fbpx
Freepik/tawatchai07

THE HIDDEN PARADISE OF NUSA PENIDA: PERKEMBANGAN GASTRONOMI RUMPUT LAUT DALAM SUSTAINABLE TOURISM DEVELOPMENT DI ERA COVID-19

Terik matahari, deburan ombak, desiran pasir, disertai hembusan angin seolah menjadi gambaran dari sebuah pantai, hanya saja yang membedakan adalah tebing Paluang yang terlihat menyerupai jari kelingking. Ada juga yang menyebutnya menyerupai kepala T-Rex. Tempat ini biasa disebut Kelingking Beach atau Pantai Kelingking tepatnya di Nusa Penida, Bali. Meskipun masih banyak destinasi wisata lain di Nusa Penida, akan tetapi Pantai Kelingking merupakan ikon yang paling dikenal untuk merepresentasikan Nusa Penida. Tak hanya itu, pantai ini juga dinobatkan sebagai pantai paling instagramable oleh lembaga survei bisnis, Money.co.uk

Pada akhir Januari 2020, kesempatan mengunjungi pantai dengan ikon tebing Paluang menyerupai jari kelingking atau kepala T-rex ini menjadi hal yang tak pernah terlupakan. Akses perjalanan dari penginapan menuju Pantai Kelingking dapat dikatakan sudah terbangun dengan baik meskipun beberapa akses perjalanan destinasi wisata lain di pulau ini masih dalam tahap pembangunan pada waktu itu. Menariknya, banyak para pekerja di Nusa Penida ini yang lebih antusias bekerja pada sektor pariwisata padahal semula profesi mereka adalah petani rumput laut. Itu karena bagi mereka sektor pariwisata lebih menjanjikan. 

Namun, situasi ramai, bersemangat, dan menyenangkan ini kemudian meredup setelah kemunculan masalah global, yaitu pandemi Covid 19, sebuah tantangan baru bagi sektor pariwisata yang mana seolah semuanya terbekukan. Ya, sudah terlihat jelas belakangan ini, bahwa Pandemi Covid-19 merupakan isu global yang menjadi ancaman seluruh dunia karena tidak hanya menyerang kesehatan seseorang, akan tetapi menyerang akses ekonomi suatu individu atau kelompok juga. Dalam hal ini, “aktor ekonomi” yang berperan didalamnya juga ikut terdampak, seperti pedagang kaki lima yang gulung tikar, agenda travel agent yang ikut terhambat, pengusaha, pegawai toko souvenir, penjaga parkir atau karcis, dan masyarakat yang sumber kehidupannya bergantung pada objek wisata juga mulai kehilangan pekerjaannya. Menurut laporan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, jika ditotal, ada sekitar 4,052 juta jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia di sepanjang tahun 2020. Angka tersebut dapat dikatakan rendah karena pada 2019 dari total tersebut hanya 25% dari jumlah wisatawan yang masuk ke Indonesia (Kemenparekraf, 2021). 

Dalam hal ini, penurunan sektor pariwisata juga sejalan dengan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan, yang pada gilirannya juga akan meningkatkan angka kelaparan. Tidak mengherankan, banyak warga lokal sedang berjuang hidup karena kesulitan mendapatkan makanan. Situasi ini sangat buruk karena warga lokal bertahan hidup dengan cara saling membantu memberikan bahan makanan atau bahkan meminta pada tetangga yang memiliki ladang sayur atau singkong. Sayangnya, cara bertahan hidup ini tidak bisa bertahan lama, mengingat kebutuhan manusia yang terus bertambah. Oleh karena itu, warga Nusa Penida mulai berinovasi untuk mengembangkan ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar, yaitu melalui pembudidayaan rumput laut. Sebagian masyarakat di Nusa Penida kini kembali menjadi petani untuk bercocok tanam rumput laut. Hal ini tentunya menjadi perhatian dari Bupati setempat bahwa selain sektor pariwisata, sektor pembudidayaan rumput laut ini juga harus mendapat perhatian guna perkembangan berkelanjutan. 

