fbpx
Freepik/nikitabuida

Pancasila Sebagai Alat Pemersatu

Dewasa ini, peran status sosial di Indonesia sering kali merepresentasikan kekuatan politik identitas. Politik identitas dapat memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Hal ini sangat tampak dalam praksis politik sosial di mana yang berbeda dianggap tidak sesuai dengan norma dan tidak pantas menduduki jabatan kesosialan. Kenyataan ini terasa pada tahun 1998 dalam konflik yang terjadi di Sambas Kalimantan barat antara kelompok Dayak dengan Madura pendatang. Peristiwa tersebut berlangsung selama satu tahun dan menelan korban jiwa dari kedua belah pihak. Sehingga terjadi yang namanya pengungsian etnis Madura sebanyak 68.000 orang. Hujatan atas nama perbedaan inilah yang disebut sebagai diskriminasi sosial secara umum dan diskriminasi rasial secara khusus.
Bahaya diskriminasi sosial di Indonesia misalnya diungkapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 mengenai rencana Pembangunan Jangka Menengah, pemerintah menunjukkan komitmen dalam rangka menghapus diskriminasi dalam berbagai bentuk sebagai salah satu agenda untuk menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Hal ini menunjukan fakta orang tidak hanya menentang sikap pendirian rumah-rumah ibadat agama lain, tetapi orang memang tidak suka hidup dalam perbedaan. Karena itu, di masa depan isu tentang keagamaan dan dengan persebaran konflik dan pola-pola radikalisme menjadi salah satu kemunduran krusial dalam demokrasi Indonesia.
Fakta diskriminasi sosial di atas bertolak belakang dengan semboyan bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu sangat sesuai dengan sosial condition dan sosial setting Indonesia, sebagai ungkapan yang menunjukkan adanya kemauan yang serius untuk mewujudkan suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu dalam keberagaman. Melalui semangat pluralisme-juga apa yang dikatakan oleh GusDur-dan multikulturalisme, sentralisme yang otoriter sebagai perekat integrasi nasional seharusnya bisa didekonstruksi. Sehingga sejarah kelam kejahatan kemanusiaan hanya karena prasangka buruk yang diekspresikan dalam bentuk tindakan nyata kebencian, diskriminasi tidak lagi ada.
Melawan dengan Pancasila
Kondisi kemajemukan atau pluralitas merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Indonesia sebagai negara kepulauan, memang sejak awal sudah menjadi negara-bangsa yang terdiri dari multi ras, etnis, agama dan budaya. Konsepsi kebangsaan Indonesia merupakan suatu usaha untuk mencari persatuan dalam perbedaan. Oleh karenanya, tepat kiranya kalau Indonesia disebut sebagai negara persatuan. Pancasila yang merupakan Dasar Negara Republik Indonesia meletakkan dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan Indonesia. Suatu konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan keragaman dalam persatuan (unity in diversity; divesity in unity).
Dari sini, sudah seharusnya diskriminasi rasial dihentikan. Harus ada gerakan semacam anti superioritas dan inverioritas untuk melawan. Salah satu langkah strategis adalah (benar-benar) mengamalkan nilai-nilai pancasila. Paling tidak kita amalkan dua dari lima sila yang ada untuk dijadikan instrumen menghindari sikap rasis dan diskriminatif. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Dari enam agama yang ada di Indonesia, tak satupun di antaranya yang memperbolehkan kekerasan terhadap sesama. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Berbagai motif hujatan, prasangka, ujaran kebencian yang terjadi selama ini, sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.
Akhirnya, perbedaan bukan lagi suatu permasalahan. Termasuk perbedaan antar sesama yang kerap kali berujung kekerasan. Kita punya pancasila yang bisa menyatukan segala yang berbeda. Pancasila adalah suatu modus vivendi (kesepakatan leluhur) yang telah ada di bumi nusantara sejak dulu kala. Tugas kita hanyalah mengamalkan nilai-niainya sebagai warga negara agar tak ada lagi permasalahan di negeri ini, Indonesia.

Daftar Pustaka

Achmad Fedyani Syaifuddin, 2006, “Membumikan Multikulturalisme di Indonesia”, dalam jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol II, No. I, April 2009. Depok: Departemen Antropologi UI.

Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 mengenai rencana Pembangunan Jangka Menengah bagian III: Agenda Menciptakan Indonesia yang Adil dan Demokratis, Bab 10 Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk.