fbpx
unsplash.com

Pentingnya Advokasi Inklusifitas dalam Bermasyarakat sebagai Langkah Strategis untuk Mengurangi Diskriminasi terhadap Teman Disabilitas

Sebagai bagian dari masyarakat, kita sudah tidak asing lagi berjumpa dengan beragam orang dengan latar belakang yang berbeda. Kita mungkin mampu untuk dapat berteman ataupun berinteraksi dengan mereka, tetapi bagaimana dengan teman-teman yang memiliki disabilitas? Tak banyak yang bisa dikatakan, saya pun merasa kesulitan untuk dapat berinteraksi dengan teman-teman disabilitas. Ketika itu tahun 2014, saat saya masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama, saya tidak sengaja bertemu dengan seseorang yang memiliki disabilitas untuk pertama kalinya. Saya tidak tahu harus mengatakan apa selain tersenyum dan menyapanya. Tentu saja saya senang, tetapi tidak pernah ada yang mengajarkan kepada saya mengenai teman disabilitas. Bagaimana seharusnya saya berkomunikasi dengan mereka ataupun apa yang harus saya lakukan jika bertemu dengan mereka? Saya akhirnya tahu bahwa yang saya temui waktu itu ialah teman tuli dan teman bisu. Komunikasi yang kami lakukan hanya dengan tulisan tangan karena saya pun tidak tahu mengenai bahasa isyarat yang digunakan dan tidak ada yang bisa menerjemahkannya juga. Saya merasa sangat senang dan menjadi tahu bahwa ada teman disabilitas di tengah-tengah masyarakat. 

Namun, kenyataannya banyak di antara teman disabilitas mengalami diskriminasi akibat minimnya pemahaman masyarakat dan stigmatisasi yang terbangun sehubungan dengan disabilitas. Hal ini menjadikan teman disabilitas kesulitan untuk bergaul akrab dengan lingkungannya hingga dapat berujung kesulitan bahkan enggan untuk dapat masuk ke dalam dunia kerja. Melalui data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (2022), teman disabilitas yang memilih untuk bekerja hanya sekitar 7,6 juta dari 17 juta orang penyandang disabilitas. Minimnya pemahaman inilah menjadi salah satu tantangan yang dihadapi untuk dapat mewujudkan ruang publik yang ramah dan berkeadilan bagi teman disabilitas, padahal teman disabilitas memiliki hak yang sama dan telah dijamin oleh hukum sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Bahkan secara internasional diatur dalam Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian diratifikasi oleh negara-negara di seluruh dunia. Tak hanya itu, teman disabilitas juga menjadi bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) dengan jargonnya, ‘No One Left Behind’ atau Tidak Meninggalkan Siapapun. 

Tak hanya itu, fasilitas publik yang disediakan untuk teman disabilitas pun banyak disalahgunakan atau tidak dirawat dengan baik. Salah satu contohnya seperti jalan trotoar dengan guiding block yang tidak dapat digunakan akibat pedagang kaki lima atau buruknya dijadikan lahan parkir atau tempat duduk khusus pada transportasi umum yang disalahgunakan oleh penumpang yang bukan penyandang disabilitas. Hal ini menjadi tantangan yang paling dasar dan pemerintah perlu melihat urgensi untuk melakukan advokasi inklusifitas dalam masyarakat tidak hanya soal suku, budaya atau latar belakang saja tetapi juga mengenai disabilitas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Achasnul Habib dalam wawancaranya, menyebutkan bahwa salah satu tantangan dalam pemenuhan hak dari teman disabilitas yaitu hambatan sosial-budaya yang mempengaruhi pola pemikiran terhadap penyandang disabilitas. Oleh karena itu, advokasi mengenai inklusifitas sangat diperlukan untuk dapat memberikan pemahaman yang bertujuan untuk mengubah pola pemikiran dan stigma negatif yang telah mengakar di masyarakat terkait teman disabilitas. 