Dapat dikatakan, pariwisata bukan hanya sekedar pemandangannya saja, tapi juga “aktor” yang berperan di dalamnya, seperti para pengunjung, pemandu wisata, pegawai toko souvenir, pedagang kaki lima, penjaga parkir atau karcis, penginapan, atau bahkan makanan atau kuliner. Bahkan, hal penting seperti kuliner dan cultural identity dapat menjadi kunci dari tourism experience. Terutama, Indonesia memiliki identitas adat yang kaya dan beragam jenis kuliner yang dapat menjadi center of gastronomy tourism. Hal ini menunjukkan bahwa semboyan “Gemah Ripah Loh Jinawi”, yang memiliki arti bahwa suatu keadaan yang sangat subur serta membawa kemakmuran memang benar adanya dalam mendeskripsikan bagaimana kesuburan dan kekayaan yang berlimpah dari alam Indonesia dapat dimanfaatkan oleh warga setempat untuk mencapai kesejahteraannya. Berdasarkan aktivitas Gastronomy, kuliner dikategorikan empat komponen (1) Local culture, (2) Polat & Akta Promotional tools, (3) The development of local product to boost local economy, (4) Food is influenced by eating patterns from the locals and tourist (Hall, 2006). Gastronomy adalah sebuah perjalanan ke destinasi tertentu yang terdiri dari kekayaan sumber daya kuliner, festival makanan, kelas memasak, serta pengalaman rekreasi, seperti kunjungan pada petani, peternak, dan nelayan (Sandy Bayev, 2016). 

Menurut penulis,  popularitas yang tinggi dalam sektor pariwisata di Nusa Penida seharusnya seimbang dengan alternatif ekonomi lainnya, mengingat membangun sektor pembudidayaan rumput laut ini sebenarnya sangat sulit. Apalagi, meningkatkan kualitas dan produktivitas rumput laut sama pentingnya dengan meningkatkan value produk tersebut. Itu sebabnya, peningkatan SDM warga lokal, peningkatan kualitas dan value rumput laut, serta perluasan akses mereka terhadap pasar sangat penting guna menarik kunjungan wisata yang layak.

Level Masyarakat Lokal

Di level lokal, strategi-strategi untuk keberlanjutan budidaya rumput laut harus segera di rancang. Solusi alternatif tersebut diharapkan dapat berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan agar dapat menghindari jatuhnya ekonomi karena kondisi yang tidak dapat diprediksi di kemudian hari. Menurut penulis, SDM lokal merupakan poin yang sangat penting dalam pelaksanaan sustainable tourism development. Jadi, sebagian dana yang didapatkan dari hasil budidaya rumput laut dapat digunakan sebagai pelatihan untuk para petani rumput laut dan warga lokal. Pelatihan ini dilakukan karena keterbatasan wawasan dari petani rumput laut, akses terhadap informasi, dan potensi sosial ekonomi. 

Pelatihan tersebut tentunya membutuhkan kerjasama beberapa pihak. Adanya peran dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang ikut serta berpartisipasi dalam pemberdayaan untuk pendampingan seperti cara penyuluhan dan penggunaan teknologi pertanian rumput laut terhadap para petani sangat penting. Tidak hanya itu, peran pemerintah sebagai regulator juga sangat diperlukan dalam dukungan peningkatan SDM dan keterampilan warga lokal, serta menghubungkan petani dengan pasar. Dalam mensukseskan serangkaian strategi ini, pemerintah perlu bekerjasama dengan aktor-aktor lain. Misalnya, guna menjaga kestabilan harga dan meningkatkan pasar komoditas rumput laut dari petani lokal, pemerintah menjalin kerjasama dengan perusahaan PT. Indonusa Algaemas Prima yang ditandai dengan penandatanganan kesepakatan oleh Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta dengan Direktur Perusahaan PT. Indonusa Algaemas Prima, Fandy Winyoto, terkait standar rumput laut, penyediaan rumput laut dan distribusi pembelian rumput laut (Kabupaten Klungkung, 2020). Selain itu, organisasi masyarakat, seperti Asosiasi Petani Rumput Laut Indonesia Provinsi Bali juga berperan penting dalam pelaksanaan sustainable tourism development. 

Rumput laut memiliki potensi dan sinergi dalam praktik pariwisata karena memiliki nilai yang cukup untuk dikembangkan dalam sektor kuliner. Aktivitas pembudidayaan rumput laut juga dapat dijadikan paket wisata alternatif yang dapat menjadi ikon dari wisata lokal itu sendiri. Apalagi, nilai kearifan lokal merupakan aspek yang penting bagi kegiatan gastronomy. Peningkatan level dalam kegiatan gastronomy dalam olahan makanan rumput laut yang dikemas dan diberi label lokal dapat berkontribusi dalam pelaksanaan sustainable tourism development. Hal ini perlu dilakukan untuk menjadikan produk olahan lokal memiliki nilai jual lebih tinggi, meski sebenarnya rumput laut sudah banyak dimanfaatkan sebagai makanan sehari-hari Jepang, China, dan Korea. Sayangnya, Indonesia yang memiliki julukan negara kepulauan membiarkan rumput laut menjadi sampah lautan yang hanya mengapung dan terbawa arus lautan hingga terdampar di pinggir pantai tanpa memiliki nilai apapun (Yunizal, 1999). Mengingat biaya produksi rumput laut tidak mahal, seharusnya komoditas ini dapat dikembangkan dengan baik di sektor pangan, yang pada gilirannya akan berdampak positif pada pembangunan turis berkelanjutan. Misalnya bakso rumput laut dan makanan berat lainnya, hingga inovasi-inovasi lain pada hidangan penutup dan minuman. Tak hanya itu, urap-urap rumput laut yang merupakan olahan pangan yang unik dapat ditingkatkan pula nilainya. Dengan begitu, selain meningkatkan pelaksanaan sustainable tourism development, hal ini juga menjadi cara-cara efektif untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di masa pandemi, mengingat keduanya merupakan sebuah siklus yang tidak bisa dipisahkan.

Level Individu

Di level individu, penduduk lokal dapat meningkatkan keterampilan dan inovasi terhadap kegunaan rumput laut, terutama di sektor pangan. Jika berhasil, penduduk lokal juga dapat memperluas sarana bagi turis untuk dapat menikmati pengalaman kuliner yang menakjubkan. Misalnya, memfasilitasi farmer visit atau bahkan cooking class dan sebagainya. Tentunya, untuk mensukseskan rangkaian kegiatan ini, diperlukan marketing yang tepat. 

Kini teknologi semakin canggih dan informasi dapat dijangkau secara mudah bahkan hingga lintas batas negara. Untuk mendukung sustainable tourism, influencer dapat berperan dalam melakukan endorsement suatu destinasi. Tidak lupa juga, di masa pandemi, travel agent dapat memberikan syarat dan ketentuan untuk pelanggan, seperti sudah melakukan vaksinasi atau tes pcr atau antigen. Hal ini juga membangun “trust” masyarakat dan harapannya dapat menormalkan kembali kondisi pariwisata di Indonesia. Tak hanya itu, para travel agent juga dapat membentuk branding usaha travel mereka dengan melakukan social media marketing melalui platform terkini seperti tiktok, instagram, facebook untuk menarik para pengunjung. Platform ini juga secara tidak langsung dapat menghubungkan satu individu ke individu lainnya bahkan dapat menarik wisatawan asing juga. Walaupun masih terhalang oleh kondisi pandemi, setidaknya destinasi pariwisata Indonesia menjadi wishlist yang wajib dikunjungi bagi mereka. Image branding tersebut dapat membantu meningkatkan kesadaran destinasi bagi wisatawan yang ingin berkunjung. 

Dapat penulis katakan, “Aktor” yang berperan kini sudah bukan hanya negara saja, bahkan di era saat ini masyarakat sudah dapat dikatakan sebagai aktor individu. Gerakan sekecil apapun juga bisa memberikan dampak bagi konstruksi sosial. Responsibility terhadap lingkungan sekitar merupakan hal yang penting dan kesadaran ini sebaiknya ditanamkan sejak dini. Apalagi, untuk melaksanakan sustainable tourism development, perlu adanya koordinasi yang baik dari semua pihak.

