fbpx
Pixabay/Herbert Bieser

TATA KELOLA MANGROVE BERKELANJUTAN SEBAGAI STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM

There is one issue that will define the contours of this century more dramatically than any other, and that is the urgent threat of a changing climate” – Barack Obama

Salah satu upaya mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim adalah mengembalikan ekosistem yang dapat menyerap dan menyimpan karbon, contohnya adalah mengembalikan fungsi hutan. Namun, terdapat potensi emitan karbon yang tidak kalah besar dibanding wilayah hutan, yaitu ekosistem pesisir yang meliputi hutan mangrove, tumbuhan laut (seagrass) dan rawa-rawa yang menjadi hal penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Secara alamiah, ekosistem pesisir menyerap karbon dari atmosfer dan lautan lalu menyimpannya. Karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir dikenal sebagai Blue Carbon. K

onservasi mangrove yang kaya karbon di kepulauan Indonesia harus menjadi komponen strategi prioritas tinggi untuk mitigasi perubahan iklim. Kebijakan, strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang tertuang dalam Road Map Blue Carbon Indonesia, dengan keterlibatan pemangku kepentingan dan masyarakat luas, menjadi hal prioritas yang harus dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim saat ini.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) mendefinisikan Perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada perioda waktu yang dapat diperbandingkan. Komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang di antaranya, terdiri dari karbon dioksida, metana, nitrogen, dan sebagainya.

UNFCCC membuat perbedaan antara perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia (aktivitas antropogenik) yang menyebabkan perubahan komposisi atmosferik dan variabilitas iklim oleh sebab-sebab alami.

Karena perubahan iklim antropogenik menghadirkan masalah yang terus berkembang bagi komunitas internasional, para pembuat kebijakan semakin mencari cara-cara kreatif untuk mengurangi jejak karbon manusia, termasuk mengatasi perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan, termasuk deforestasi dan kegiatan pertanian, mencakup hingga 20% dari total emisi karbon global, dan terlebih lagi di banyak negara dengan tingkat deforestasi yang unik (IPCC, 2007).

Beberapa penelitian terbaru berfokus pada pentingnya ekosistem pesisir seperti rawa asin, lamun, dan mangrove dalam mitigasi perubahan iklim dengan bertindak sebagai penyerap karbon (Donato et.al, 2011). Sementara ekosistem ini hanya membentuk dua persen dari luas global, penelitian telah menunjukkan bahwa ekosistem pesisir ini sepuluh kali lebih efektif dalam menyerap karbondioksida per area per tahun daripada hutan boreal, subtropis, atau hutan tropis (Mc.Leod et.al., 2011) dan sekitar dua kali lebih efektif dalam hal menyimpan karbon di tanah dan biomassa mereka (Murray et.al., 2011). Layanan “karbon biru” (blue carbon) hanyalah salah satu manfaat penting yang diberikan ekosistem ini bersama dengan perlindungan garis pantai, peningkatan kualitas air, bahan bangunan, dan makanan laut (Barbier et.al., 2011)

Sayangnya, ekosistem karbon biru pesisir telah hilang pada tingkat yang mengkhawatirkan. Diperkirakan sepertiga dari total global hilang selama beberapa dekade terakhir (Pendleton, dkk., 2012). Degradasi ini terutama disebabkan oleh faktor antropogenik langsung dan tidak langsung seperti deforestasi, peningkatan ukuran populasi pesisir dan pembangunan pesisir, pertanian dan akuakultur, sedimentasi dan pendangkalan, dan dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan peristiwa cuaca ekstrim (Mc.Leod et.al., 2011).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018, laju kerusakan hutan mangrove seluas 58 ribu hektare per tahun. Angka ini merupakan lajur kerusakan tercepat di dunia. Data KLHK menyebut faktor utama kerusakan mangrove adalah alih fungsi menjadi lahan pertanian, tambak udang, dan pembangunan infrastruktur. Ketika ekosistem ini terdegradasi, mereka tidak hanya gagal bertindak sebagai penyerap karbon, tetapi juga berkontribusi pada emisi karbon dengan melepaskan karbon yang tersimpan ke atmosfer. Dengan hilangnya ekosistem karbon biru tahunan global antara 0,7 dan 7% per tahun, diperkirakan ekosistem ini melepaskan antara 0,15 dan 1,02 miliar ton karbon ke atmosfer setiap tahun (Pendleton, et.al, 2012), berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim antropogenik.

