fbpx
Freepik/hendywilliamsino

Perempuan dan Komunikasi Ruang Publik

Pengantar

Realitas kehadiran dan partisipasi perempuan dalam ruang publik pada era modern saat ini masih merupakan sebuah perjuangan yang panjang dan penuh rintangan. Maraknya persoalan kekerasan pada perempuan serempak menghambat proses memajukan sebuah kebudayaan baru seperti keseimbangan partisipasi perempuan dan laki-laki, atau pun persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam banyak bidang aspek kehidupan. Hal itu terlihat dari rekomendasi Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) pada 15 November 2021, menanggapi laporan berkala ke-8 Indonesia dan jawaban Indonesia atas list of issues (LOI) tentang kemajuan implementasi komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia sepanjang tahun 2012-2018 masih minim.[1] Eksistensi perempuan dalam dunia publik yang sebenarnya sama dengan laki-laki menjadi timpang karena lemahnya penguatan regulasi terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemberdayaan perempuan yang tak sepadan dengan tugas laki-laki. Regulasi yang sebenarnya menjadi sandaran utama perempuan dalam perlawanan tindak kekerasan malah menjadi media yang mengukuhkan tindakan kekerasan itu sendiri.

Dalam sektor politik, Iris Marion Young, filsuf feminis kontemporer menegaskan bahwa dikriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik bukan saja menjadi  milik masyarakat tradisional yang paternalistis, tetapi juga masyarakat demokratis liberal yang menekankan prinsip kebebasan, kesetaraan gender dan HAM juga menyembunyikan mekanisme-mekanisme dikriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas terutama kaum perempuan, warga kulit hitam, kaum lesbyan dan gay.[2] Kenyataan parah ini juga terjadi dalam Negara Indonesia yang menekankan nilai demokrasi bagi segenap warganya. Sebagai contoh, laporan Komnas Perempuan yang menyatakan bahwa terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020. Perempuan sebagai bagian penting sebuah negara mesti mendapat ruang yang cukup dalam kehidupan publik, sebab kehadiran perempuan dalam ranah praktis publik adalah sebuah langkah inovasi pemberdayaan sekaligus langkah solutif meretas mata rantai kekerasan terhadap perempuan. Munculnya peran perempuan secara perlahan dalam ruang publik secara merata dengan laki-laki merupakan sebuah budaya baru yang mesti dihidupi. Perempuan sebagai bagian ciptaan Tuhan perlu mengedepankan hak asasinya dalam ruang publik sehingga tercipta nilai martabat hidup yang terangkum dalam aspek moralitas hidup manusia terkhusus pada perempuan. Atas dasar itu, dibutuhkan komunikasi ruang publik yang mempertemukan harkat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dengan dialektika terbuka dalam setiap aspek kehidupan. Oleh karena itu, penulis hendak menyoroti kehadiran perempuan mengatasi masalah kekerasan dengan menilik keaktifan yang secara umum terangkum dalam tiga bidang ini; politik, ekonomi dan sosial-budaya.

Perempuan dalam Ruang Publik

Kehadiran perempuan dalam ruang publik merupakan sebuah usaha membebaskan sekaligus mengangkat martabat manusia yang bermoral dan memiliki HAM. Pada abad 18, keberlangsungan konsep martabat manusia dirumuskan sebagai basis paham HAM yang memiliki validitas universal.[3] Hal itu menegaskan bahwa pemberlakuan HAM akan berlangsung tanpa mengenal orang, tempat atau pun waktu yang membatasi. Konsep ini pula yang menjadi acuan manusia menegakkan moralitas hidup seperti tindakan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada era modern ini. Penyalahgunaan kekuasaan pada bidang politik yang menjerumuskan perempuan pada minimnya partisipasi aktif dalam mengemukakan kebebasan berpendapat, pembangunan ekonomi yang bercokol pada ekonomi laki-laki semata serta pemanfaatan budaya patrialkal merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam ruang publik yang melemahkan nilai martabat manusia itu sendiri.

