Rayhan Prabu Kusumo Mahasiswa 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Konsensus yang terbentuk dalam komunitas ilmuwan iklim menyatakan bahwa krisis iklim merupakan bencana eksistensial yang terjadi dalam skala global akibat kegiatan manusia (Powell, 2019). Krisis iklim memaksa pemerintah-pemerintah di seluruh dunia untuk segera memitigasi dampak-dampak negatifnya dengan mencanangkan aksi penurunan gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari berbagai kegiatan ekonomi. Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi oleh para pemerintah negara berkembang seperti Indonesia adalah mencari cara untuk memitigasi dampak negatif dari krisis iklim, dan dengan bersamaan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (FKP, 2021). Paradigma yang selama ini berkembang adalah bagaimana kedua tujuan di atas hanya dapat diselesaikan secara sekuensial; tumbuhkan ekonomi dahulu, mitigasi krisis iklim kemudian. Melihat permasalahan dari paragraf di atas, ada gagasan berkembang yang menyatakan bahwa kita dapat mengatasi masalah-masalah tersebut dengan lebih baik lagi, gagasan ini adalah Kebijakan Industri Hijau atau Green Industrial Policy. Kebijakan Industri Hijau (KIH) secara garis besar merupakan rangkaian strategi kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mendorong pembangunan dan pertumbuhan industri hijau, mempercepat transisi hijau dalam berbagai sektor, yang dilakukan untuk mencapai ekonomi rendah-karbon hingga nol emisi (Cosbey, 2014). Kebijakan Industri Hijau lahir dari perdebatan klasik mengenai peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Haruskah pemerintah mengikuti mandat Konsensus Washington untuk membatasi perannya dalam ekonomi dan menyerahkannya kepada kehendak pasar? Atau haruskah pemerintah secara proaktif ‘menyetir’ arah pembangunan seperti yang dilakukan oleh Empat Macan Asia (Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan) pada medio 1970-1980an? Gagasan ini memilih opsi yang kedua: kemajuan dan pengentasan masalah sistemik seperti krisis iklim dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan harus didasari oleh intervensi pemerintah dalam perekonomian untuk mendorong inovasi di sektor swasta (Chen & Xie, 2019), atau dalam konteks KIH, sektor hijau. Indikator pembangunan dan pertumbuhan industri hijau seperti elektrifikasi multisektor, pembangkitan listrik dari energi terbarukan, hingga transportasi rendah-karbon membutuhkan banyak investasi yang tidak bisa sepenuhnya dilepaskan kepada sektor swasta (Rodrik, 2014). Maka dari itu, ‘peran pemerintah’ di dalamnya sangat penting. ‘Peran pemerintah’ termanifestasi secara jelas melalui KIH: pemerintah mendorong dan mengarahkan berbagai sektor ekonomi untuk mempercepat transisi hijau menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan yang secara bersamaan memitigasi dampak-dampak dari krisis iklim. Di samping penjelasan di atas, KIH merupakan gagasan penting yang harus dieksplorasi oleh para pemegang kepentingan karena adanya kebijakan industri memiliki dampak-dampak positif untuk pertumbuhan ekonomi suatu negara, hal ini ditunjukkan dengan kemajuan pesat Empat Macan Asia yang diakibatkan oleh adanya kebijakan industri yang kuat (Studwell, 2014). Kedua, sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi menengah ke atas, perubahan arah kebijakan dapat mempengaruhi jalannya pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Apabila ‘kemudi setir’ pemerintah tidak dijalankan menuju arah yang berkelanjutan, Indonesia akan semakin jauh dari mimpi rendah-karbon dan nol emisi. Ketiga, meningkatnya risiko krisis iklim global mengimplikasikan bahwa menjadi ‘hijau’ akan membawa comparative advantage bagi Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia merupakan pemain utama dalam industri nikel, salah satu komponen penting dalam pembuatan baterai yang industrinya berkembang pesat dalam paradigma ekonomi hijau dan berkelanjutan akibat kegunaannya baik dalam sektor energi bersih (baterai penyimpanan energi) maupun sektor transportasi rendah-karbon (baterai mobil listrik). Akan tetapi, untuk membangun sebuah kebijakan yang bersifat struktural dan multidimensional seperti KIH, ada beberapa hal yang harus diperhatikan: kebijakan industri memerlukan adanya institusi pemerintahan yang bersih, sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, dan pasar yang bekerja secara optimal. Ketiga hal di atas masih menjadi pekerjaan besar bagi bangsa Indonesia mengingat masih banyaknya kasus pelanggaran Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang terjadi seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), perilaku rent-seeking, hingga konflik kepentingan antara pembuat kebijakan dan pelaku usaha. Pengembangan sumber daya manusia juga masih belum optimal jika dilihat dari tingkat pendidikan. Pada tahun 2020, dari 100 penduduk usia 15 tahun ke atas, 29 orang menempuh pendidikan menengah dan 9 orang mencapai pendidikan tinggi, sedangkan 62 orang sisanya hanya menempuh pendidikan di bawah pendidikan menengah. (BPS, 2020). Selain itu, perekonomian Indonesia saat ini sedang menuju ke arah deindustrialisasi prematur. Fenomena ini ditandai oleh terjadinya penyusutan kegiatan ekonomi manufaktur sebelum keuntungan produktivitas optimum dari kegiatan ekonomi manufaktur suatu negara dapat dicapai (Chang & Andreoni, 2021). Sektor ekonomi manufaktur memegang peran vital dalam pertumbuhan ekonomi. Ini diakibatkan oleh pertumbuhan produktivitas sektor manufaktur cenderung lebih tinggi dibanding sektor-sektor lainnya (ADB & Bappenas, 2019). Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebelum mengembangkan KIH, Indonesia memerlukan reformasi besar-besaran dalam bidang pemerintahan dan tata kelola, perbaikan tingkat pendidikan penduduk dan reindustrialisasi untuk mendorong kenaikan sektor ekonomi manufaktur. Artinya, diperlukan kerjasama multidimensional dan multisektor dalam penerapannya. Dapatkah Indonesia secara sukses mengembangkan Kebijakan Industri Hijau? Pertanyaan tersebut adalah satu hal yang belum bisa dijawab secara pasti. Akan tetapi, jika kita berbicara mengenai hal yang pasti, KIH merupakan gagasan menarik yang seharusnya mulai dilirik oleh para pemangku kebijakan. Indonesia, layaknya negara-negara berkembang lainnya, membutuhkan pertumbuhan ekonomi untuk membangun kehidupan yang makmur bagi rakyatnya. Di sisi lain, krisis iklim global juga terus menghantui. Sebagai contoh, jika tidak ada perubahan dalam paradigma ekonomi dan pola produksi karbon, sebagian besar dari Jakarta — ibu kota dan pusat ekonomi Indonesia — akan tenggelam pada tahun 2050 (Takagi et al, 2014). Hal tersebut merupakan satu contoh mengerikan dari betapa destruktifnya dampak dari krisis iklim terhadap kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Masa depan yang makmur dan lestari hanya menjadi mimpi belaka apabila pertumbuhan ekonomi tidak berjalan dengan baik dan dampak negatif dari krisis iklim tidak berhasil dimitigasi. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merupakan harga yang tidak bisa ditawar. Disini, KIH menawarkan solusi yang tepat dari kedua masalah di atas: peningkatan pertumbuhan ekonomi lewat pengadopsian kebijakan industri yang mendorong sektor produktif, tanpa mengabaikan faktor lingkungan dan dampak negatif dari krisis iklim. Sekarang, bola panas dikembalikan kepada pemerintah dan pemangku kebijakan. Selain dari tataran teknis, kebijakan struktural dan multidimensional yang bersifat sapu jagat seperti KIH juga memerlukan political will yang kuat. Sejarah membuktikan bahwa perubahan-perubahan seperti ini hanya dapat dilakukan oleh pemimpin dan pemerintah yang memiliki kemauan dan kekuatan besar dalam menjalankan perubahan. Tokoh-tokoh seperti mendiang Park Chung-hee dari Korea Selatan dan Lee Kuan Yew dari Singapura merupakan sosok yang berhasil membawa perubahan besar terhadap negara mereka masing-masing lewat kebijakan industri yang mendorong produktivitas dan kemampuan sumber daya manusia. Pertumbuhan ekonomi yang mendorong kemakmuran rakyat hanya dapat diraih melalui pendayagunaan sektor ekonomi manufaktur produktif yang sekarang mulai menuju ke jurang deindustrialisasi akibat kalah ‘seksi’ dibanding sektor ekstraktif sumber daya alam. Sedangkan krisis iklim semakin mengepakkan sayapnya menuju kehancuran massal jika tidak ada upaya mitigasi yang signifikan. Paradigma yang dibawa oleh Kebijakan Industri Hijau dapat memitigasi kedua hal di atas: bahwa pertumbuhan ekonomi haruslah berkelanjutan dengan tetap berada di dalam batasan-batasan kebumian. Daftar Pustaka Buku dan Publikasi Ilmiah Chang, H. J., Andreoni, A. (2021). Bringing Production Back into Development: An introduction. European Journal of Development Research, 33, 165–178. https://doi.org/10.1057/s41287-021-00359-3 Chen, J., Xie, L. (2019). Industrial policy, structural transformation and economic growth: evidence from China. Frontiers of Business Research in China, 13-18. https://doi.org/10.1186/s11782-019-0065-y Powell, J. (2019). Scientists Reach 100% Consensus on Anthropogenic Global Warming. Bulletin of Science, Technology & Society, Volume 37, Issue 4, pp. 183–184. Rodrik, D. (2014). Green industrial policy. Oxford Review of Economic Policy, Volume 30, Number 3, 2014, pp. 469–491. Studwell, J. (2014). How Asia Works: Success and failure in the world’s most dynamic region. Grove Press. Takagi, H., Miguel, E., Takahito, M., & Daisuke, F. (2016). Projection of coastal floods in 2050 Jakarta. Urban Climate. 17. pp. 135-145. 10.1016/j.uclim.2016.05.003. Laporan dan Berita Daring Asian Development Bank & Bappenas. (2019). Policies to Support the Development of Indonesia’s Manufacturing Sector during 2020–2024: A Joint ADB–BAPPENAS Report. Badan Pusat Statistik. (2020). Statistik Pendidikan 2020. Cosbey, A. (2013). Green Industrial Policy and the World Trading System. Entwined Issue Brief. Forum Kajian Pembangunan & ANU Indonesia Project. (2021). Summary Report: Southeast Asia economic development: the state of play. Diakses dari https://www.fkpindonesia.org/summary-report/southeast-asia-economic-development pada 27 Juni 2021. Smith, N. (2018, July 29). Nickel: A green energy necessity with grave environmental risks. Maplecroft. Diakses dari https://www.maplecroft.com/insights/analysis/nickel-a-green-energy-necessity-with-grave-environmental-risks/ on June 28, 2021. Treadgold, T. (2021, June 2). Indonesia On Track To Dominate The Supply Of Nickel To Make Batteries. Forbes. Retrieved from https://www.forbes.com/indonesia-on-track-to-dominate-the-supply-of-nickel-to-make-batteries on June 28, 2021.
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More