Ratna Shafa Alif Dein 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Gema sosial media yang cepat dan tak terbatas jangkauan jarak-nya, membuat informasi yang disajikan dapat diterima kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja. Ramai-nya potret perkotaan mulai dari bangunan heritage kota hingga wisata alam yang hilir mudik seiring jari bergerak di atas ponsel pintar, membuat pemilik ponsel ingin datang dan merasakan secara langsung potret perkotaan yang selama ini hanya terpampang pada layar ponsel. Berwisata menjadi salah satu jalan keluar dari kondisi tersebut. Fenomena urban tourism sebagai bentuk pariwisata di perkotaan kini kian meningkat. Sebagai penunjang ekonomi kota, pemerintah kota berlomba-lomba mengembangkan urban tourism. Ditambah lagi dengan adanya sosial media, urban tourism di era modern ini menjadi lebih mudah untuk dikembangkan. Sayang-nya, urban tourism sering kali malah mengorbankan kehidupan masyarakat lokal suatu kota. Semisal yang terjadi di Kota Bandung. Bagi masyarakat kota kembang celetukan mengenai “Wargi Bandung jangan keluar rumah saat akhir pekan, Bandung penuh dengan plat selain plat D. Pokoknya mah maceeet!” sudah tidak asing lagi terdengar. Bahkan, celetukan itu juga cukup sering tersaji dalam surat kabar. Seperti yang terpampang di bawah ini. Ironis bukan? Bagaimana penduduk kota seolah dilarang untuk keluar rumah menikmati kota, hanya demi memuaskan wisatawan yang datang berkunjung. Bukan kah sudah seyogyanya suatu kota mengutamakan kehidupan dan kebahagian masyarakat kota-nya sendiri? Lantas kalau begitu apakah urban tourism tidak boleh dikembangkan? Serta, bagaimana dampak pandemi ini teradap urban tourism, apakah menjadi peluang atau ancaman? BINAR URBAN TOURISM, MURUNG MASYARAKAT KOTA Sebenarnya apa itu urban tourism? Merujuk pada The World Tourism Organization (UNWTO), urban tourism merupakan kegiatan pariwisata yang berlangsung di ruang kota dengan atribut yang melekat dicirikan oleh ekonomi berbasis non-pertanian seperti manufaktur, administrasi, perdagangan dan jasa serta menjadi titik simpul transportasi. Urban tourism mencolok bila dibandingkan dengan jenis pariwisata lainnya. Hal ini disebabkan karena wisatawan berpergian ke tempat dengan kepadatan penduduk tinggi. Selain itu, pariwisata perkotaan juga memiliki ciri khas tersendiri, seperti kecepatan (shortness to stays), pengulangan kunjungan atau ketidakberubahan. Dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), urban tourism dapat berkontribusi pada SDGs Nomor 11: Make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable. Hal ini disebabkan karna secara intrinsik pariwisata berkaitan dengan pengembangan kota dan penyediaan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi penduduk maupun wisatawan. Adapun dalam sistem pariwisata, kota memiliki peran yang signifikan sebagai pintu gerbang wisatawan serta menjadi tempat persinggahan dalam perjalanan dengan banyak destinasi. Maka dari itu urban tourism juga dapat berkontribusi pada SDGs Nomor 8 dengan target 8.9: By 2030, devise and implement policies to promote sustainable tourism that creates jobs and promotes local culture and products. Kota sebagai entitas multifungsi, kompleks dan multipengguna memungkinkan wisatawan memiliki pengalaman berbeda-beda untuk dijalani secara kontemporer, berkontribusi dalam membuat hubungan urbanitas dengan kompleks pariwisata. Adapun, elemen sumber daya urban tourism menurut Christopher Law terbagi menjadi primary elements, secondary element dan additional elements. Secara rinci elemen urban