fbpx
Menciptakan agen Indonesia di luar negeri

Soft Power Pendidikan Indonesia: Gerbang Pelajar Indonesia Menaklukan Dunia

Potret perkuliahan luar negeri

Menebarkan Jala di Luar Negeri

Pendidikan adalah memanivestasikan diri kita dalam versi yang terhebat, yang membuat potensi seseorang keluar dari sarangnya. Salah satu bentuk pengkondisian itu ialah mereka yang kuliah di luar negeri tidak perlu kembali ke Indonesia. Bahwasanya kalau kita ingin agar kita berkembang, ada baiknya dibuat pengkondisian agar mereka yang mengambil ilmu di luar negeri harus dimulai sejak dari Strata 1. Meskipun ada argumen bahwa waktunya lebih panjang dan akan lebih mahal, tetapi sisi ekonominya bisa dijustifikasi tergantung time frame.

Jika kita membiayai orang selama 4-5 tahun tetapi kita akan tahu benefitnya, kelebihannya jauh lebih banyak dari minusnya, ini adalah investasi untuk tahun-tahun mendatang.  Tidak ada alasan untuk supaya kita bisa memberi kesempatan 50 orang Indonesia pada satu universitas di luar negeri. Apabila kebijakan ini terjadi pada puluhan bahkan ratusan universitas, maka kita sudah menebarkan banyak jala yang akan menangkap banyak ilmu dari luar negeri.  

Mengapa butuh seperti ini? Karena tidak semuanya yang dibutuhkan adalah mahasiswa doctor. Yang dibutuhkan adalah anak muda, berbakat dan high competence. Mereka pun punya kesempatan untuk tetap tinggal di sana sebagai perpanjangan tangan Indonesia di luar negeri.

Menciptakan Soft Power

Ada kesalahpahaman tentang orang Indonesia yang kuliah dan berkarir di luar negeri sebagai akademisi. Pertanyaan media atau siapapun yang mengatasnamakan negara: “Kapan pulang? Apa kontribusi Anda untuk Indonesia?”, menjadi pertanyaan klasik bagi mereka yang sebenarnya punya peluang memajukan Indonesia dari lingkar luar.

Ini adalah rahasia umum di saat warga negara lain belajar ke luar negeri, mereka menjadi agen yang bisa membantu orang di dalam negeri. Ini terkait dengan soft power, bagaimana kita secara soft bisa membuahkan keberadaan secara global seperti geostrategis, geopolitik, geoekonomi. Jika ini terjadi maka persepsi luar negeri akan berubah, dari hanya sekedar “curi” ilmu di luar negeri dan kemudian pulang tanpa membawa dampak yang semestinya belum didapatkan secara utuh.

Hal ini pun terefleksi dari kebijakan pendanaan beasiswa. Pendanaan beasiswa di Indonesia mengharuskan orang untuk cepat pulang ke Indonesia. Apalagi kalau dia dosen akan langsung terbebani dengan beban administratif di kampus asal, dia akan terbelenggu dengan kekurangan fasilitas riset yang tadinya dinikmati di luar negeri.  Karena itu, kebijakan ini perlu direvisi agar mereka dibiarkan berkembang terlebih dahulu, agar mereka bisa membawa serta puluhan bahkan ratusan kelipatan dari investasi yang diberikan.

Mari kita bicara tentang utilitas, bahwa mereka bisa kembali sebagai orang yang punya nilai jual lebih, bahkan mereka tidak harus kembali ke Indonesia sebenarnya. Mereka bisa menjadi agen agar alokasi dana riset baik dari beberapa negara maju di Eropa ataupun dari mana saja tidak mengalir ke negara lain, tetapi ke Indonesia. Dan hal itu butuh pemerintah yang punya kepekaan akan hal besarnya Indonesia di masa depan. Pemerintah perlu memiliki periset Indonesia di luar negeri yang secara khusus bertugas membawa riset di Indonesia ke dalam panggung internasional.

