Elizabeth Simanjuntak Analis Hukum 0shares MENYULUT ENERGI HIJAU DARI EMAS CAIR: PERAN STRATEGIS KELAPA SAWIT DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Read More Tahun 2015 merupakan momentum di bidang perubahan iklim dimana sejumlah negara sepakat untuk memperkuat respon global terhadap ancaman perubahan iklim dengan cara membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C hingga 1,5°C dari tingkat suhu praindustrialisasi berdasarkan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (“Persetujuan Paris”) yang diadopsi pada COP-21. Salah satu tanggung jawab berdasarkan Persetujuan Paris adalah untuk menyusun Nationally Determined Contribution (NDC) yang berisi strategi serta target spesifik terkait rencana penurunan emisi. Sebagai salah satu negara pihak, Indonesia telah menyampaikan First NDC pada tahun 2016 yang intinya berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 29% di bawah Business as Usual (BAU) pada tahun 2030 dan sampai dengan 49% dengan bantuan internasional. Akan tetapi, berdasarkan riset WRI Indonesia, sektor energi justru diproyeksikan akan mendominasi produksi emisi GRK Indonesia pada periode 2026-2027 dengan kenaikan lebih dari 50%. Menurut Penulis, untuk dapat mencapai target penurunan emisi GRK, pemerintah perlu langkah besar untuk merumuskan kebijakan transisi energi bersih melalui pengembangan teknologi energi bersih (salah satunya sumber energi baru dan terbarukan (EBT)). Sektor pembangkit listrik tercatat sebagai penyumbang emisi GRK terbesar, sehingga pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT seharusnya menjadi prioritas proyek pembangunan nasional. Rencana induk pengembangan proyek EBT diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. Peraturan Presiden tersebut memuat target ambisius pencapaian bauran energi primer di tahun 2025 sebesar 23% dan 31,2% pada tahun 2050. Sayangnya, rencana induk tersebut belum cukup efektif meningkatkan laju pengembangan pembangkit listrik EBT karena dalam tataran praktis, pengembangan pembangkit listrik EBT sangat terhambat dengan faktor keterbatasan instrumen finansial yang sesuai dengan karakteristik proyek EBT serta belum adanya pengaturan skema tarif yang jelas dari pemerintah. Hambatan dan risiko tersebut sangat berpotensi menghalangi investasi pihak swasta di sektor EBT. Selain komitmen yang termuat di dalam Persetujuan Paris dan target-target nasional Indonesia, kebutuhan energi terbarukan sangat terkait dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu Energi Bersih dan Terjangkau serta berdampak secara langsung pada pencapaian Penanganan Perubahan Iklim. Mengingat salah satu bentuk pemanfaatan energi terbarukan yang sangat dominan di Indonesia adalah untuk pengembangan pembangkit listrik, maka pemerintah perlu merumuskan arah kebijakan yang dapat meningkatkan pemanfaatan tenaga listrik yang bersumber dari EBT yang akan mendorong peningkatan ketahanan energi nasional serta mengurangi emisi GRK. Arah kebijakan yang jelas dan menarik bagi investor di sektor pembangkit listrik berbasis EBT adalah solusi yang tepat untuk mencapai target SDGs secara simultan, terukur, serta progresif. Penulis merekomendasikan penerapan kebijakan Feed-in Tariffs, Mezzanine Financing, serta Net-Metering Compensation yang merupakan kebijakan yang efektif untuk mempercepat pengembangan pembangkit listrik EBT di Indonesia yang pada akhirnya akan berdampak pada pencapaian target SDG maupun komitmen NDC Indonesia. 