Sari wijaya 0shares Menggali Potensi Intelektual demi Kesejahteraan Bangsa Masa Depan Read More  Data kemiskinan di kalangan penyandang disabilitas sering kali menunjukkan tren yang lebih buruk dibandingkan dengan populasi umum. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa lebih dari 15% populasi dunia adalah penyandang disabilitas, dan mereka lebih mungkin berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) 1 – 5 orang, 20% dari populasi orang termiskin di negara berkembang berasal dari penyandang disabilitas dan 80% penyandang disabilitas tinggal di negara berkembang. Penyandang disabilitas memiliki keterbatasan akses dalam mendapatkan pendidikan dan memiliki kecenderungan pada pengucilan ekonomi dan sosial. Sekitar 785 juta perempuan dan laki-laki Penyandang disabilitas berada pada usia kerja, tetapi mayoritas dari mereka tidak bekerja. Lebih jauh lagi, peningkatan kapasitas dan kesempatan kerja untuk Penyandang disabilitas masih sangat terbatas. Jumlah angka penyandang disabilitas di Kecamatan Tabang cukup tinggi yaitu berjumlah 96 orang. Dengan kategori penyandang disabilitas yang berbeda beda yaitu: Tuna Daksa (Fisik) sejumlah 35 orang, Tuna Rungu (tuli) 16 orang, Tuna Netra (Kebutaan) 5 orang, Tuna Wicara (Tutur) 13 orang, Tuna Grahita (kesehatan mental) 25 orang, Tuna Ganda (ganda) 2 orang. Kecamatan Tabang merupakan salah satu kecamatan yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur., Kecamatan Tabang terletak antara 115º26’–116º18’ Bujur Timur dan 0º18’–1º28’ Lintang Utara dengan luas wilayah mencapai 7.764,51 km2 dan ketinggian sekitar 32 meter dari permukaan laut. Kecamatan Tabang dilalui oleh satu sungai besar, yaitu Sungai Belayan dengan lebar sekitar 100 meter dan kedalaman hingga 10 meter. Sungai Belayan mengalir dari Desa Muara Tuboq di hulu. Kecamatan Tabang jauh dari ibukota, untuk mengakses Lokasi tersebut dari Kota Samarinda, perlu menempuh waktu lebih dari 10 jam. Melalui analisa geografis wilayah tabang, penyandang disabilitas di Kecamatan Tabang menemukan kerentanan yang perlu untuk didorong kepada semua stakeholder untuk peduli terhadap kondisi mereka. Dalam artikel ini akan memaparkan tentang Tantangan yang mereka hadapi dan solusi yang dapat ditawarkan untuk mengurangi angka kemiskinan mereka. Akar Masalah Kemiskinan dan Tantangannya Peter Townsend, seorang sosiolog Inggris, mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana individu atau kelompok tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk berpartisipasi dalam pola kehidupan yang dianggap layak oleh masyarakat di mana mereka tinggal. Menurut Townsend, kemiskinan tidak hanya mencakup pendapatan yang rendah tetapi juga kekurangan akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan layanan sosial, yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan yang sehat dan bermartabat. Pada studi kasus Penyandang Disabiltas. Kemiskinan yang dihadapi mereka tak hanya diukur dalam kerangka pendapatan yang rendah, melainkan akar-akar kemiskinan yang perlu  musabab kemiskinan menjadi sangat urgen untuk dibicarakan. Pertama, rendahnya pendidikan alternatif bagi kelompok disabilitas. Berdasarkan Statistik Pendidikan 2018, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas penyandang disabilitas yang masih sekolah hanya 5,48 persen. Penyandang disabilitas yang belum atau tidak pernah bersekolah sama sekali mencapai 23,91 persen. Sementara itu, penyandang disabilitas yang tidak bersekolah lagi sebesar 70,62 persen. Rendahnya akses terhadap pendidikan bagi kelompok disabilitas merupakan masalah serius yang berdampak luas pada kesejahteraan dan peluang hidup mereka. Pendidikan adalah hak dasar bagi setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, tetapi kenyataannya, banyak dari mereka masih mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kedua, Infrastruktur bagi kelompok disabilitas belum inklusif. Pada 2017, Indonesia telah melembagakan TPB ke dalam agenda pembangunan nasional, yang ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Hal ini berarti Indonesia perlu menciptakan pembangunan yang inklusif penyandang disabilitas untuk memastikan tidak adanya satu orang pun yang tertinggal dalam proses pembangunan. Infrastruktur yang belum inklusif menjadi tantangan bagi kelompok disabilitas untuk berpatisipasi penuh dalam aspek kehidupan seperti pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan kegiatan sosial. Meskipun ada banyak upaya untuk memperbaiki aksesibilitas, kenyataannya, banyak infrastruktur di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, masih belum ramah disabilitas. Ketiga, Alokasi anggaran pemerintah yang rendah. Berdasarkan alokasi Anggaran Penyelenggaraan Unit Layanan Disabilitas Ketenagakerjaan, menurut RKPD Kutai Kertanegara pada tahun 2023 hanya dianggarkan Rp 75.000.000,- per tahun.  