tourism ditunjukan oleh gambar di bawah. Sumber: Christopher Law dalam Judith Ruetsche, 2006 Akan tetapi kini, kehidupan perkotaan yang terbingkai dalam media sosial, ditambah marketing place yang apik, menjadi magnet besar keinginan wisatawan untuk melihat dan merasakan secara nyata kehidupan sehari-hari perkotaan. Kegiatan pariwisata semakin berkaitan dengan kehidupan lokal perkotaan di luar kawasan wisata utama. Perubahan referensi urban tourism di luar wisata utama perkotaan menunjukan bahwa wisatawan lebih cenderung tertarik dengan secondary elements seperti akomodasi dan perbelanjaan. Di sisi lain primary elements malah dikhawatirkan mengalami penurunan wisatawan. Hal ini telah terjadi di Kota Bandung. Dari penelitian yang dilakukan oleh Apriliana Dyah (2012), perubahan referensi urban tourism yang terjadi di Kota Bandung mempengaruhi perkembangan munculnya ruang-ruang rekreasi. Di mana ruang rekreasi yang muncul di Bandung tidak diperuntukan untuk masyarakat lokal saja tetapi juga menjadi daya jual untuk wisatawan. Kian sulitnya membedakan sumber daya maupun ruang yang digunakan wisatawan dengan yang digunakan penduduk memunculkan konflik sosial. Masyarakat lokal menjadi enggan menikmati kota karna dipenuhi oleh wisatawan. Hal ini membuat marketing place berubah menjadi komersialisasi kota. Jangan sampai pembangunan perkotaan malah asyik membahagiakan wisatawan tetapi mengeyampingkan penduduk kota. Peningkatan beban yang ditanggung oleh kota mengakibatkan penurunan kualitas hidup perkotaan. Pernah dibahas pula oleh Kolektif Agora dalam Diskusir #5 (2018), Kota Bandung sudah tidak dapat menopang permintaan pariwisata yang berjalan di dalam-nya. Kemacetan pada akhir pekan yang didominasi oleh kendaraan luar Kota Bandung menjadi bukti bahwa infrastruktur kota sudah tidak dapat menampung wisatawan. Dampak negatif lainnya terpampang dengan peningkatan persampahan, penyempitan ruang-ruang aktivitas bahkan kerusakan lingkungan perkotaan. Urban tourism yang digaungkan malah menjadi overtourism. Hal ini jelas sangat berdampak pada penurunan kualitas hidup perkotaan, akan perlahan menurunkan kualitas urban tourism-nya itu sendiri yang berujung pada ketidakberlanjutan pariwisata. Wisatawan menjadi malas berwisata karna kota yang dikunjungi malah menyambut mereka dengan ketidak nyamanan fasilitas yang disajikan. Telah terbukti dengan pendapat dari Herman Muchtar, Ketua Perhimpunan Hotel dan Resto Indonesia (PHRI) Jabar (2015), bahwa kemacetan menjadi penyebab kerugian pariwisata Kota Bandung. Komersialisasi kota terkait urban tourism juga memunculkan eksklusivitas ruang. Banyak ruang-ruang wisata maupun rekreasi yang muncul di perkotaan hanya memikirkan keuntungan semata dengan segmen pasar-nya tersendiri. Kesenjangan sosial terbentuk karna tidak semua masyarakat dapat mengakses ruang-ruang tersebut. Sering kali masyarakat menengah ke bawah hanya dapat mengakses tempat publik yang bersifat gratis, sementara masyarakat kelas menengah ke atas menikmati berbagai tempat. Lahan masyarakat diraup untuk membangun ruang yang bersegmentasi pada keuntungan dari hasil wisata dengan tidak mempedulikan kebijaksanaan pembangunan ruang untuk membahagiakan masyarakat lokal tanpa memandang kelas sosial ekonomi. DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP URBAN TOURSIM Menjamurnya urban tourism beberapa tahun belakangan harus terhenti akibat pandemi COVID-19. Sebelum pandemi, menurut World Travel and Toursim Council (2018), dalam beberapa dekade terakhir, pertumbuhan destinasi pariwisata perkotaan melebihi pertumbuhan