Rizky Citra Anugerah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Tidak dapat dipungkiri bahwa di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia, toleransi merupakan salah satu nilai terpenting untuk mewujudkan kehidupan yang damai sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 16. Pada Merriam-Webster Dictionary, toleransi dijelaskan sebagai “simpati atau pengampunan untuk keyakinan atau praktik yang berbeda dari atau bertentangan dengan milik sendiri.” Ciri majemuk yang dimiliki masyarakat Indonesia, baik dari segi etnisitas, kepercayaan, warna kulit, mata pencaharian, dan lain-lain, merupakan hakikat dan takdir yang tidak dapat diganti atau dipaksakan. Perbedaan-perbedaan yang muncul dalam berbagai dimensi dan kuantitas ini membutuhkan “simpati atau pengampunan” yang lebih dari masing-masing masyarakat Indonesia demi mentransformasi kemajemukan yang ada menuju ke tahap multikulturalisme. Menilik Peran Pendidikan Proses diseminasi nilai-nilai toleransi menjadi kritis di tengah berkembangnya sikap intoleran dan interpretasi fundamentalis masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, pendidikan toleransi yang berkualitas menjadi asas terpenting dalam mewujudkan perdamaian di Indonesia. Pelaku pendidikan, misalnya guru, adalah katalis dalam mewujudkan harmonisasi keberagaman. Kompetensi seorang guru sekolah untuk mengadakan proses pendidikan — yang biasa disebut sebagai pedagogi — adalah senjata utama guru untuk memerangi intoleransi. Guru tidak hanya memegang kunci dalam perbaikan toleransi SARA, tetapi juga dalam aspek sosial lain, seperti perbedaan pendapat atau perbedaan latar belakang ekonomi. Lingkungan sekolah negeri, contohnya, merupakan mikrokosmos dari keberagaman Indonesia. Di dalamnya, terdapat peserta didik yang berasal dari beragam suku, agama, ras, ideologi politik, keadaan ekonomi, keterampilan, minat, bakat, cita-cita, harapan, dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut menjadikan penyelenggaraan pendidikan yang inklusif dan toleran sebuah kewajiban. Namun, apakah selama ini kita sudah berhasil? Berkaca pada Realita Penelitian yang dilakukan oleh Qowaid dalam artikel yang berjudul “Gejala Intoleransi Beragama di Kalangan Peserta Didik dan Upaya Penanggulangannya Melalui Pendidikan Agama Islam di Sekolah” menunjukkan bahwa, pada tahun 2013, 17,3% peserta didik SLTA memiliki tingkat intoleransi yang tinggi dan 71,7% lainnya memiliki tingkat intoleransi yang sedang. Hal ini merupakan fakta yang tragis, mengingat angka yang tersisa, yaitu jumlah peserta didik SLTA yang toleran, hanya 11%. Realita yang ada di lapangan ini membuktikan masih kurang berhasilnya penanaman nilai toleransi melalui tenaga didik dan sistem pendidikan yang ada. Hal tersebut membawa kita kepada pertanyaan, ke arah manakah pendidikan toleransi di Indonesia? Apakah permasalahan-permasalahan yang ada telah membaik seiring waktu ataukah justru memburuk? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami bahwa permasalahan ini merupakan sebuah permasalahan kompleks yang membutuhkan pendekatan dari berbagai aspek masyarakat. Tidak ada satu indikator pasti yang dapat menyatakan bahwa pendidikan toleransi telah berhasil diimplementasikan secara massal di Indonesia, khususnya dengan mengingat definisi toleransi yang tidak hanya meliputi SARA, tetapi juga unsur-unsur sosial lain. Untuk pembahasan kali ini, kita tidak akan berfokus kepada hasil yang dapat diamati, melainkan kepada upaya-upaya konkret yang telah dilakukan. Seperti yang kita tahu, pemerintah telah lama mengadakan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai salah satu upaya menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap kemajemukan kepada pelajar. Apabila ditelusuri, pendidikan kewarganegaraan telah ada dalam berbagai bentuk sejak zaman kolonialisme Belanda. Meskipun PKn awalnya tidak dibentuk untuk membangun sikap toleransi, PKn yang kita kenal sekarang merupakan hasil reformasi besar-besaran yang dilakukan pada zaman Orde Baru untuk menanamkan kecintaan terhadap pluralisme bangsa berdasarkan ideologi Pancasila. Sayangnya, mata pelajaran ini sering dipandang sebagai mata pelajaran yang tidak kritis dan bersifat indoktrinasi. Alih-alih tumbuh kesadaran mengenai Bhinneka Tunggal Ika, peserta didik sering merasa bosan dan menyepelekan mata pelajaran ini. Hal ini menjadikan tujuan diadakannya PKn sudah tepat, namun implementasi yang ada tidak sesuai dengan harapan. Selain kurangnya efektivitas pendidikan toleransi di lingkungan sekolah, Indonesia juga kurang berhasil dalam menanggulangi gejala radikalisme yang tumbuh di lingkungan pendidikan. Kebijakan publik dan hukum yang berlaku masih belum diimplementasikan secara tegas untuk mencegah pandangan ekstremis. Menurut Saekan Muchith melalui artikelnya yang berjudul “Radikalisme dalam Dunia Pendidikan”, tumbuhnya pandangan radikalisme agama di lingkungan sekolah salah satunya disebabkan oleh lemahnya implementasi Pasal 39 ayat 1-5 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Akibat