Referensi:

Adhityahadi, Vito. (2020). Pandemi Covid-19 Sebabkan Warga Nusa Penida Kembali jadi Petani Rumput Laut. Dapat diakses di: <https://moreschick.pikiran-rakyat.com/morecoverage/pr-64769977/pandemi-covid-19-sebabkan-warga-nusa-penida-kembali-jadi-petani-rumput-laut?page=2>. Diakses pada 24 September 2021

Aryanti, Ni Nyoman Sri dan n I Nyoman Tri Sutaguna. (2016). STRATEGI MENJADIKAN RUMPUT LAUT SEBAGAI BRANDING KULINER DI PANTAI PANDAWA, DESA KUTUH, KABUPATEN BADUNG. Jurnal Analisis Pariwisata Vol. 16 No.1

Asnani, dkk,. (2021). PKM DIVERSIFIKASI OLAHAN RUMPUT LAUT UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN KESEHATAN DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI KOTA KENDARI PROPINSI SULAWESI TENGGARA. Dapat diakses di: <https://media.neliti.com/media/publications/339220-pkm-diversifikasi-olahan-rumput-laut-unt-70af4e23.pdf >. Diakses pada 24 September 2021

Dimyati, Vien. (2019). ISTA 2019, Apresiasi bagi Pelaku Wisata yang Sukses Terapkan Sustainable Tourism. Dapat diakses di: <https://www.inews.id/travel/destinasi/ista-2019-apresiasi-bagi-pelaku-wisata-yang-sukses-terapkan-sustainable-tourism>. Diakses pada 24 September 2021

Kemenparekraf/Baparekraf RI. (2021). Tren Pariwisata Indonesia di Tengah Pandemi. Dapat diakses di: <https://kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/Tren-Pariwisata-Indonesia-di-Tengah-Pandemi >. Diakses pada 24 September 2021

Mustofa, Ali. (2020). Pariwisata Drop, Petani Nusa Penida Geluti Budidaya Rumput Laut. Dapat diakses di: <https://radarbali.jawapos.com/read/2020/09/18/214427/pariwisata-drop-petani-nusa-penida-geluti-budidaya-rumput-laut>. Diakses pada 24 September 2021

Pradnyana, I Wayan Gede Wahyu dan Saptono Nugroho. (2019). Upaya Revitalisasi Pertanian Rumput Laut Dalam Praktik Pariwisata Di Desa Lembongan, Kabupaten Klungkung. Jurnal Destinasi Wisata Vol. 7 No 2

Raharyo, Yoyo. (2021). Agar Bisa Makan Warga Nusa Penida Minta Singkong dan Sayur ke Tetangga. Dapat diakses di: <https://radarbali.jawapos.com/read/2021/07/25/277761/agar-bisa-makan-warga-nusa-penida-minta-singkong-dan-sayur-ke-tetangga>. Diakses pada 24 September 2021 

Sihotang, Mawar Minora. (2018). Surga Dari Nusa Penida Bernama Pantai Kelingking. Dapat di akses di: < https://travel.detik.com/cerita-perjalanan/d-5391995/surga-dari-nusa-penida-bernama-pantai-kelingking >. Diakses pada 24 September 2021

Wiadnyani, A.A.I.S. dkk. (2017). PELATIHAN PENGOLAHAN DAN PENGEMASAN RUMPUT LAUT MENJADI SELAI DI DESA LEMBONGAN KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG. Jurnal VOLUME 16 NOMOR 3,

Website Resmi Pemerintahan Kabupaten Klungkung. (2020). Jaga Kestabilan Harga Rumput Laut Nusa Penida. Dapat diakses di: <https://klungkungkab.go.id/berita/detail/jaga-kestabilan-harga-rumput-laut-nusa-penida >. Diakses pada 24 September 2021