pariwisata kawasan non-pertanian. Setelah pandemi, perkotaan menjadi wilayah yang lebih rentan terhadap krisis kesehatan masyarakat karna kepadatan-nya yang tinggi, perkotaan sering kali dikaitkan menjadi sarang penyebaran COVID-19 secara cepat. Adapun menurut Torrel et al (2021), terdapat dua alasan penurunan urban tourism akibat pandemi COVID-19. Pertama, karakteristik kota, pembatasan perjalanan serta jarak sosial yang diterapkan di perkotaan tampak lebih ketat dibandingkan pedesaan. Kedua, wisatawan menghindari aglomerasi kepadatan dan lebih memilih kegiatan di luar ruangan sehingga pariwisata pedesaan dirasa lebih memberikan keamanan. Dengan adanya pandemi COVID-19, urban tourism yang diperkirakan akan menjadi overtourism mendadak beralih menjadi absence of tourism. Segala permasalahan yang ditimbulkan oleh urban tourism menghilang dan tergantikan oleh masalah baru yang berkaitan dengan perekonomian masyarakat. Absen-nya urban tourism sangat berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat yang bekerja pada sektor pariwisata. Oleh karena itu, walaupun bisa dikatakan pandemi ini membuat pulih kota dari kesesakan urban tourism, kondisi yang terjadi harus segera diatasi karna memperburuk keadaan ekonomi sosial masyarakat yang berujung pada ketidakberlanjutan pariwisata. Dengan memperhatikan permasalahan urban tourism di masa lalu maupun kondisi pandemi saat ini, konsep urban tourism tidak bisa kembali berjalan seperti sedia kala. Kondisi pandemi dibandingkan menjadi momok pariwisata, akan lebih baik bila kita jadikan sebagai peluang tranformasi urban tourism agar lebih berkelanjutan. PANDEMI COVID-19: MOMENTUM RE-IMAGINE URBAN TOURSIM Re-imagine Urban Tourism merupakan kegiatan UNWTO dan The Mayors Forum untuk memikirkan kembali urban tourism pasca-pandemi. Penulis setuju bahwa tindakan tersebut merupakan langkah paling tepat sebagai peluang transformasi urban tourism. Hal ini dapat menjadi pencegahan overtourism sekaligus pemulihan ekonomi nasional. Bentuk dasar transformasi yang dapat dilakukan ialah mengubahnya menjadi konsep sustainable urban tourism. Dalam wisata jangka panjang yang berkelanjutan, inovasi sosial terkait ketahanan dan inklusifitas menjadi hal yang penting. Menurut Lerario & Turi (2018), sustainable urban tourism membutuhkan dua hal yaitu (1) pergesaran perspektif dari kota pasif ke kota aktif serta (2) mempersempit skala pengamatan untuk indikator yang digunakan. Preferensi masyarakat selama masa pandemi yang lebih memilih tempat wisata di ruang terbuka dengan kepadatan rendah, dapat dijadikan momentum untuk kembali menggeser preferensi urban tourism. Kota dapat lebih aktif memasarkan primary elements urban tourism yang berbentuk ruang terbuka atau membangun ruang-ruang terbuka publik yang dapat dijadikan destinasi wisata maupun rekreasi penduduk sehingga inklusifitas dapat tercipta. Dalam mengembangkan hal tersebut diperlukan kerjasama antara kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang bersifat publik maupun komersial dari berbagai tingkatan. Hal ini telah cukup sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh pemerintah yaitu kemitraan multi pihak. Pinak non-pemerintah dapat melibatkan komunitas-komunitas kota sehingga tercipta hubungan harmonis dan produktif antara masyarakat lokal, wisatawan serta lingkungan-nya. Sebagai respon kondisi pandemi, pengembangan tersebut perlu pula dipadukan dengan konsep safe tourism. Salah satu program pemerintah yang dapat diterapkan ialah Program Rebound Destinasi Wisata. Aspek CHSE (Cleanliness, Healthy, Safety, and