dari hal ini, guru sering kali tidak mendapatkan perlakuan dan perlindungan hukum yang tegas ketika menemukan gejala radikalisme. Hal ini kembali membuktikan adanya usaha yang telah dilakukan Indonesia untuk menanggulangi permasalahan intoleransi di sekolah, namun implementasi yang ada masih jauh dari ideal. Apabila implementasi-implementasi tersebut telah dijalankan dengan baik, penegakkan keadilan dan penangguhan kelembagaan akan terwujud, yang mana hal tersebut merupakan poin ke-16 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Adisi, Afirmasi, dan Refleksi Selain melalui pendekatan-pendekatan yang telah ada, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam penyelesaian masalah toleransi di kalangan peserta didik adalah dengan menginkorporasikan nilai-nilai toleransi dalam struktur asesmen Uji Kompetensi Guru (UKG). Seiring dengan usaha peningkatan kompetensi guru di Indonesia yang masih rendah, inkorporasi nilai-nilai toleransi diharapkan dapat membentuk angkatan tenaga didik yang lebih toleran terhadap perbedaan sosio-kultural peserta didik dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga perlu untuk mewujudkan perubahan struktural demi pendidikan toleran dengan program-program kerja yang bersifat afirmatif. Misalnya, siswa-siswi dari provinsi Papua yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di perguruan tinggi ternama di Indonesia sudah sepatutnya diberikan kesempatan yang lebih besar. Program afirmatif semacam ini hendaklah dilakukan, mengingat kesenjangan Indeks Pembangunan Manusia yang dihadapi siswa-siswi Papua adalah yang terbesar dari daerah lain. Apabila tidak, keadaan ini akan memunculkan fenomena marginalisasi pelajar yang berasal dari Papua akibat dari hambatan struktural yang dilalui. Hal tersebut akan menghambat terwujudnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-10 mengenai kesenjangan. Sebaliknya, kebijakan afirmatif akan mendukung proses integrasi nasional menuju masyarakat multikultural dengan menggabungkan berbagai ras dan suku ke dalam sebuah wadah yang konstruktif, di mana di kasus ini adalah sebuah perguruan tinggi. Selain koridor pemerintahan, masyarakat, khususnya pemuda, juga dapat membantu mewujudkan nilai toleransi dalam lingkungan pendidikan Indonesia. Kalangan mahasiswa memiliki kesempatan yang besar untuk memulai inisiatif-inisiatif akar rumput yang berfokus pada isu-isu toleransi dan resolusi konflik di lingkungan sekolah. Lingkungan pendidikan yang ramah terhadap perbedaan — baik dari unsur tenaga pendidik maupun peserta didik — merupakan titik awal terwujudnya perdamaian di tengah perbedaan Indonesia. Seperti yang telah tertuang di dalam Tujuan ke-4, pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu unsur penting yang sangat patut untuk dipertimbangkan demi tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Tujuan ke-4 mengenai pendidikan yang berkualitas dan Tujuan ke-16 mengenai perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua poin dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini merupakan kombinasi integral yang penting untuk menghadapi berbagai dilema dan problematika kemajemukan masyarakat Indonesia saat ini. Kondisi keberagaman di Indonesia merupakan sebuah kondisi yang kompleks, interdisipliner, dan akan ada sepanjang waktu. Dunia ideal di mana seluruh komponen masyarakat Indonesia telah tanpa terkecuali bersikap toleran terhadap satu sama lain merupakan sebuah cita-cita yang masih jauh untuk dicapai, namun, perjalanan ini akan terasa mudah selama kita melaluinya bersama-sama. Daftar Pustaka Alatas, S. F. (2012). Is Religious Intolerance Going Mainstream in Indonesia? Global Asia. https://www.globalasia.org/v8no4/cover/is-religious-intolerance-going-mainstream-in-indonesia_syed-farid-alatas Badan Pusat Statistik. (2018). Badan Pusat Statistik. Bps.go.id. https://www.bps.go.id/indicator/26/494/1/-metode-baru-indeks-pembangunan-manusia-menurut-provinsi.html Merriam-Webster Dictionary. (2021). Merriam-Webster Dictionary. Merriam-Webster.com. https://www.merriam-webster.com/dictionary/tolerance Muchith, M. S. (2016). Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan. ADDIN, 10(1), 163–180. https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/1133/1062 Qowaid, Q. (2013). Gejala Intoleransi Beragama di Kalangan Peserta Didik Dan Upaya Penanganannya Melalui Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Dialog, 36(1), 71–86. https://doi.org/10.47655/dialog.v36i1.82 Revina, S. (2019). The competence of Indonesian primary school teachers is substandard, and the government’s measures to improve it has been imprecise. Smeru.or.id. https://rise.smeru.or.id/en/blog/competence-indonesian-primary-school-teachers-substandard-and-government%E2%80%99s-measures-improve-it Wardhana, M. C. Y. (2019). Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan. SKRIPSI Jurusan Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan – Fakultas Ilmu Sosial UM, 0(0). http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/PPKN/article/view/78909