Melani Retnaningtias 0shares Membangun Kemitraan adalah Kunci Read More Apa itu limbah elektronik? Pada era perkembangan teknologi ditambah dengan keadaan pandemi seperti saat ini, kehidupan sebagian besar masyarakat dunia tidak terpisahkan dari penggunaan teknologi. Sekolah, bekerja, olahraga hingga sarana hiburan, semua terpusat pada teknologi karena ruang gerak kita yang makin terbatas akibat pembatasan sosial. Ketiadaan barang-barang elektronik secara tidak langsung menghambat irama dan ritme hidup kita sehari-hari. Disaat keadaan ekonomi dunia makin merosot akibat pandemi COVID 19, permintaan terhadap produksi barang elektronik justru mengalami peningkatan dan menunjukkan trend positif. Di bidang industri teknologi dan informasi, permintaan terhadap barang elektronik diestimasi meningkat sebanyak 2 persen atau setara 2,972.7 milyar dolar. Pandemi virus Korona membuat permintaan barang elektronik, utamanya komputer dan semikonduktor, mengalami peningkatan yang cukup signifikan mengingat banyak orang beralih ke mode online, dan penyedia jasa telekomunikasi membutuhkan piranti yang mumpuni untuk menjaga agar koneksi internet tetap stabil selama masa pembatasan sosial. Menyusul kewaspadaan bahwa pandemi masih akan terus berlangsung, angka pertumbuhan produksi barang elektronik diprediksi akan terus mengalami pertumbuhan positif hingga 7 persen dengan nilai setara 3,175.6 milyar dolar (JEITA, 2020). Industri elektronik merupakan salah satu industri manufaktur dengan pertumbuhan tercepat secara global. Cepatnya produksi membawa konsekuensi lain yaitu memperpendek masa usia pakai dari suatu barang elektronik. Jika satu atau dua dekade lalu televisi dapat dipakai hingga 10 tahun, maka kini usia televisi berkurang menjadi 5 tahun atau bisa lebih pendek lagi. Perpendekan masa pakai ini dipengaruhi oleh banyak hal seperti perkembangan teknologi, kebutuhan, terbatasnya pilihan untuk servis atau perbaikan, serta selera masyarakat. Dampak lain yang muncul dan pendeknya masa pakai adalah mendorong pertumbuhan limbah elektronik menjadi lebih cepat (Ye, 2008). Sebanyak 53,6 juta metrik ton limbah elektronik terakumulasi dari seluruh dunia pada tahun 2019. Jumlah ini meningkat sebesar 21 persen hanya dalam waktu 5 tahun. Laporan terbaru memprediksikan sebanyak 74 metrik ton limbah elektronik akan terkumpul pada tahun 2030, dua kali lipat jumlah hanya dalam waktu 16 tahun. Hal ini membuat limbah elektronik menjadi limbah rumah tangga dengan peningkatan paling tinggi (Forti, et.al. 2020). Lalu apa itu limbah elektronik? Limbah elektronik (Electrical and Electronic Equipment/EEE) atau e-waste atau limbah elektronik adalah istilah yang digunakan untuk segala jenis tipe perangkat beserta bagian-bagian lainnya dari suatu barang elektronik yang telah dibuang tanpa adanya intensi untuk digunakan kembali (Adrian., et. al. 2014). Dengan jumlah yang diperkirakan terus meningkat tiap tahunnya, pernahkah kita terpikir kemana perginya barang-barang elektronik yang telah usang dan tidak terpakai? Bagaimanakah sistem pengolahan limbah tersebut? Apakah didaur ulang? Ataukah digunakan kembali? Berbahayakah limbah elektronik tersebut bagi lingkungan dan manusia? Jika iya, apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi efek negatif tersebut? Limbah elektronik di keseharian kita Limbah elektronik mengandung substansi berbahaya bagi kehidupan kita, baik dari segi kesehatan ataupun lingkungan. Salah satu kandungan dalam limbah elektronik, yaitu merkuri dapat merusak sistem koordinasi dan sistem otak kita. Penanganan limbah elektronik yang tidak aman dan berkelanjutan mengancam membawa dampak merugikan bagi kehidupan kita sehari-hari dalam jangka panjang. Asia menjadi kawasan terbesar penyumbang limbah elektronik pada tahun 2019 sebesar 24,9 metrik ton, disusul Amerika Serikat (13,1 metrik ton), Eropa (12 metrik ton), Afrika (2,9 metrik ton), dan Oceania (0,7 metrik ton) (Forti, et.al. 2020). Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi terbesar ketiga di Asia dan keempat di dunia, dengan ekspektasi menjadi negara dengan ekonomi terbesar nomor lima di dunia pada tahun 2050. Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan konsumsi barang elektronik terbesar di dunia (Oloruntoba, 2020). Dengan melihat fakta ini, penanganan limbah elektronik patut diperhatikan lebih lanjut. Berdasarkan penelitian terbaru, diperkirakan 3,2 juta ton limbah elektronik akan terkumpul di Indonesia pada tahun 2040 dengan kontribusi terbesar berasal dari Pulau Jawa sebesar 56 persen dari total jumlah keseluruhan pada tahun 2021 (Mairizal, et. al. 2021). Dengan jumlah yang sedemikian besar muncul pertanyaan bagaimanakah pengelolaan limbah elektronik dari barang elektronik yang sudah tidak lagi kita pakai? Sulitnya pengelolaan limbah elektronik dan tantangan lingkungan Limbah elektronik mengandung nilai ekonomi tinggi karena terdapat ragam logam mulia yang menjadi komponen penyusun barang elektronik seperti emas, perak, platina, tembaga, dan timah yang bisa dijual kembali sebagai bahan baku atau raw material. Namun proses daur ulang yang tidak aman dan berkelanjutan justru akan membawa masalah baru, baik bagi kesehatan manusia dan lingkungan, mengingat limbah elektronik termasuk dalam kategori limbah berbahaya (Schleup, et. al. 2009). Kontaminasi terhadap air dan tanah akan mempengaruhi kondisi kesehatan suatu populasi. Di sisi lain biaya manajemen limbah sangat besar. Penggunaan teknologi tinggi untuk mengolah limbah dan memastikan hasil buangan aman bagi lingkungan membutuhkan riset yang lama dan biaya tak sedikit. Proses manajemen limbah elektronik yang aman dan berkelanjutan masih menjadi pekerjaan rumah di banyak negara, utamanya di negara-negara berkembang. Mayoritas proses dismantling dan daur ulang masih dilakukan secara informal skala rumah tangga. Berdasarkan kuesioner yang dilakukan Komunitas EWasteRJ pada tahun 2020, sebanyak 14,84% masyarakat memberikan sampah elektronik kepada pemulung dan tukang loak, selain dibuang berbarengan dengan sampah lain atau dibiarkan saja di rumah (WIjayanti, et. al. 2020). Di beberapa tempat yang saya temui di dekat rumah tinggal saya di Kediri dan kampus saya di Semarang, daur ulang limbah elektronik masih dilakukan secara informal dan perseorangan, dengan metode sederhana dan manual, serta menggunakan alat seadanya tanpa pengetahuan dampak dari limbah berbahaya tersebut. Rata-rata proses daur ulang dilakukan dengan melakukan pembongkaran, mengambil material berharga yang masih bisa digunakan atau dijual kembali, dan membuang/meletakkan sekenanya material yang tidak bisa digunakan kembali tanpa penanganan lebih lanjut (landfill dumping). Di Indonesia, peraturan mengenai pengelolaan limbah elektronik diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, pedoman untuk pengelolaan sampah elektronik di rumah tangga dan sumber lainnya masih belum tersedia. Pengumpulan sampah elektronik oleh Pemerintah Daerah masih sangat minim. Edukasi tentang penggunaan barang elektronik dan siklus penanganan setelahnya masih membutuhkan jangka panjang untuk benar-benar ditanamkan dan dapat dijalankan dengan efektif di tataran masyarakat. Menjadi konsumen yang bijak. Satu aksi kecil dari perjuangan besar. Pengelolaan limbah elektronik yang aman dan berkelanjutan adalah salah satu tujuan dari pembangunan berkelanjutan 2030 mengenai konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Jika diabaikan, peningkatan jumlah limbah elektronik dapat menjadi ancaman terhadap kesehatan lingkungan dan manusia. Sementara diskusi mengenai limbah elektronik berkutat seputar teknologi dan cara daur ulang yang aman, satu faktor lain yang cukup krusial yang tidak boleh diabaikan adalah pola konsumsi dari masyarakat. Kebiasaan throwing away dan buying the new one menjadi sulit untuk dihindari karena harga barang elektronik yang semakin terjangkau serta desain produk yang tidak mendukung penggunaan jangka panjang (contohnya beberapa pembaruan perangkat lunak yang tidak lagi kompatibel dengan jenis barang elektronik tertentu). Disinilah perencanaan desain