Mengingat signifikansi globalnya sebagai penyerap besar karbon, pencegahan hilangnya mangrove akan menjadi strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang efektif. Telah dilaporkan bahwa stok C karbon di kawasan Indo-Pasifik mengandung rata-rata 1.023 Mg C/ha (Donato, 2011). Diperkirakan bahwa stok karbon mangrove Indonesia adalah 1.083 ± 378 MgC/ha. Ditingkatkan hingga luas mangrove tingkat negara 2,9 Mha (FAO, 2007), mangrove Indonesia mengandung rata-rata 3,14 PgC. Dalam tiga dekade Indonesia telah kehilangan 40% hutan bakaunya (KLHK, 2009), terutama sebagai akibat dari pengembangan akuakultur/tambak (Giri, 2008). Hal ini menghasilkan emisi tahunan sebesar 0,07–0,21 Pg CO2e.

Deforestasi mangrove tahunan di Indonesia hanya 6% dari total kehilangan hutan (Margono, et.al., 2014); namun, jika ini dihentikan, total emisi akan berkurang dengan jumlah yang setara dengan 10–31% dari perkiraan emisi tahunan dari sektor penggunaan lahan saat ini. Konservasi mangrove yang kaya karbon di kepulauan Indonesia harus menjadi komponen strategi prioritas tinggi untuk mitigasi perubahan iklim. Dalam Peta Mangrove Nasional 2019, luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,31 juta hektar, dengan 2,7 juta hektare dalam kondisi bagus dan 637.624 ribu hektar memiliki kerapatan jarang. Secara keseluruhan, mangrove Indonesia memiliki 3,14 miliar ton karbon atau sepertiga stok karbon pesisir global

Upaya konservasi mangrove harus dilakukan secara terencana dengan tahapan yang jelas, tercakup dalam kebijakan pemerintah dan melibatkan pemangku kepentingan. Tata Kelola mangrove dengan tujuan menjaga fungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon, dalam konteks pencegahan perubahan iklim, perlu dilakukan secara optimal melalui beberapa upaya sebagai berikut :

Gambar 1. Strategi Tata Kelola Mangrove Berkelanjutan

 