Environmental Sustainability) di dalam-nya tidak hanya terbatas pada protokol kesehatan tetapi perlu ide-ide inovatif yang lebih adaptif, berketahanan dan berjangka panjang. Di sisi lain, pembatasan pergerakan terutama bagi transportasi pribadi selama masa pandemi dapat menjadi kesempatan untuk membiasakan wisatawan menggunakan transportasi umum dalam berpergian. Kota perlu menyiapkan fasilitas dan utilitas yang mendukung pergerakan menuju wisata melalui transportasi umum. Keluar masuk-nya wisatawan akan lebih mudah dikontrol dengan transportasi umum. Lebih baik lagi bila pergerakan urban tourism memiliki sumber daya dan ruang-nya sendiri sehingga tidak tumpang tindih dan menggangu penduduk. Dengan melakukan hal tersebut pengurangan kemacetan dan emisi dapat terwujud. Ayo ciptakan urban tourism yang berkelanjutan (sustainable), aman (safe), inklusif (inclusive) serta berketahanan (resilience). Return of tourists, brings hope for cities. —————————————————————————————————— Referensi: Aall, Carlo & Koens, Ko. 2019. The Discourse on Sustainable Urban Tourism: The Need for Discussing More Than Overtourism. Sustainability, 11(15), 4228; https://doi.org/10.3390/su11154228 Koens, Ko; Postma, Albert & Papp, Bernadett. 2018. Is Overtourism Overused? Understanding the Impact of Tourism in a City Context. Sustainability, 10(12), 4384; https://doi.org/10.3390/su10124384 Lerario, Antonella & Turi, Silvia Di. 2018. Sustainable Urban Tourism: Reflections on the Need for Building-Related Indicators. Sustainability, 10(6), 1981; https://doi.org/10.3390/su10061981 Lestari, Seruni Fauzia. 2018. Laporan dari Diskusir #5 “Melansir Getir Pelesir”: Kota di Ambang Gamang Pelesat Pariwisata. https://medium.com/kolektif-agora/kota-di-ambang-gamang-pelesat-pariwisata-eed3fef6a1a3 diakses pada 26 September pukul 13.45. Nufaisa, H., Tirta, T., & Pitor Pakan, S. 2020. Pemulihan Ekonomi Pariwisata: Tinjauan Kebijakan dan Kemitraan di Tiga Lokasi dalam Konteks Pandemi COVID-19, United Cities and Local Governments Asia-Pacific (UCLG ASPAC) & APEKSI, Jakarta. Ruetsche, Judith. 2006. Urban Tourism: What Attracts Visitors to Cities?. UW Extension Issue 117. Rufaidah, Anne. 2015. “Kemacetan Masih Jadi Kendala Pariwisata Bandung”. https://daerah.sindonews.com/berita/1072860/21/kemacetan-masih-jadi-kendala-pariwisata-bandung?showpage=all diakses pada 27 September pukul 13.43. Supriadi, Yedi. 2020. “Sabtu Sore Ini Warga Bandung Jangan Keluar Dulu Deh, Kalau Tidka Ingin Terjebak Macet”. https://deskjabar.pikiran-rakyat.com/jabar/pr-113891947/sabtu-sore-ini-warga-bandung-jangan-keluar-dulu-deh-kalau-tidak-ingin-terjebak-macet diakses pada 27 September pukul 10.05. Torrel, Oriol Anguera; Perez, Jordi Vives & Alarcon, Juan Pedro Aznar. 2021. Urban tourism performance index over the COVID-19 pandemic. International Journal of Tourism Cities DOI 10.1108/IJTC-09-2020-0206. UNWTO. 2021. “City Leadres From Around The World Meet to Re-Imagine Urban Tourism”. https://www.unwto.org/news/city-leaders-from-around-the-world-meet-to-re-imagine-urban-tourism diakses pada 27 September pukul 10.15. UNWTO. “Urban Tourism”. https://www.unwto.org/urban-tourism#:~:text=According%20to%20UNWTO%2C%20Urban%20Tourism,being%20nodal%20points%20of%20transport. diakses pada 27 September pukul 10.13. Wardhani, Apriliana Dyah. 2012. Evolusi Aktual Aktivitas Urban Tourism di Kota Bandung dan Dampaknya Terhadap Pembentukan Tempat-Tempat Rekreasi. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota Undip Volume 8 (4): 371‐382.
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More