fbpx
Universitas Airlangga

Proyek Pembuatan Pohon Cair Sederhana bagi Siswa SMA

Proyek Pembuatan Pohon Cair Sederhana bagi Siswa SMA

Citra Satelit Kualitas Udara IQAir
Pantauan citra satelit kualitas udara Indonesia | Foto: IQAir.

Sejak setahun terakhir, berbagai kota besar di Indonesia —Jakarta, Bandung, Medan, Tangerang Selatan, Surabaya, dll.— kerap menempati peringkat 10 besar kota paling polutif di dunia (IQAir, 2023; 2024). Bahkan, hingga artikel ini ditulis, Jakarta berada di posisi tiga dengan skor 151 yang tergolong tidak sehat. Kualitas udara yang buruk ini merupakan dampak dari emisi karbon (CO dan CO2) yang menjadi polutan udara utama (Lestari, 2022). Dari 425.154 ton polutan, 70% (298.170 ton) di antaranya merupakan emisi karbon (DLH DKI Jakarta, 2020).

Di sisi lain, selama beberapa dekade terakhir sekitar 20% (3,2-4 m per tahun) garis pantai di Indonesia mulai mengalami abrasi karena kenaikan permukaan air laut (Kementerian LHK, 2022). Bahkan, hingga tahun 2022, permukaan air laut Indonesia telah mengalami peningkatan sebesar 62,3 mm (IMF, 2022). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 7,6 mm (Lee, 2024). Lagi-lagi, hal ini diakibatkan oleh emisi karbon, khususnya di daerah pesisir.

Emisi karbon merupakan penyebab utama krisis iklim yang ditandai dengan penurunan kualitas udara, peningkatan permukaan air laut, penurunan muka tanah, dan sebagainya (Franzen & Mader, 2021). Jika tetap dibiarkan, hal-hal ini akan berdampak buruk bagi manusia, seperti masalah kesehatan, ketidakstabilan pangan, hingga gangguan ekonomi (Zielinski, 2023). Oleh karena itu, sebagai salah satu unsur penting dalam Model Pentaheliks, dunia pendidikan —guru dan siswa— perlu mengambil langkah signifikan dalam mencegah krisis iklim dan mewujudkan keberlanjutan yang dimulai dari sekolah.

Dengan Kurikulum Merdeka yang digagas oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim, langkah di atas sangat memungkinkan untuk dilakukan melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Secara khusus, proyek yang akan dilakukan perlu mencakup dua tema utama dari P5, yakni gaya hidup berkelanjutan serta rekayasa dan teknologi. Dalam konteks ini, proyek yang dapat diterapkan adalah pembuatan pohon cair sederhana bagi siswa SMA yang berkaitan dengan mata pelajaran biologi.

Proyek Pohon Cair Sederhana

Ilustrasi Proyek Pohon Cair Sederhana
Ilustrasi Proyek Pohon Cair Sederhana | Gambar: Penulis.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pohon merupakan penghasil oksigen dan penyerap emisi karbon utama bagi bumi melalui proses fotosintesis (Rahmatika dkk., 2023). Misalnya, pohon-pohon yang ditanam di sepanjang jalan arteri dapat menyerap seluruh emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas kendaraan (Nursyahbandi dkk., 2020). Oleh karena itulah, pohon disebut juga sebagai solusi perubahan iklim berbasis alam (nature-based climate solution).

Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa keterbatasan lahan menjadi tantangan dalam penanaman pohon, khususnya di daerah urban dan lingkungan sekolah. Dalam mengatasi hal ini, pohon cair dapat menjadi alternatif solusi karena dapat menghemat penggunaan lahan hingga berkali-kali lipat.

Sesuai dengan namanya, pohon cair memiliki mekanisme fotosintesis yang sama layaknya pohon konvensional. Hanya saja, pohon cair melibatkan mikroalga, yakni tumbuhan dengan ukuran sangat kecil yang hidup di air (Vojvodić dkk., 2023). Mikroalga dapat melangsungkan fotosintesis karena memiliki klorofil yang berfungsi seperti zat hijau daun pada pohon.

Ilustrasi Proses Pembuatan Pohon Cair Sederhana | Gambar: Penulis.
Ilustrasi Proses Pembuatan Pohon Cair Sederhana | Gambar: Penulis.

Proyek pembuatan pohon cair sederhana diawali dengan pengambilan (isolasi) dari ekosistem air, seperti sungai, danau, kolam, atau pesisir (Purnamasari, 2020). Pada tahap ini, prinsip pelokalan dalam SDGs (Sustainable Development Goals) perlu dilakukan sebab setiap daerah memiliki jenis mikroalga dan tingkat potensi kontaminasinya masing-masing. Misalnya, ekosistem air di pedesaan cenderung menghasilkan Chlorella vulgaris sebagai jenis mikroalga terbaik dan potensi kontaminasi dengan bakteri atau jamur yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perkotaan (Sehabudin, 2011). Dengan demikian, prinsip pelokalan bertujuan untuk menyesuaikan relevansi dan langkah-langkah teknis yang perlu diambil dalam penerapan proyek.

Setelah diisolasi dari alam, mikroalga perlu dimurnikan dengan kandungan-kandungan lain dalam air. Proses pemisahan ini dilakukan dengan penyaringan (filtrasi) atau mesin pemutar (sentrifugasi) sederhana.

Mikroalga murni kemudian dikembangbiakkan (kultur) dalam wadah sederhana yang tertutup, seperti botol, galon, atau ember plastik. Namun, akuarium kecil juga dapat digunakan untuk menambah nilai estetika proyek. Mikroalga tidak membutuhkan lahan atau wadah kultur yang luas karena selain ukurannya yang kecil, perkembangbiakannya juga bersifat eksponensial —setiap sel mampu berkembang menjadi 10.000 dalam waktu satu hari (Purnamasari, 2020). Di sisi lain, intensitas paparan sinar matahari Indonesia sebagai negara tropis juga menguntungkan bagi mikroalga untuk berkembang biak.

Akan tetapi, potensi perkembangan eksponensial mikroalga perlu diperhatikan agar tidak terjadi overproduksi. Oleh karena itulah, wadah kultur perlu dibuat secara tertutup untuk mengontrol paparan sinar matahari yang masuk. Selain itu, wadah yang tertutup juga berfungsi untuk mencegah kontaminasi mikroalga benda-benda lain, seperti debu, bakteri, atau jamur, yang dapat menganggu perkembangbiakannya.

Tahap kultur pada proyek pembuatan pohon cair sederhana ini menjadi bagian terpenting untuk menciptakan lingkungan yang berkelanjutan. Ketika berkembang biak, mikroalga melakukan fotosintesis yang melibatkan penyerapan CO2 dan pelepasan O2 secara masif. Proses yang serupa dengan pohon ini membuat pembudidayaan mikroalga dalam pohon cair sederhana sepadan dengan penanaman pohon hingga reboisasi hutan (Sehabudin, 2011).

Akuarium berukuran kecil (15x10x10 cm)
Akuarium berukuran kecil (15x10x10 cm) | Gambar: Penulis.

Penelitian Vojvodić dkk. (2023) menemukan bahwa tiga liter air berisi mikroalga setara dengan lahan rumput seluas 1 m2. Artinya, hanya dengan dua akuarium berukuran kecil (15x10x10 cm) dengan luas 30 cm2 saja telah menghemat penggunaan lahan hingga 33 kali lipat. Oleh karena itulah, pohon cair sederhana relevan untuk diterapkan di lingkungan sekolah dengan ketersediaan lahan yang terbatas.

Dengan durasi rata-rata tiga minggu sejak hari pertama kultur, mikroalga umumnya sudah berkembang biak secara masif. Jika memungkinkan, Sebagian mikroalga dapat dipanen dan dipindahkan pada wadah kultur lain. Namun, jika tidak memungkinkan, mikroalga digunakan sebagai biomassa untuk pupuk atau pakan ternak organik yang tidak merusak lingkungan.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, proyek pembuatan pohon cair sederhana menjadi solusi sapu jagat bagi praktik baik pendidikan dan pembangunan berkelanjutan di lingkungan sekolah. Proses kultur yang melibatkan fotosintesis serupa dengan pohon konvensional menjadi poin utama bagaimana mikroalga dapat mewujudkan solusi berbasis alam yang berkelanjutan. Selain itu, pohon cair sederhana juga efisien secara ekonomis. Bahan baku yang dapat diisolasi dari ekosistem air di sekitar sekolah, penggunaan alat yang sederhana, kebutuhan lahan yang kecil, hingga manfaat yang bersifat segera membuat proyek ini menjadi aplikatif dan terjangkau bagi guru dan siswa.