dan durability dari produsen elektronik merupakan solusi terbaik mengurangi limbah elektronik. Namun, berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, masyarakat sebagai konsumen memiliki kontribusi besar dalam menentukan arah produksi dari manufacturers. Semakin tingginya permintaan masyarakat akan produk elektronik eco-friendly yang memiliki siklus hidup lebih panjang, semakin tinggi pula desakan untuk memproduksi barang dengan karakteristik tersebut. Sebagai generasi yang terpapar teknologi, sekaligus konsumen barang elektronik tertinggi secara angka, kaum milenial juga memiliki akses pengetahuan yang lebih besar terhadap produsen barang elektronik yang bertanggung jawab. Dengan memaksimalkan dan menerapkan pengetahuan ini dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak langsung, dengan satu langkah kecil, kita telah melakukan perubahan dengan mendukung produsen dan mendorong produksi elektronik yang lebih sustainable dan ramah lingkungan. Meningkatkan kreativitas seni dengan menggunakan media barang elektronik jadul juga dapat menjadi salah satu pilihan. Salah satu seniman Indonesia, yaitu Pinot W. Ichwandardi atau biasa dikenal Pinotski, mendunia berkat karyanya yang unik dan berbeda menggunakan piranti elektronik jadul. Alternatif lain yang dapat kita lakukan bersama, tanpa memandang usia, adalah memastikan penggunaan barang elektronik selama mungkin, serta memperbaiki terlebih dahulu jika ada kerusakan. Jika benar-benar tidak bisa lagi digunakan, gunakan akses informasi untuk mencari situs atau komunitas yang menerima dan memastikan bahwa sampah elektronik tersebut akan menjalani proses daur ulang yang aman bagi lingkungan. Barang elektronik akan selalu menghasilkan limbah, namun kita dapat menekan laju pertumbuhan dan kuantitasnya dengan menjadi konsumen yang bijak. Penanganan limbah elektronik yang baik akan membantu mengurangi dampak pemanasan global mengingat karbondioksida yang berasal dari limbah elektronik (kulkas dan pendingin ruangan) diperkirakan berkontribusi terhadap 0,3 persen emisi gas rumah kaca. Sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan “.. kita tidak boleh mewariskan Bumi yang lebih buruk kondisinya dari yang kita huni sekarang” (Gaarder, 2013). Referensi 2021 Production Forecasts For The Global Electronics And Information Technology Industries., Japan Electronics and Information Technology Association (JEITA). 16 Desember 2020. A. Oloruntoba. (2020). Revenue of the consumer electronics market worldwide by country in 2019(in million U.S. dollars). https://www.statista.com/forecasts/758660/revenue-of-the-consumer-electronics-market-worldwide-by-country Adrian, Stephanie., et. al. (2014). One Global Definition of E-Waste. United Nations University/Step Initiatives. Forti, Vanessa., et. al. (2020). The Global E-waste Monitor 2020: Quantities, flows and the circular economy potential. Bonn, Geneva and Rotterdam: United Nations University/United Nations Institute for Training and Research, International Telecommunication Union, and International Solid Waste Association. Gaarder, Jostein. (2013). The World According to Anna. Weidenfeld & Nicolson: United Kingdom. Mairizal, Aulia Qisthi ., Agung Yoga Sembada, Kwong Ming Tse, Muhammad Akbar Rhamdhani, Electronic waste generation, economic values, distribution map, and possible recycling system in Indonesia, Journal of Cleaner Production, Volume 293, 2021, 126096, ISSN 0959-6526, https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.126096. Schleup, Mathias., et al., (2009). Sustainable Innovation and Technology Transfer Industrial Sector Studies: Recycling From E-Waste to Resources Final Report. StEP and UNEP. Berlin: Germany. Wijayanti, Pranandya., Martina Solya, Indah Anandya, Yorkie Sutaryo. https://madaniberkelanjutan.id/2020/11/30/sampah-elektronik-jadi-ancaman-jika-kita-lupakan Ye, Jing. (2008). E-waste Management in Developing Countries Through Legislation and Regulations: A Case Study of Cina. London: Loughborough University Institutional Repository.