fbpx
https://www.ewatercrc.com.au/qualities-that-differentiate-a-good-school-from-an-average-one/

Optimalisasi Guru Pembimbing Khusus dalam Mewujudkan Keberhasilan Sekolah Inklusif di Indonesia

Mengapa Pendidikan Inklusi itu harus hebat? Karena ada miniatur masyarakat heterogen yang dididik berinteraksi, saling menghargai, demokratis, dan mampu bekerja sama. – Bambang Basuki

Pendidikan merupakan hak asasi setiap individu tak terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak Berkebutuhan Khusus meliputi anak yang memiliki gangguan bicara (tunawicara), cacat tubuh (tunadaksa), tuli (tunarungu), buta (tunanetra), retardasi mental, gangguan emosional, dan anak dengan intelegensi tinggi (tunagrahita). Pendidikan seharusnya dapat dirasakan serta dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa adanya diskriminasi. Manifestasi pendidikan tanpa diskriminasi tersebut telah menjadi komitmen bersama pada tatanan global seperti yang tercantum dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

Salah satu konsekuensi lanjut dari tujuan global tersebut adalah pendidikan inklusif. Di Indonesia, pendidikan inklusif tertuang pada UU No. 20 Tahun 2003 bahwa sistem pendidikan harus secara demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif. Pendidikan Inklusif merupakan sebuah sistem pendidikan yang membuka kesempatan seluruh peserta didik baik yang memiliki kelainan, atau bakat istimewa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan yang sama dengan peserta didik pada umumnya. Berdasarkan realita, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak sekolah di Indonesia yang belum menerima secara terbuka dengan kehadiran Anak Berkebutuhan Khusus. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya pelabelan ABK yang dikhawatirkan dapat merusak citra sekolah. Sehingga sekolah berkembang menjadi tempat yang eksklusif. Padahal sekolah dalam paradigma inklusi seharusnya tidak hanya berfokus pada pola pikir (kognitif) siswa, tetapi juga menumbuhkan empati (afektif) serta dalam bertingkah laku (psikomotorik).  

Saat ini banyak sekolah regular yang mulai mendeklarasi sebagai sekolah inklusif. Namun secara praktis masih banyak terjadi diskriminasi dalam lingkup sekolah. Seperti misalnya penerimaan siswa ABK masih terbatas dalam ragam difabel fisik saja serta penolakan terhadap difabel intelektual dan mental yang dianggap lebih sulit untuk ditangani. Pendidikan “inklusif” tersebut pun ujung-ujungnya semakin memperlebar kesenjangan kualitas sumber daya manusia difabel dan non-difabel.  Tantangan lainnya dapat dilihat dari tenaga pendidik yang belum siap menangani siswa heterogen. Hal ini dikarenakan guru-guru tersebut tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai guna menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus. Selain itu, banyak dari mereka yang hanya mendapat sosialisasi saja dan tidak mendapat pelatihan secara praktikal. Banyak dari sekolah-sekolah tersebut yang menolak ABK tertentu dengan alasan belum ada maupun kekurangan Guru Pembimbing Khusus. Peran dari Guru Pembimbing Khusus ini sangatlah vital karena GPK dan guru kelas harus saling berkolaborasi dalam proses identifikasi, asesmen, hingga penyusunan Program Pembelajaran Individual (PPI) siswa.

Meskipun peran GPK ini sangat penting dalam pelaksanaan sekolah inklusi, namun masih ada ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban GPK. Salah satunya berupa hak seorang GPK yang berupa tunjangan. Tunjangan GPK berbeda-beda sesuai dengan satuan pendidikan yang menyelenggarakan inklusi. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa honor seorang GPK menjadi permasalahan tersendiri. Banyak dari mereka yang bahkan memilih untuk menjadi guru di sekolah khusus atau sekolah luar biasa dibanding menjadi GPK. Misalnya saja menurut penelitian seorang mahasiswa UNS, dari hasil wawancara dengan koordinator inklusi kota Surakarta di tahun 2019 tunjangan yang diterima rata-rata berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000. Padahal seorang GPK sudah selayaknya mendapat apresiasi atas bimbingannya terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Selain itu, seorang GPK idealnya mendampingi satu siswa. Namun, tidak jarang beberapa GPK harus mendampingi dua hingga tiga siswa. 

Jika antara hak dan kewajiban GPK mengalami ketidakseimbangan, lantas seberapa berhasilkah “sekolah inklusi” di Indonesia?

Maka dari itu langkah apa yang dapat mengoptimalkan peran GPK untuk memajukan sekolah inklusi?

Isu disabilitas dalam lingkup pendidikan harus lebih terukur baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, serta proses monitoring dan evaluasi. Salah satunya adalah dengan menambah alokasi anggaran terhadap Guru Pembimbing Khusus. Selain itu, dibutuhkan data akurat terkait perbandingan kesenjangan pendidikan antara difabel dan non-difabel sebagai tolak ukur keberhasilan. Hal ini dikarenakan belum adanya data akurat terkait hal tersebut. Setiap institusi diharapkan menambah proses training guru reguler dan GPK sehingga tidak terbatas pada tahap sosialisasi saja. Sekolah inklusi sebagai salah satu ruang publik harus menjadi ruang yang aman dan adil bagi para Anak Berkebutuhan Khusus. Tanpa adanya optimalisasi peran guru pembimbing khusus, maka semakin memperlebar jurang perwujudan pendidikan yang inklusif di Indonesia. Sehingga sekolah inklusi tidak hanya sebatas deklarasi sebuah institusi semata melainkan benar-benar mewujudkan inklusivitasnya.

REFERENSI :

  1. https://www.kemenkopmk.go.id/pemerintah-wajib-penuhi-hak-pendidikan-inklusif-bagi-penyandang-disabilitas
  2. https://media.neliti.com/media/publications/149701-ID-peraturan-perundangan-dan-implementasi-p.pdf
  3. https://media.neliti.com/media/publications/172016-ID-guru-pembimbing-khusus-gpk-pilar-pendidi.pdf
  4. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/11174/3.pdf?sequence=1&isAllowed=y