  1. Mencegah perubahan lahan mangrove eksisting. Hal ini dapat diwujudkan jika ada regulasi yang tercantum dalam peraturan pemerintah. Pengaturan tata ruang yang berbasis pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup menjadi kunci utama untuk mencegah alih fungsi lahan mangrove. Pemerintah dalam menyusun Dokumen Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) serta Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) harus mengacu pada Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), dimana dokumen RPPLH telah memetakan wilayah yang memiliki jasa lingkungan dan fungsi ekosistem tinggi harus dikonservasi dan tidak dapat dirubah menjadi peruntukan lain. Namun sayangnya saat ini belum banyak dokumen RPPLH yang sudah disahkan menjadi peraturan daerah, sehingga belum memiliki kekuatan hukum dan belum dapat dijadikan acuan dalam penyusunan Tata Ruang di wilayahnya.
  2. Perlu kebijakan dan upaya lebih lanjut untuk mengembalikan fungsi mangrove yang hilang ataupun berubah menjadi lahan lain. Salah satu alih fungsi terbesar dari lahan mangrove adalah dijadikan akuakultur/tambak yang dimanfaatkan masyarakat untuk mata pencaharian kehidupan sehari – hari. Sekitar 40% lahan hutan mangrove di Indonesia berubah menjadi tambak. Dalam valuasi ekonomi, pemanfaatan mangrove sebagai tambak merupakan pemanfaatan nilai langsung (Direct Use Value/DUV) dari mangrove. Selain DUV, terdapat nilai tidak langsung (Indirect Use Value/IUV) dari mangrove yang jika divaluasi memiliki nilai yang jauh lebih tinggi daripada nilai langsung yang dimanfaatkan masyarakat. IUV hutan mangrove diperoleh dari nilai manfaat jasa hutan bakau seperti garis perlindungan pantai, pencegahan intrusi air laut, penyediaan lahan pembibitan dan penyerapan karbon. Nilai manfaat ini diperkirakan dengan menggunakan biaya penggantian dan metode transfer manfaat (Bann, C., 1998; UNEP, 2007 dalam Malik dkk., 2015). Nilai Tidak Langsung (IUV) hutan bakau ini terkait dengan fungsi mencegah perubahan iklim dan hal ini memberikan dampak tidak hanya di tingkat lokal namun juga global dan dampak jangka panjang. Tambak-tambak yang terbengkalai dapat dikembalikan lagi fungsinya menjadi hutan bakau. Data Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2012 menunjukkan bahwa tambak yang dikelola optimal di Indonesia hanya 20 persen, sisanya tidak terkelola dan tidak produktif lagi.
  3. Perlu adanya perbaikan tata kelola kawasan konservasi mangrove, Taman Nasional, Cagar Alam dan Suaka Matgastwa. Selama ini, banyak kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan perlindungan mangrove namun ternyata ditelantarkan. Sebagai contoh yang terjadi di Cagar Alam Tanjung Panjang, Pohuwatu, Gorontalo, yang dulunya memiliki luasan mangrove sekitar 3.000 hektar kini tersisa 500 hektar saja. Contoh lain pada Suaka Margasatwa di Mampie di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Puluhan hektar mangrove di sana dikonversi menjadi tambak dan ketika tidak produktif lagi ditelantarkan. Padahal daerah tersebut sebenarnya merupakan kawasan penting migrasi burung.
  4. Program konservasi perlindungan mangrove harus melibatkan semua pemangku kepentingan berbasis masyarakat, karena selama ini banyak program konservasi atau rehabilitasi yang gagal karena tidak melibatkan masyarakat sekitar. Masyarakat perlu dilibatkan karena mereka adalah kelompok yang berada di lokasi, yang bisa ikut mengawasi perkembangan mangrove serta merasakan dampak positif langsung dari konservasi mangrove. Pihak swasta dapat dilibatkan terutama dalam konteks CSR atau turut sertanya pihak swasta sebagai pemangku kepentingan yang menjadi mitra pemerintah dalam upaya mencegah peningkatan GRK.
Gambar 2. Peran Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Mangrove Berkelanjutan

 

  1. Penguatan dan pemberdayaan pembudidaya tambak menuju tata kelola budidaya berkelanjutan. Bagaimana mengelola tambak secara efisien dan menghasilkan di suatu kawasan tertentu yang tidak merangsang untuk perambahan wilayah. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Pembesaran udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Litopenaeus vannamei) mengatur bahwa tidak diperbolehkan membangun tambak baru pada lahan mangrove dan zona inti kawasan konservasi. Alternatif lain, tambak dengan teknologi sederhana (tradisional) dapat dilakukan melalui tumpang sari pada lokasi hutan mangrove atau disebut juga silvofishery.  Di sisi lain, larangan pemerintah itu kurang kongruen dengan kebijakan menggenjot ekspor udang 2020-2024 yang naik 250%. Volume ekspor udang olahan pada 2018 sebesar 145.226 ton, pada 2024 menjadi 363.067 ton. Sementara produksi udang untuk bahan baku ekspor naik dari 197.433 ton pada 2018, menjadi 578.579 ton pada 2024. Nilai ekonomi yang besar ini akan mendorong konversi hutan mangrove terus terjadi. Para pengusaha hutan yang di dalam kawasan konsesinya terdapat hutan mangrove akan tergiur mendapatkan keuntungan lain dengan cara mengeksploitasinya. Apalagi, kini sudah terbit peraturan tentang multiusaha yang mendorong pemilik konsesi tak hanya mendapatkan nilai ekonomi dari menebang kayu. Namun perlu diingat kerusakan lingkungan dalam jangka panjang akan menimbulkan biaya eksternalitas yang akan menjadi beban pengusaha di masa mendatang, setelah mendapat keuntungan jangka pendek dengan membuat tambak di kawasan hutan ini.