Hal-hal seperti inilah yang perlu diplomasi dengan negara lain baik berkaitan dengan digital, isu-isu saintifik, kebijakan luar negeri dan lain-lain. Para periset di luar negeri ini bisa membantu, baik di dalam komunitas ilmiah mereka ataupun di tempat mereka bekerja di luar negeri.

Kalau memang serius akan mimpinya untuk menjadi scientific superpower, maka kembangkanlah ekonomi berbasis pengetahuan. Ekonomi berbasis pengetahui ini butuh peningkatan institusi sebagai penghasil ilmu, sumber daya sebagai pembawa ilmu dan pertukaran ilmu. Siapa yang jadi agennya? Siapa yang jadi penyambung lidahnya. Maka Indonesia perlu mahasiswa di MIT, perlu staf akademik di Harvard, perlu pengajar di kampus-kampus ternama di luar negeri.

Terbelenggu Sistem Sosial

Rasa ingin tahu merupakan elemen penting yang membedakan manusia dari makhluk lain. Rasa ingin tahu dianggap sebagai sifat mendasar manusia, yang sering kali ditekan oleh budaya dan masyarakat. Namun, sayangnya, rasa ingin tahu sering kali terabaikan dan ditekan dalam proses Pendidikan di Indonesia. Masih banyak pandangan negative yang mengemuka Ketika ada orang yang punya keingintahuan yang tinggi. Ia akan dipandang cari muka atau sentiment lain yang melekat padanya.  

Kita perlu belajar dari rasa ingin tahu yang ditunjukkan oleh Cina. Cina punya kehausan untuk belajar di luar negeri, meskipun mereka punya budaya yang kuat selama kurang lebih 4000-5000 tahun. Ambisi individunya itu tidak dipenalti oleh sistem sosial. Makin ambisius seseorang maka makin banyak reward yang diberikan. Namun kita dihukum oleh sistem sosial dan semuanya harus kembali kepada negara, meskipun itu sedikit.

Kita masih terbelenggu akan falsafah bahwa kualitas itu di luar sana dan kita adalah penerima. Kita hanya berharap untuk berada di sana, kita adalah pengguna. Tidak ada tekad dalam hati untuk bisa lebih berkembang. Hal ini menimbulkan minimnya keinginan bersaing. Lihat saja lisensi bisnis yang dikeluarkan di Tiongkok per 1000 orang yang jumlahnya 9, dibandingkan di Indonesia hanya 0,3. Apa masalahnya? Mungkin saja orang Indonesia tidak mau mengambil resiko seperti orang Tiongkok. Dari sini kita tahu bahwa kapasitas pengambilan resiko bisnis Indonesia tergolong rendah. Apakah kita masih mau bertahan dalam ketakutan ini?

Mengembangkan Riset Intradisipliner

Tak dapat dipungkiri bahwa banyak riset-riset Indonesia sifatnya intradisipliner.  Bahkan dapat dikatakan bahwa riset dan penelitian interdisipliner jarang dilakukan. Salah satu penyebabnya ialah karena budaya linearitas di perguruan tinggi. Kita perlu berkaca dari banyak penelitian di luar negeri yang mungkin bisa diaplikasikan pada sistem di Indonesia. Minimnya kolaborasi akademik masih menjadi lorong gelap dan sempit yang belum ingin dilewati.

Industri seharusnya dekat dengan universitas. Sekarang universitas jalan dengan risetnya sendiri dan industri jalan dengan riset mereka sendiri. Pemerintah harus campur tangan agar bisa membagi cost dan risk, adanya riset bersama antara pemerintah, universitas dan industri. Ada begitu banyak pekerjaan rumah untuk menemukan keterbukaan untuk mencari ide riset yang berdaya guna bagi masyarakat. Apapun yang terjadi sekarang, impactnya bisa langsung terkena pada masyarakat terbawah. Dibutuhkan kepemimpinan yang bisa menerjemahkan relevansi kebutuhan kita di bidang apapun bagi kepentingan banyak orang.

