Hanifah Khairunnisa 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Kita di hari ini adalah hasil dari pilihan kita di masa lalu, dan kita di masa depan adalah kita di hari ini. Berangkat dari kehilangan sosok ibunya diusia 10 tahun, membawa Wasikoh kecil menjadi seorang gadis yang taat dan yakin atas setiap pahit manis kehidupannya. Wasikoh merupakan anak semata wayang dari ayah ibunya yang setiap hari menghabiskan waktu untuk pekerjaannya sebagai seorang perantau dan petani, alhasil ia bertumbuh dengan kemandirian dan kurang dekapan keduanya. Ketika ayahnya pergi merantau ke ibu kota, ia dan ibunya hidup bersama meskipun ia tetap ditinggal untuk pergi ke sawah. Tak lama, ibunya jatuh sakit dan mengidap penyakit kulit langka, sehingga banyak keluarga dan tetangganya yang menganjurkan untuk diisolasi dan dipisahtidurkan dari Wasikoh kecil. Meski saat itu ia belum paham betul tentang apa yang benar-benar terjadi pada ibunya, sehingga ialah menjadi satu-satunya yang merawat ibunya yang sudah hampir tidak bisa melakukan banyak hal. Ia mengurusi segala keperluan ibunya, dari bangun tidur hingga tidur lagi, seorang diri. Tetangga hingga keluarga tidak ada yang mau turut mengurusi ibunya, hingga ketika salah seorang keluarga berujar, “ Ikoh kalau mau ngurusi ibu, nanti kakak beliin hape.” ujar saudaranya. Ia hidup hanya berdua dengan ibunya di rumah kecil di pedalaman Brebes. Bahkan ketika ibunya jatuh dari ranjang, Wasikoh seorang yang membantu mengangkat berat tubuh ibunya untuk kembali ke kasur, dengan tubuh kecil dan tenaga ibunya yang hampir tidak bisa menggerakan tubuhnya. Ketika rumah sebelumnya terkena longsor, ia dan ibunya pindah ke rumah ayahnya yang masih di desa yang sama. Meski saat itu ibunya telah sempat membaik, tapi tak berlangsung lama, kembali kambuh seiring ikoh yang mulai memahami keadaanya kini. Termakan ucapan tetangga dan keluarga, ia pernah merasa risih dengan kondisi ibunya saat itu, hingga ketika ibunya ingin menguncir rambutnya, ia menolak dengn menjauhkan tubuhnya, “Ndok, kamu risih sama ibu?” lirih ibunya pelan, namun cukup mampu ikoh tangkap meskipun ia tetap diam dan menurut pelan. Ketika ibunya kembali sakit lebih parah hingga lumpuh dan tidak bisa berbicara, ayahnya kembali dari perantauan, turut menemani ikoh menjaga istrinya. Hingga pada suatu pagi “Ibu mau makan?” tanya ikoh. Tak ada jawaban, ia melirik melihat perut ibunya hanya untuk memastikan masih ada tarikan napas disana, namun nihil. Hingga ayahnya datang dan memastikan, “Ibu udah ga ada ndok..” lirih ayahnya Saat itu ikoh yang masih kecil dan tak memiliki banyak memori bersama ibunya hanya menangisi fakta bahwa ia menjadi “piatu” bukan tentang memori. Ketika ia memasuki masa SMP dan SMA, ia besar dengan didikan para pembina asrama dan guru-gurunya di salah satu boarding school di Bogor. Ia dijuluki “anak ustadzah” karena ketaatannya pada perintah para guru dan pembina asrama. Padahal dibalik itu, alasannya adalah sedari dulu ia tidak memiliki panutan yang dapat ia contoh, ayah dan ibunya yang hampir selalu tidak bisa berada di sisinya membuatnya mencari sosok panutan lain selain keduanya hingga mudah mencontoh dan taat kepada orang lain. “Karena aku dari kecil ga punya panutan, jadi aku selalu mencontoh siapapun yang aku temui, misal ibu temanku, guru, dan bahkan temen sendiri. Aku masih kemana-mana..” Dari kehilangan ibunya, ia merombak hidupnya dan mulai menata imannya, sesuai apa yang ia contoh dari guru dan pembina asrama. Ia pikir, “Ibuku pasti seneng kalo aku jadi anak baik dan sholihah” Hingga kini, ikoh masih tetap istikomah dengan pakaian panjangnya dan ketekunan ibadahnya. Penolakan IPB saat ia mendaftar melalui jalur SNBP dan SNBT adalah hal yang membuatnya kembali merasakan putus asa. Dengan keteguhan hatinya mengejar IPB hingga ke prodi yang bahkan tidak ia kenali hanya untuk mendapatkan lingkungan yang baik dalam perkuliahan, alhasil ternyata apa yang ia inginkan bukanlah apa yang Tuhan persiapkan. Ia kembali di tolak Unnes hingga percobaan yang ke-empat kalinya, ia lolos dalam prodi pendidikan Bahasa Arab. Wasikoh adalah gadis yang giat dalam banyak hal, meskipun orang tua bukanlah tujuan utama ia belajar, tak seperti teman-temannya, namun ia selalu mendapat posisi lima hingga tiga besar selama SMP dan SMA. Ia yang menyenangi MIPA sedari kecil, namun di takdirkan untuk bertemu prodi yang hampir sama sekali tidak bersentuhan dengan MIPA. Selain itu, ia senang mengikuti kegiatan mengajar di sekolah desa, menjadi pembimbing adik kelas, hingga menjadi pendamping majelis. Menurutnya, keadaannya saat ini adalah hal yang menantang bagi dirinya. Ketika ia yang telah terbiasa besar di lingkungan boarding school dengan pergaulan yang terjaga dan jarang keluar, ia cukup kaget dan tertantang dengan dunia perkuliahan yang heterogen dan banyak berbeda dengan keadaannya saat di boarding school. Namun ia yang menyenangi hal baru, kegiatan lapangan dan senang bekerja keras, menjadikannya tertantang untuk menakluki diri dan lingkungannya, dengan mewarnai, bukan terwarnai. Dari kisahnya, ia banyak belajar bahwa tawakal perlu didahulukan sebelum ikhtiar, sehingga ketika apa yang Tuhan berikan, meskipun tidak sesuai keinginanya, itu tidak menjadikannya sombong dan menuntut dari banyak amalan dan doa yang kerjakan. Ia berpegang teguh dengan ayat Al-Baqarah:216 dan At-Taubah: 40 juga meyakini bahwa apa yang ia dapatkan saat ini merupakan keputusan Tuhan yang jauh lebih baik dari rencananya, sehingga ia tetap mencari kebaikan di setiap takdirnya. Baginya, sesakit apapun yang ia rasakan, dan seberapa besar simpati orang lain, tetap hanya ia dan Tuhan yang mengetahui rasanya, sehingga dalam segala urusan, hanya kepada Tuhan lah ia kembalikan. Wasikoh mencoba untuk menjadikan masa lalunya membawanya pada hal baik. Keputusannya di masa lalu untuk memilih taat dan tidak menyerah menghasilkan dirinya di hari ini, dan keteguhannya menjaga diri adalah apa yang ingin ia dapatkan di masa depan nanti. Selanjutnya, apa kisah paling menantang kawan inspirasi yang ingin dibagikan?