fbpx
Pixabay/Mochamad Arief

Tempe: Pangan Masa Depan yang Sudah Ada di Genggaman

Saat membicarakan masa depan dan inovasi kita cenderung membayangkan teknologi yang kompleks serta konsep-konsep yang rumit. Padahal, bisa jadi sesuatu yang ada sudah ada di genggaman kita merupakan cikal bakal masa depan.

Di masa depan, mungkin penduduk bumi akan terus bertambah, sedangkan masing-masing orang membutuhkan sekitar 46 gram protein untuk wanita dan 56 gram protein untuk pria setiap harinya. Mungkin, di masa depan tidak akan ada cukup sumber protein untuk memenuhi kebutuhan protein seluruh manusia di muka bumi.

Kalau membicarakan protein rasanya kita akrab sekali dengan daging, ayam, ikan, dan telur sebagai sumber protein harian. Namun, apakah di masa depan akan ada cukup ketersediaan daging, ayam, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan protein semua manusia di bumi? Masih belum tahu, mungkin saja cukup atau mungkin saja tidak.

Sayangnya meskipun mungkin saja ketersediaan daging, ayam, dan ikan mampu mencukupi kebutuhan protein harian semua orang, akan ada begitu banyak emisi gas dan green house gas yang dihasilkan dari kotoran dan ekstraksi hewan. Peternakan terbukti menghasilkan gas metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), karbon dioksida (CO2), serta amonia yang dapat menyebabkan hujan asam dan berkontribusi dalam perubahan iklim global.

Salah satu sumber protein yang ramah lingkungan dan menghasilkan emisi gas serta emisi green house yang jauh lebih sedikit adalah tempe. Yak betul, tempe. Sebagai masyarakat Indonesia kita sangat akrab dengan makanan tersebut sebab sangat mudah ditemukan, mulai dari di tukang sayur dekat rumah hingga supermarket. Tempe adalah makanan dengan kandungan gizi yang tinggi, salah satunya adalah protein. Dalam setiap 100 gram tempe dari kacang kedelai yang ada di pasaran, terdapat 14 gram protein di dalamnya. Kualitas serta jumlah protein yang terdapat dalam tempe hampir mirip dengan yang dimiliki daging sapi, tentunya dengan penggunaan energi 10 kali lebih irit serta dipasarkan dengna harga 3 kali lebih murah.

Tempe juga dikenal sebagai sumber protein yang dapat dikonsumsi dan diproduksi secara berkelanjutan. Jika diproduksi dengan memperhatikan produksi berkelanjutan, produksi tempe lebih minim limbah dibanding produksi hewan ternak. 10% dari hasil hewan ternak akan dibuang menjadi limbah sedangkan hasil dari produksi dapat kita konsumsi semua. Terkecuali bungkusnya, oleh karena itu penting juga memperhatikan pemilihan bungkus tempe untuk mengurangi limbah non-organik.

Tempe adalah makanan asli Indonesia, dalam tulisan Serat Centhini masyarakat Jawa telah mengenal tempe sejak abad ke-16 . Kata ‘tempe’ diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu tumpi yang digunakan untuk menyebut makanan berwarna putih, bisa jadi kata tumpi adalah asal mula masyarakat Jawa menyebut ‘tempe’ sebab memiliki rupa yang mirip dengan tumpi. 

Tak hanya di tanah air, tempe juga telah masyhur di kawasan Eropa sejak tahun 1946 silam, saat itu imigran asal Indonesia membawa tempe bersama mereka ke Belanda dan memproduksinya di sana. Tak hanya Eropa, tempe kemudian juga ‘menjelajah’ Amerika di tahun 1958, untuk kemudian sampai di Jepang dan diproduksi secara massal pada tahun 1983. Meskipun belum menjangkau seluruh kalangan tempe telah diteliti pada tahun 1940-an sampai 1960-an, hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa saat terjadi Perang Dunia II banyak tahanan perang di zaman pendudukan Jepang yang terbebas dari disentri dan busung lapar karena mengkonsumsi tempe. Dari penelitian yang terus berlangsung hingga saat ini, tempe terbukti memiliki gizi yang luar biasa seperti protein, asam lemak, vitamin, mineral, hingga antioksidan.