1. Diversifikasi Mekanisme Pembiayaan Proyek Pembangkit Listrik Energi Baru dan Terbarukan Berskala Kecil Secara umum, pengembangan pembangkit listrik EBT di Indonesia masih terdapat beberapa kendala, di antaranya (1) penetapan tarif dari pemerintah yang rendah sehingga membuat investasi EBT tidak menguntungkan, (2) suku bunga pinjaman tinggi, (3) persyaratan agunan yang rumit, sehingga sulit untuk meningkatkan pembiayaan proyek EBT, (4) mekanisme kerja sama Build, Own, Operate, Transfer (BOOT) yang kurang menarik bagi investor, dan (5) ketidakpastian terkait dengan persyaratan, jadwal, dan hasil dari perizinan dan prosedur perizinan sehingga menciptakan risiko tinggi yang merugikan bagi Independent Power Producer (IPP). Sebetulnya, pemerintah pernah menetapan skema Feed-in Tariffs (FIT) untuk pengembangan pembangkit listrik melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Perseroan) dari Pembangkit Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik. Namun kemudian kebijakan tersebut diubah pada tahun 2019 dimana pemerintah menerapkan kebijakan patokan harga maksimum untuk menurunkan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di lokasi yang tidak ada sumber primer lain. Terdapat juga penambahan ketentuan persetujuan harga dimana pemerintah membuka ruang untuk PT PLN dan Independent Power Producer (IPP) bernegosiasi menetapkan harga kesepakatan dengan persetujuan Menteri ESDM serta menerapkan mekanisme kerja sama BOOT, kecuali Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Perubahan-perubahan yang tidak menentu ini jelas merupakan hambatan untuk meningkatkan investasi pembangkit listrik EBT. Menurut Penulis, pendekatan utama yang tepat untuk mengatasi masalah profitabilitas proyek pembangkit listrik EBT adalah dengan melakukan diversifikasi kebijakan pembiayaan berdasarkan mekanisme FIT dan Mezzanine Financing dengan mempertimbangkan faktor teknologi, lokasi dan kapasitas pembangkit, serta jenis energi terbarukan yang dimanfaatkan di masing-masing daerah. Pada dasarnya, proyek pembangunan pembangkit listrik EBT tergolong proyek berskala kecil (small-scale project). Skema yang ideal untuk pembiayaan proyek berskala kecil dan dapat menarik investor adalah skema FIT. FIT merupakan harga patokan pembelian harga energi berdasarkan biaya produksi pembangkit listrik EBT. Kebijakan tersebut dapat diberlakukan pada sumber EBT di antaranya fotovoltaik, hidro, panas bumi, dan bioenergi. Akan tetapi, BPP setempat bukan satu-satunya faktor yang harus dipertimbangkan, pemerintah perlu lebih mempertimbangkan keseluruhan biaya teknologi pembangkit listrik EBT. Selanjutnya, skema Mezzanine Financing. Sebagai proyek berskala kecil, tantangan yang paling sering dihadapi oleh IPP adalah neraca keuangan yang lemah dan ukuran transaksi yang kecil, sehingga mengakibatkan kesulitan saat mencari modal kerja dan pinjaman modal dari lembaga perbankan dan pembiayaan lainnya. Skema Mezzanine Financing merupakan skema pembiayaan proyek pembangkit listrik skala kecil dimana pengembang diberikan dukungan melalui beberapa inisiatif dan program pendanaan yang lebih luas, misalnya dari perbankan atau kerja sama internasional. Sebagai contoh, dalam proyek Sarulla Geothermal Power Generation Project yang merupakan kontrak kerja sama antara Sarulla Operations Limited dengan Pertamina Geothermal Energy berhasil membangun 3 x 110 MW pembangkit listrik geotermal di Tapanuli, Sumatera Utara (Table 1, terlampir). Proyek tersebut memperoleh pendanaan dari sponsor dan pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan ADB Clean Technology Fund serta ADB Climate Fund. Skema pembiayaan ini diharapkan dapat lebih dikembangkan untuk proyek-proyek pembangkit listrik EBT lain kedepannya, khususnya di daerah Indonesia timur yang masih memerlukan pasokan energi. Table 1. Sarulla Geothermal Project Financing Structure. Sumber: Renewable Energy Financing in Cambodia, Lao PDR and Myanmar, dipublikasi oleh ASEAN Centre for Energy (ACE) Agustus 2019) 2. Mekanisme Net-Metering Compensation sebagai Alternatif Solusi Pendistribusian Tenaga Listrik Net-metering merupakan suatu kebijakan yang memungkinkan pelanggan listrik dengan kapasitas pembangkit listriknya sendiri menjual kelebihan daya yang mereka produksi ke jaringan PT PLN (Persero). Mekanisme net-metering merupakan mekanisme yang digunakan untuk pelanggan retail yang mampu menyediakan tenaga listrik untuk konsumsi langsung yang bersumber dari EBT. Untuk menerapkan