Alokasi anggaran itu jelas belum cukup memenuhi kelompok disabilitas. Anggaran yang tidak memadai berdampak langsung pada kualitas hidup penyandang disabilitas, membatasi akses mereka ke layanan pendidikan, kesehatan, pelatihan keterampilan, serta peluang ekonomi. Keempat, Stigmatisasi bahwa kelompok disabilitas adalah kelompok masyarakat yang tidak berdaya dan tidak mampu membangun kemandirian. Stigmatisasi terhadap kelompok disabilitas sebagai kelompok masyarakat yang tidak berdaya dan tidak mampu membangun kemandirian adalah salah satu tantangan terbesar yang menghambat inklusi dan pemberdayaan mereka. Pandangan ini tidak hanya merendahkan nilai individu penyandang disabilitas, tetapi juga menciptakan hambatan sosial, ekonomi, dan psikologis yang memperburuk ketidaksetaraan dan diskriminasi. Beberapa penelitian di Indonesia mengindikasikan rendahnya tingkat kesadaran penyandang disabilitas terhadap hak-haknya serta rendahnya penghargaan mereka terhadap dirinya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh (Miranda-Galarza et al., 2013) yang menggunakan pendekatan partisipatoris untuk mengetahui personal knowledge dan proses membangun kesadaran penyandang disabilitas–dengan fokus kasus leprosy (kusta). Mereka memiliki perasaan takut dan kepercayaan diri yang rendah ketika berhubungan dengan orang-orang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi. Hal ini teridentifikasi ketika asisten peneliti penyadang disabilitas yang terlibat dalam penelitian harus menyelenggarakan FGD dan wawancara dengan guru dan tokoh agama; mereka merasa takut, inferior, dan ragu atas pengetahuan yang mereka miliki. (Miranda-Galarza et al., 2013: 94)  Sirkulasi ekonomi, solusi kemiskinan disabilitas Sirkulasi ekonomi adalah konsep yang mengacu pada perputaran dan distribusi sumber daya dalam masyarakat, termasuk uang, barang, dan jasa, yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Dalam konteks penyandang disabilitas, sirkulasi ekonomi yang inklusif dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi kemiskinan yang sering dihadapi oleh kelompok ini. Melalui kebijakan dan praktik yang mendorong partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam ekonomi, kita dapat menciptakan peluang yang lebih besar bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan dan hidup mandiri. Untuk keluar dari akar masalah ini, sirkulasi ekonomi dapat terwujud dengan adanya pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas; peningkatan akses ke pasar kerja; inklusi keuangan; penguatan jaringan dan komunitas; dan pembangunan Infrastruktur yang inklusif. Pertama, Pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas. Pendidikan dan pelatihan keterampilan adalah kunci untuk memberdayakan penyandang disabilitas dan meningkatkan partisipasi mereka dalam ekonomi. Dengan meningkatkan akses ke pendidikan inklusif dan pelatihan yang relevan, penyandang disabilitas dapat memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk memasuki pasar kerja atau memulai usaha sendiri. Ini akan meningkatkan pendapatan mereka dan mengurangi ketergantungan pada bantuan sosial. Kedua, Peningkatan Akses ke Pasar Kerja. Kebijakan Perekrutan yang Inklusif: Pemerintah dan perusahaan perlu menerapkan kebijakan perekrutan yang inklusif, yang mendorong partisipasi penyandang disabilitas dalam angkatan kerja. Ini termasuk memastikan bahwa proses perekrutan dan lingkungan kerja ramah disabilitas, menyediakan akomodasi yang diperlukan, dan menentang diskriminasi di tempat kerja. Ketika penyandang disabilitas memiliki akses yang sama ke pekerjaan, mereka dapat berkontribusi secara produktif dalam ekonomi, meningkatkan pendapatan mereka, dan mengurangi kemiskinan. Ketiga, Inklusi Keuangan. Banyak penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam mengakses layanan keuangan seperti rekening bank, kredit, dan asuransi. Inklusi keuangan adalah langkah penting untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat mengelola keuangan mereka secara mandiri, menabung, dan berinvestasi. Program inklusi keuangan harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan khusus penyandang disabilitas, termasuk aksesibilitas layanan dan informasi Keempat, Penguatan Jaringan dan Komunitas. Membangun jaringan sosial dan ekonomi yang kuat di antara penyandang disabilitas dapat membantu mereka untuk saling mendukung dan berbagi informasi tentang peluang ekonomi. Komunitas yang solid juga dapat memfasilitasi akses ke sumber daya dan kesempatan kerja, serta mendorong partisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi lokal. Hal ini juga dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan multistakehilder semisal program pemerintah dan organisasi non-pemerintah (NGO) atau pihak swasta. Kelima, tak kalah penting adalah Pembangunan Infrastruktur yang Inklusif. Untuk memastikan penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam ekonomi, infrastruktur publik harus dirancang agar aksesibel bagi semua orang. Ini termasuk akses ke transportasi umum, pasar, pusat pelatihan, dan fasilitas keuangan. Infrastruktur yang inklusif memungkinkan penyandang disabilitas untuk bergerak bebas dan mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi, yang pada akhirnya meningkatkan sirkulasi ekonomi secara keseluruhan. Terakhir, Menciptakan jaringan produk lokal.  Dengan meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam ekonomi, ketergantungan mereka pada bantuan sosial dapat dikurangi. Ini tidak hanya meningkatkan kemandirian mereka, tetapi juga mengurangi beban fiskal pemerintah, yang dapat dialokasikan untuk investasi lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Ketika penyandang disabilitas diberdayakan secara ekonomi, kesejahteraan sosial secara keseluruhan meningkat. Mereka dapat lebih berkontribusi pada pendapatan rumah tangga, meningkatkan kualitas hidup mereka dan keluarga mereka, serta memperkuat ekonomi lokal melalui konsumsi dan investasi. Sirkulasi ekonomi yang inklusif dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi kemiskinan di kalangan penyandang disabilitas. Melalui kebijakan dan program yang memberdayakan mereka secara ekonomi, memberikan akses ke pendidikan, pelatihan, pasar kerja, dan layanan keuangan, serta membangun infrastruktur yang inklusif, penyandang disabilitas dapat lebih aktif berpartisipasi dalam ekonomi dan mencapai kemandirian. Ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan mereka secara individu, tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Sari Wijaya Â