Silvofishery adalah penghijauan sekaligus budidaya bandeng, udang windu, dan kerang hijau yang dilakukan di kawasan mangrove, tanpa harus mengkonversi, terlebih mengancam fungsi ekologi mangrove. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi. Tentu saja dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Miasto, 2010). Dalam pertambakan tradisional, jika luas tambak lima hektar, tidak semua area tersebut digunakan untuk budidaya. Tetapi, hanya pinggiran saja, sedangkan tengahnya kosong. Lahan kosong inilah yang ditanami pohon bakau (mangrove). Pola ini disebut juga kolam Polikultur. Dengan demikian, dalam konsep budidaya silvofishery dua tujuan dapat dicapai sekaligus, yakni budidaya dan kelestarian lingkungan. Hasil kajian ekologi dan ekonomi dapat direkomendasikan bahwa sistem budidaya yang ideal diterapkan pada tambak silvofishery adalah budidaya polikultur udang, ikan dan rumput laut, sistem ini bersifat adaptif dan ramah lingkungan serta memberikan keuntungan secara ekologi dan ekonomi (Sambu, A.H, 2019).

Road Map Blue Carbon yang diwujudkan dalam tata kelola mangrove harus direncanakan secara tepat dengan target terukur dan melibatkan semua pemangku kepentingan agar dapat dicapai tujuan pengurangan karbon dan penanganan perubahan iklim di masa mendatang.

Daftar Pustaka

Donato, D.J., et.al (2011): Mangroves Among the Most Carbon-Rich Forest in The tropics, Nat Geosci 4, 293 – 296

FAO (2007): The World’s Mangroves 1980–2005 89. FAO Forestry Paper 153, FAO

Giri, C. et al., (2008): Mangrove forest distributions and dynamics (1975–2005) of the tsunami-affected region of Asia. J. Biogeogr. 35, 519–528

https://www.forestdigest.com/detail/693/mangrove-antara-tambak-udang-dan-kelestarian, diakses tanggal 28 Juni 2021

Intergovermental Panel on Climate Change (2017): Climate Change Synthesis Report, Genewa, United Nations, Switzerland

Malik, A., dkk (2015): Economic Valuation of Mangroves for Comparison with Commercial Aquaculture in South Sulawesi, Indonesia, Forests 2015, 6, 3028-3044; doi:10.3390/f6093028

Margono, B. A., Potapov, P. V., Turubanova, S., Stolle, F. & Hansen, M. C. (2014): Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nature Clim. Change 4, 730–735

Mc.Leod, E., et.al (2011): A Blue Print for Blue Carbon : Toward an Improved Understanding of Yhe Role of Vegetated Coastal Habitats in Sequestering CO2. Front. Environ. Ecol. 9, 552 – 560

Miasto, Y (2010): Kajian Potensi dalam Pengembangan Silvofishery di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, Institut Pertanian Bogor (IPB), 2010.

Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia, (2009): Digital Land Cover and Land Use Map of Indonesia for Years 2000, 2003, 2006 and 2009, Spatial Planning Agency, Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. et al. (2015): The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nature Clim Change 5, 1089–1092  https://doi.org/10.1038/nclimate2734

Murray, B.C., et.al (2011): Green Payments for Blue Carbon : Economics Incentives for Protecting Threatened Coastal Habitats, Nicholas Institute for Environmental Policy Solutions, Durham, NC

Pendleton, L., et.al. (2012): Estimating Global “Blue Carbon” Emissions from Convertion and Degradation of Vegetated Coastal Ecosystem, PLoS One 7, e43542

Sambu, A.H., dkk. (2019): Desain Tambak Silvofishery berbasis Daya Dukung dan Ramah Lingkungan : Studi Kasus Kelurahan Samataring, Kabupaten Sinjai, Universitas Muhammadiyah Makasar, : https://www.researchgate.net/publication/331800582