transisi menuju energi terbarukan yang berkeadilan.

 

Referensi

Ardiansyah, F., Gunningham, N., & Drahos, P. (2012). An environmental perspective on energy development in indonesia. In M. Caballero-Anthony, Y. Chang, & N. A. Putra (Eds.), Energy and Non-Traditional Security (NTS) in Asia (Vol. 1, pp. 89–117). Springer Berlin Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-642-29706-9_5

Barreto, R. A. (2018). Fossil fuels, alternative energy and economic growth. Economic Modelling, 75, 196–220. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2018.06.019

ESDM. (2021, January 13). Capaian kinerja ketenagalistrikan 2020, rasio elektrifikasi capai 99,20%. ESDM. https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/capaian-kinerja-ketenagalistrikan-2020-rasio-elektrifikasi-capai-9920

Froese, R., & Schilling, J. (2019). The nexus of climate change, land use, and conflicts. Current Climate Change Reports, 5(1), 24–35. https://doi.org/10.1007/s40641-019-00122-1

Gielen, D., Saygin, D., Rigter, J., & International Renewable Energy Agency. (2017). Renewable energy prospects: Indonesia.

IESR. (2019). Beyond Connections: Meningkatkan Kualitas Akses Energi di Indonesia untuk Pembangunan Manusia Berkelanjutan. IESR. https://iesr.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Beyond-Connections-Launch-Materials.pdf

Jain, A., & Kattuman, P. (2015). Decision-making and planning framework to improve the deployment success of decentralized rural electrification in india. In S. Hostettler, A. Gadgil, & E. Hazboun (Eds.), Sustainable Access to Energy in the Global South (pp. 129–145). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-20209-9_11

Johnsson, F., Kjärstad, J., & Rootzén, J. (2019). The threat to climate change mitigation posed by the abundance of fossil fuels. Climate Policy, 19(2), 258–274. https://doi.org/10.1080/14693062.2018.1483885

Leopold, A., Bloomfield, E., Meikle, A., & Stevens, L. (2015). Toward universal energy access: The energy market system framework. In S. Hostettler, A. Gadgil, & E. Hazboun (Eds.), Sustainable Access to Energy in the Global South (pp. 21–32). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-20209-9_3

Maulidia, M., Dargusch, P., Ashworth, P., & Ardiansyah, F. (2019). Rethinking renewable energy targets and electricity sector reform in Indonesia: A private sector perspective. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 101, 231–247. https://doi.org/10.1016/j.rser.2018.11.005

Olivier, J. G. J., Schure, K. M., & Peters, J. A. H. W. (2017). Trends in global CO2 and total greenhouse gas emissions: 2017 report [Text]. PBL Netherlands Environmental Assessment Agency. https://www.pbl.nl/en/publications/trends-in-global-co2-and-total-greenhouse-gas-emissions-2017-report

Pehl, M., Arvesen, A., Humpenöder, F., Popp, A., Hertwich, E. G., & Luderer, G. (2017). Understanding future emissions from low-carbon power systems by integration of life-cycle assessment and integrated energy modelling. Nature Energy, 2(12), 939–945. https://doi.org/10.1038/s41560-017-0032-9

Rodó, X., San-José, A., Kirchgatter, K., & López, L. (2021). Changing climate and the COVID-19 pandemic: More than just heads or tails. Nature Medicine, 27(4), 576–579. https://doi.org/10.1038/s41591-021-01303-y

World Bank. (n.d.). Fossil fuel energy consumption (% of total) . Data.Worldbank.Org. Retrieved July 3, 2021, from https://data.worldbank.org/indicator/EG.USE.COMM.FO.ZS