mekanisme ini, pemerintah perlu melakukan kajian sumber pembangkit apa saja yang dapat berpartisipasi dalam net-metering dengan mempertimbangkan kapasitas pembangkit dan jenis teknologi. Dalam praktik, energi matahari merupakan energi yang dominan digunakan dalam mekanisme ini. Sedangkan sumber proyek non-solar belum banyak berpartisipasi karena faktor biaya produksi dan faktor pelanggan yang lebih familiar dengan teknologi solar (misalnya untuk permahan, komersial, maupun industri). Di beberapa negara yang menerapkan net-metering, seperti Malaysia salah satunya, melakukan penghitungan pelanggan pengukuran bersih dengan cara menjumlahkan semua total listrik yang dihasilkan oleh pelanggan, tetapi beberapa negara lain hanya mengkompensasi pembangkitan surplus yang dikirim ke jaringan. Kompensasi tersebut diberikan dalam bentuk pengurangan pada tagihan bulan berikutnya. Di Indonesia, pembangkit listrik panel surya termasuk proyek yang sangat potensial untuk diberlakukan mekanisme net-metering. Hal ini dikarenakan pancaran matahari tersedia secara baik sebesar 4,1-5,5 kWh/m2/hari hampir di seluruh daerah di Indonesia. Sehingga, kemampuan untuk menyalurkan listrik ke jaringan PT PLN pada saat listriknya tidak digunakan oleh pelanggan dapat memberikan pengembalian investasi yang menarik. Simpulan Upaya untuk mencapai target energi bersih dan terjangkau memerlukan biaya yang tinggi, sehingga peran pemerintah dalam menciptakan kondisi yang bersahabat bagi pencapaian energi bersih dan terjangkau tersebut sangat diperlukan. Saat ini, kendala yang dihadapi investor untuk melakukan penanaman modal di sektor energi terbarukan merupakan permasalahan utama kurang berkembangnya EBT, khususnya mengenai permasalahan biaya tinggi dan rate of return yang tidak pasti dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Oleh karena itu peran pemerintah sangat penting dalam memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka mendukung upaya mitigasi emisi sekaligus ramah investasi untuk mencapai energi bersih dan terjangkau. Kebijakan yang efektif adalah kebijakan yang dapat memenuhi unsur technical feasibility, economic feasibility, dan accountability. Penerapan kebijakan Feed-in Tariffs, Mezzanine Financing, serta Net-Metering Compensation merupakan solusi yang Penulis yakin dapat diterapkan untuk mencapai Energi Bersih dan Terjangkau serta komitmen Indonesia terhadap Persetujuan Paris. Tiga kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang menarik bagi investor, sehingga dapat mempercepat pengembangan investasi di sektor EBT. Dengan diterapkannya tiga kebijakan finansial tersebut, proyek pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan menjadi lebih feasible bagi pihak swasta. Referensi Wijaya, Arief dkk. 2017. How can Indonesia Achieve its Climate Change Mitigation Goal? An Analysis of Potential Emissions Reductions from Energy and Land-Use Policies. World Resources Institute: Working Paper. Congressional Research Service. 2019. Net Metering: In Brief (CRS Report). International Renewable Energy Agency. 2012. Financial Mechanisms and Investment Frameworks for Renewables in Developing Countries. Asian Development Bank. 2019. Renewable Energy Financing Schemes for Indonesia. United Nations Environment Programme. 2005. Public Finance Mechanisms to Catalyze Sustainable Energy Sector Growth. ASEAN Centre for Energy (ACE). 2019. Renewable Energy Financing in Cambodia, Lao PDR and Myanmar: Support Framework, Challenges and Policy Recommendations. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2015. Sebuah Kebijakan Fiskal Terpadu untuk Energi Terbarukan dan Energi Efisiensi di Indonesia: Laporan Akhir. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2018. Kajian Analisis Dampak Insentif Fiskal terhadap Investasi dan Harga Jual Listrik dari Energi Terbarukan.
MENYULUT ENERGI HIJAU DARI EMAS CAIR: PERAN STRATEGIS KELAPA SAWIT DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Read More