Data yang dilampir oleh Komnas perempuan menjelaskan bahwa keprihatinan terhadap kekerasan dunia maya menjadi proritas pada tahun ini. Data pengaduan langsung di tahun 2020, data Lembaga layanan menunjukkan bahwa Kekerasan berbasis gender siber (KBGS) meningkat dari 126 kasus di 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020. Berbeda dengan tahun sebelumnya walau tidak signifikan bentuk kekerasan yang mendominasi KBGS adalah kekerasan psikis 49% (491 kasus) disusul kekerasan seksual 48% (479 kasus) dan kekerasan ekonomi 2% (22 kasus)[4]. Hemat penulis, spirit perempuan dalam ruang publik akan memengaruhi peningkatan atau pun penurunan tindakan kekerasan terhadap perempuan itu sendiri dengan pemberdayaan yang mengeluarkan potensi perempuan pada jalur politik, ekonomi dan sosial-budaya secara merata dan menyeluruh. Kekerasan terhadap perempuan pada jalur politik, ekonomi dan sosial-budaya pada level ini menjadi substansi masalah yang tak dapat disingkirkan hanya dengan satu muatan saja, dalam hal ini pemberdayaan kaum laki-laki tak dapat mewakili penyelesaian masalah tanpa adanya ruang dialektika dari kaum perempuan yang membutuhkan sarana keluar dari substansi masalah kekerasan yang dihadapi.

Pemberdayaan perempuan guna penghapusan kekerasan dengan tampil dalam ruang politik, ekonomi atau pun sosial-budaya mengindikasikan adanya dialektika berkelanjutan entah pada ranah wawasan atau pun pada gerakan praksis antara kaum laki-laki dan perempuan membutuhkan sebuah regulasi yang mengatur secara terstruktur dan terjadi dalam sebuah keseimbangan pandangan wawasan akan kekerasan terhadap perempuan. Sementara itu, dalam gerakan sosial muncul gerakan feminisme. Gerakan ini bertujuan menentang dominasi pria dalam suatu masyarakat yang bersifat patriarki, yang diwujudkan dalam kritik sosial seperti kedudukan perempuan yang tidak seimbang dalam dunia politik atau pun kekuatan menopang kebutuhan ekonomi yang bertumpu pada laki-laki semata. Hemat penulis, ruang perempuan dalam ruang publik menciptakan kondisi yang kondusif dari kekerasan digapai melalui kolaborasi spirit gagasan dan spirit gerakan sosial yang berjalan bersamaan.

Suara Perempuan: HAM dan Keseimbangan Peran

Kehadiran perempuan menyuarakan HAM tak hanya dapat diwujudkan dalam ruang yang sempit semacam ruang keluarga atau kelompok-kelompok tertentu saja. Perjuangan memenangkan suara itu harus nampak dalam cakupan yang luas dengan daya pengorbanan yang sedikit lebih berat daripada sebelumnya sebab meminjam pendapat Otto Gusti Madung, memperjuangkan HAM membutuhkan orientasi makna dan nilai yang ditemukan dalam masyarakat, sangat bergantung pada vitalitas sosial dari tradisi, sumber-sumber kultural, agama, model-model etos serta tatanan sosial masyarakat.[5] Hemat penulis, semua orientasi itu terangkum dalam peran perempuan dalam tiga bidang pemberdayaan kehidupan, mencakup;

Pertama, sektor politik. Penguatan pemberdayaan perempuan dalam ranah politik membutuhkan suatu kekuatan regulasi yang mengikat dan menetap dalam perlindungan kehidupan perempuan, yang mampu selalu bertumpu pada ranah hukum dengan latar belakang demokrasi yang mumpuni. Eksistensi regulasi yang memegang peranan tinggi dalam hukum perlu mengedepankan konsistensi dan kecakapan dalam mengatur, mengawasi, dan memberdayakan perempuan seturut kemampuan dan hak yang mereka miliki. Beberapa kebijakan yang diambil seperti Rekomendasi Umum No. 23 tentang kehidupan politik dan publik, dimana perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah serta menduduki jabatan publik dan menjalankan segala fungsi publik pada seluruh tingkatan pemerintahan serta Pasal 46 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjamin keterwakilan perempuan baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Regulasi yang diambil dalam ranah hukum ini serta merta menciptakan ruang yang luas bagi perempuan memainkan perannya dalam menyeimbangkan kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik. Pada titik ini dipahami bahwa semakin banyak regulasi yang diambil semakin seimbang pula kekuatan suara perempuan dalam ranah politik pembangunan yang mengesampingkan kekerasan terhadap perempuan itu sendiri.