Kita ingin agar di masa depan kita menunjukkan produktivitas yang maksimal. Produktifitas kita sangat rendah dibandingkan dengan negara lain. Ujung-ujungnya daya saing. Kalau kita mau bersaing maka kita harus meningkatkan produktivitas. Kita tidak bisa meningkatkan ini kalau tidak fokus pada bidang yang ditekuni.

Tentunya untuk mencapai Indonesia emas di segala bidang, kita perlu keluar untuk dilihat. Sudah saatnya kita lepas dari pandangan negara yang invisible country. Kita harus menguatkan pengaruhn di luar negeri, yang membutuhkan ambassador-ambasador baru untuk menceritakan tentang Indonesia di kancah dunia. Indonesia perlu soft power dan memerlukan koordinasi antara pemangku kebijakan. Permasalahannya bukan kita kurang pintar, tapi kurang diperkenalkan pada standard dunia yang semakin jauh berlari meninggalkan kita. Alasan lainnya adalah kita kurang haus terhadap standar tersebut.

Misinterpretasi Universitas

Hemat saya, untuk kepentingan pendidikan di Indonesia, kita memerlukan keterbukaan terhadap ide. Ini sehubungan dengan paradoks demokratisasi informasi dan demokratisasi ide. Informasi sudah sangat terdiseminasi secara massif tetapi ide tidak terkreasi. Hal ini bisa dikorelasikan dengan bagaimana kita menunjukkan keterbukaan terhadap ide baru.

Universitas seharusnya menjadi tempat pengujian ide, informasi yang faktual, penuh dengan kontroversial, penuh dengan tendensi untuk membuat orang bercakap-cakap, agar dari sana timbul ide-ide baru. Di dalam universitaslah tempat orang membicarakan ide gila tersebut. Ide perlu diuji sebelum masuk ke dalam masyarakat. Gagasan untuk menciptakan sebuah ide harus menjadi kultur universitas terlebih dahulu. Bisakah universitas menjadi inkubator atau jangan sampai universitas masih terbelenggu dengan metrik-metrik yang membuat mereka lupa dengan salah satu tujuan utamanya sebagai peneliti?

Ada banyak perubahan yang harus dilakukan secara structural agar universitas bisa kembali pada fungsinya. Kita semua adalah produk dari universitas dalam masanya masing-masing. Jadi apapun yang menjadi tren di universitas akan menjadi tren di 5 tahun berikutnya. Kalau universitas hanya dinilai sebagai instrumen untuk menjadi good worker, maka itu hanyalah educare belum menjadi educere. Universitas harus menjadi pegangan agar orang mampu memimpin keluar mencapai sesuatu, bukan hanya sekadar diam di tempat.

Universitas harus membuat orang berpikir. Kita ingin agar para dosen tidak terbebani dengan statusnya entah itu PNS, non PNS dan hal-hal yang bersifat administratif. Perlu ada mekanisme crowdfunding riset sehingga mereka tidak bergantung pada satu jalur funding riset. Hal ini memungkinakan agar ada terobosan untuk memiliki ide-ide apa yang terbaik untuk masyarakat.

Sistem Pendidikan kita harus memberi ruang dan insentif pada orang seperti itu. Dosen Indonesia masih terbelenggu soal linearitas, bahwa S1, S2 dan S3 itu harus sama gelarnya karena diasah kualitasnya oleh central government. Perlu ada perubahan besar-besaran. Kita butuh anti otokrasi. Apakah Indonesia bisa menjadi ladang subur untuk itu? Menjadi field of dreams? Akan ada orang-orang idealis yang pulang ke Indonesia karena ingin memberikan impact karena meaning of life mereka ada di situ, bukan karena gajinya. Kalau kesempatan ini diberikan maka  panggung maka pertanyaan selanjutnya ialah apa yang didapatkan? Tujuan belajar di dalam gedung kita sudah mampu mengejawantahkan ilmu di ruang-ruang kelas menjadi lebih berguna bagi orang di luar kelas sejak pada saat pintu kelas itu dibuka.