Tempe tidak selamanya harus diproduksi dari kacang kedelai, makanan ini  juga bisa diproduksi dari berbagai jenis kacang-kacangan seperti kacang hijau atau kacang merah yang masuk ke dalam daftar Future 50 atau 50 bahan pangan masa depan berdasarkan penelitian kolaborasi Royco, World Wild Fund, dan Dr. Adam Drewnowski yang disusun berdasarkan nutrisi yang dimiliki bahan pangan tersebut dengan dampak buruk yang relatif lebih sedikit, untuk bumi yang lebih sehat serta untuk memberikan manfaat ke generasi yang akan datang.

Tempe juga dapat dibungkus dengan daun apa saja yang tersedia di dekat anda. Hal tersebut juga mendukung pelokalan Sustainable Development Goals sehingga praktik konsumsi dan produksi ramah lingkungan bisa dimulai dari daerah masing-masing, sesuai dengan ketersediaan bahan pangan lokal yang ada.

Salah satu gerakan yang sudah mulai mengadvokasi tempe sebagai bahan makanan masa depan yang berkelanjutan adalah ‘Indonesian Tempe Movement’. ‘Indonesian Tempe Movement’ adalah organisasi non-profit yang memiliki tujuan untuk meningkatkan pengetahuan bagi orang Indonesia maupun masyarakat internasional mengenai tempe melalui berbagai cara seperti program inkubasi bisnis sosial, lokakarya, kelas pembuatan tempe, serta kampanye di media sosial.

Lebih dari sekedar makanan tradisional asal Indonesia, ‘Indonesian Tempe Movement’ menginginkan masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia mengetahui bahwa tempe adalah makanan yang bergizi, mengandung protein yang hampir sama jumlahnya dengan kandungan protein pada daging sapi dengan kandungan lemak yang lebih sedikit dan tanpa kolesterol. Tempe juga merupakan sumber protein yang berkelanjutan, bila dibandingkan dengan daging sapi produksi tempe hanya menggunakan 10% energi, hanya menghasilkan 20% emisi karbon dioksida, serta penggunaan lahan yang jauh lebih efisien.

Selanjutnya, Mari kita berandai-andai jika di masa depan manusia sudah memungkinkan untuk tinggal di planet mars, bekal apa yang akan kita bawa di pesawat menuju mars? satu hal yang harus kita ingat, perjalanan menggunakan pesawat luar angkasa dengan mikrogravitasi tentu berbeda dengan perjalanan menggunakan pesawat domestik yang serba nyaman.

Tenang, pada tahun 2017 silam beberapa pelajar dari SMA Unggul Del dan gabungan pelajar dari Jakarta, Bandung, dan Jayapura berhasil melakukan percobaan dalam ISS Project yang diselenggarakan oleh Valley Christian High School dan Nanoracks untuk mengirimkan sejumlah percobaan ke luar angkasa. Tim pelajar dari Indonesia tersebut kemudian berupaya menguji kemungkinan memproduksi tempe di luar angkasa dalam kondisi mikrogravitasi. Hasilnya menakjubkan, Ragi tempe dan kedelai mampu tumbuh pada kondisi mikrogravitasi, penelitian ini kemudian dipresentasikan di Annual Conference of the American Society for Gravitational and Space Research di Washington DC. Penelitian ini akan terus berlanjut sehingga di masa depan tempe bisa jadi pilihan bekal sehat saat bepergian di luar angkasa.

Tak perlu ke luar angkasa dulu untuk mengkonsumsi dan memproduksi tempe secara berkelanjutan, kita bisa berupaya untuk memenuhi kebutuhan protein harian dengan sumber protein alternatif yaitu tempe mulai saat ini. Pemenuhan kebutuhan protein harian adalah hak semua orang, begitu juga dengan konsumsi dan produksi protein yang berkelanjutan turut menjadi tanggung jawab kita semua.

Mungkin di masa depan akan ada alternatif sumber protein yang lain, tapi kalau saat ini sudah ada yang ekonomis sehingga dapat diraih seluruh kalangan, mudah dibuat, produksinya cepat, serta minim emisi mengapa tidak kita manfaatkan? Bukan hanya dilestarikan saat ini, Tempe juga sangat mungkin untuk dikebangkan sebagai sumber pangan dengan protein tinggi di masa depan.