Sebelumnya, kata advokasi diambil dari bahasa inggris, advocate yang ternyata tidak hanya memiliki arti membela (to defend) tetapi juga mengemukakan (to promote), berusaha menciptakan (to create), atau juga berarti melakukan perubahan (to change) secara sistematis dan terorganisir–sehingga advokasi dapat diartikan sebagai aktivitas yang memperjuangkan sesuatu untuk mencapai tujuan dengan sebuah gerakan yang dilakukan bersama-sama. Advokasi juga dapat dijadikan sarana untuk mengedukasikan mengenai hal-hal baru dengan cara yang lebih mudah untuk diterima oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan aksi advokasi akan menggunakan pendekatan yang lebih personal dan menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan sasaran yang hendak dituju. Jadi, tujuan yang hendak dicapai melalui advokasi dapat lebih mudah disampaikan, dipahami dan kena sasarannya. 

Hanya saja kesulitan dari aksi advokasi ini ialah tidak cukup hanya advokasi sekali atau dua kali. Advokasi perlu dilakukan secara berkelanjutan dan terus diperkuat mengingat masyarakat begitu dinamis. Apalagi bagi masyarakat dengan daya literasi rendah serta mudah menerima informasi tanpa menyaringnya ataupun memiliki stigma yang telah mengakar di masyarakat. Mengenai tujuan menciptakan masyarakat yang inklusif, masyarakat perlu sering bersinggungan dengan teman disabilitas dan diberikan edukasi melalui advokasi inklusifitas dalam bermasyarakat sehingga bisa mengubah pemikiran diskriminatif atau yang memandang sebelah mata dari teman disabilitas. Masyarakat juga perlu mengetahui mengenai wujud ruang publik yang inklusif, cara menjaganya, dan juga memiliki pemahaman terkait penyandang disabilitas. Hal ini dikarenakan disabilitas tidak hanya apa yang terlihat diluar tetapi juga ada beberapa penyandang disabilitas yang tidak terlihat seperti dyslexia, gangguan pada otak yang membuat seseorang lamban dalam proses belajar yang biasanya ditandai dengan lambat dalam menulis dan membaca pada usia anak-anak dan juga ada fibromyalgia, penyakit kronis yang membuat penderitanya merasakan rasa sakit berkepanjangan pada beberapa titik di tubuh. Maka dari itu, disabilitas tidak hanya yang terlihat tetapi juga ada yang tidak terlihat seperti contoh tersebut. Hal ini sangat jarang dibahas dalam lingkup masyarakat sehingga ada urgensi bagi masyarakat untuk sekiranya bisa mengetahui hal-hal seperti ini melalui advokasi inklusifitas. 

Penguatan advokasi inklusifitas yang diberikan tentu akan memperkaya pengetahuan masyarakat mengenai teman disabilitas dengan harapan dapat mendorong masyarakat terbuka untuk menciptakan lingkungan yang berkeadilan dan inklusif bersama dengan teman disabilitas. Harapannya juga, teman disabilitas memiliki kepercayaan diri untuk dapat berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga kondisi lingkungan yang inklusif, damai dan berkeadilan. Tidak hanya bagi teman disabilitas, tetapi bagi setiap orang dalam lingkup bermasyarakat yang berkelanjutan.

References

The American Heritage Dictionary of the English Language: New College Edition. (1985). Houghton Mifflin.

Koran Tempo. (2022, September 12). Diskriminasi Pekerja Disabilitas – Info Tempo. Koran TEMPO. Retrieved January 18, 2023, from https://koran.tempo.co/read/info-tempo/476403/diskriminasi-pekerja-disabilitas

NHS. (2022). Overview – – – Fibromyalgia. NHS. Retrieved January 20, 2023, from https://www.nhs.uk/conditions/fibromyalgia/

Siregar, U. (2021, December 3). Kaum Disabilitas Masih ‘Dianaktirikan’ di Tanah Air? – DW – 03.12.2021. DW. Retrieved January 18, 2023, from https://www.dw.com/id/disabilitas-dan-tantangannya/a-55625999

Wikipedia. (n.d.). Disleksia. Wikipedia. Retrieved January 20, 2023, from https://id.wikipedia.org/wiki/Disleksia