Kedua, sektor ekonomi. Pembaharuan perempuan dalam sektor ini menegaskan perimbangan kekuatan perempuan dalam hal pembangunan ekonomi baik dalam keluarga maupun dalam lingkup yang lebih luas. Kecakapan perempuan dalam hal ini mampu menetralkan kekerasan yang terjadi sebab kekuasaan untuk menentukan suatu putusan semakin seimbang tanpa adanya pelecehan kekerasan ekonomi seperti stigma  sumber keuangan utama hanya pada laki-laki semata. Hemat penulis, komunikasi kekerasan ekonomi dalam hal ini juga turut memberikan ruang partisipatif bagi perempuan demi pembangunan ekonomi sebuah negara yang juga menjadi cikal bakal penerapan budaya ekonomi yang baru untuk sebuah negara.

Ketiga, sektor sosial-budaya. Komunikasi publik terkait kekerasan perempuan dalam ranah sosial-budaya mesti membebaskan perempuan dari kungkungan tradisi yang mengikat. Kisah perempuan Hinako, Nias yang berupaya menyuarakan kesetaraan melalui proses edukasi dan sosialisasi mesti menjadi budaya baru dalam melawan kekerasan terhadap perempuan[6] tanpa merusak daya inovasi perempuan dalam menjaga dan memberdayakan diri di lingkungan sosial masyarakat. Selain itu, penyelesaian masalah kawin tangkap di Sumba melalui organisasi kemasyarakatan mesti mengedepankan HAM dan keadilan sosial terkhusus bagi perempuan. Dengan hal ini didapatkan bahwa kemajuan perempuan menghidupi budaya baru yang membangun turut mereduksi kekerasan terhadap perempuan yang terjadi.

Penutup

Sosialisasi perlawanan kekerasan terhadap perempuan melalui partisipasi aktif perempuan dalam ruang publik seperti yang terangkum dalam sektor politik, ekonomi dan sosial-budaya merupakan usaha sadar menciptakan kondisi yang kondusif dalam keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan. Lahirnya budaya baru semacam ini meneruskan apa yang menjadi HAM dalam memberdayakan sekaligus membangun makna kehidupannya. Oleh karena itu, keseimbangan antara peran perempuan dan laki-laki mesti menjadi sebuah kultus yang mendorong terciptanya nilai kemanusiaan sebagai manusia yang hidup dalam ruang lingkup publik itu sendiri.

Daftar Pustaka

Gusti Madung, Otto. Negara, Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia. Maumere: Penerbit Ledalero, 2014.

Komnas Perempuan. Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19 Catatan  kekerasan terhadap Perempuan tahun 2020. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2021.

Lilijawa, Isidorus. Perempuan, Media dan Politik. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010.

Pandu, Pradipta. “Perempuan Hinako Suarakan Kesetaraan”, Kompas, 3 Desember 2021 < https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/12/03/perempuan-hinako-menyuarakan-kesetaraan>.

Sinombor, Sonya Hellen. “Perkuat Perlindungan Hukum bagi Perempuan”, Kompas 30/11/2021.  <https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/11/30/penguatan-perlindungan-hukum-bagi-perempuan-dinanti?utm_source=kompasid&utm_medium=whatsapp_shared&utm_content=sosmed&utm_campaign=sharinglink>.

[1]Sonya Hellen Sinombor, “Perkuat Perlindungan Hukum bagi Perempuan”, Kompas 30/11/2021.  <https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/11/30/penguatan-perlindungan-hukum-bagi-perempuan-dinanti?utm_source=kompasid&utm_medium=whatsapp_shared&utm_content=sosmed&utm_campaign=sharinglink>.

[2]Iris Marion Young dalam Isidorus Lilijawa, Perempuan, Media dan Politik (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010), hlm. vi.

[3]Otto Gusti Madung, Negara, Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 98.

[4]Komnas Perempuan, Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19 Catatan  kekerasan terhadap Perempuan tahun 2020 (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2021), hlm. 97.

[5]Otto Gusti Madung, op. cit.,hlm. 85.

[6]Bdk. Pradipta Pandu, “Perempuan Hinako Suarakan Kesetaraan”, dalam Kompas, 3 Desember 2021  <https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/12/03/perempuan-hinako-menyuarakan-kesetaraan>.