Hayunda Lail Zahara Pegiat pangan dan lingkungan 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More Iduladha tahun ini jatuh pada tanggal 10 Juli 2022 atau bertepatan dengan 10 Zulhijjah 1443 H. Pada hari itu, seluruh umat muslim melangsungkan salat Id yang dilanjutkan dengan tradisi menyembelih hewan kurban. Sebagai ibadah tertua, penyembelihan hewan kurban nyatanya seringkali luput dalam memperhitungkan aspek lingkungan berupa emisi peternakan, kantong plastik pembungkus daging, dan limbah pasca penyembelihan. Maka dari itu, diperlukan upaya kurban nol karbon untuk memastikan perayaan ini menjadi sebuah tradisi yang selaras dengan alam. Perintah berkurban awalnya turun ketika Allah Swt memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail. Atas kerelaan hati yang begitu besar itu, Allah swt lantas menggantikan Ismail dengan domba. Sejak zaman Nabi Muhammad, umat Islam mulai mengorbankan hewan (kurban) berupa kambing, domba, sapi, kerbau, atau unta untuk menghormati semangat pengorbanan Ibrahim setiap tanggal 10 Zulhijah. Sistem produksi ternak umumnya berkontribusi pada banyak masalah lingkungan. Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) tahun 2013 mencatat bahwa setiap tahunnya terdapat 13 miliar hektar kawasan hutan yang raib karena konversi lahan untuk produksi pangan dan pakan ternak. Secara khusus, 33 persen lahan pertanian diperuntukkan untuk produksi pakan ternak dan 26 persen lahan bebas es dipakai untuk menggembalakan ternak. Akibatnya, peternakan menyumbang tujuh persen produksi emisi global atau sebanyak 51 miliar ton setara CO2. Sapi adalah hewan ruminansia yang memiliki sistem pencernaan poligastrik. Sistem pencernaan tersebut memungkinkan sapi melakukan pemecahan selulosa dari pakan tumbuhan melalui proses fermentasi yang menghasilkan metana. Metana ini kemudian dikeluarkan oleh sapi dalam bentuk gas buangan (kentut dan sendawa) dan feses. Metana ialah satu dari beragam gas berbahaya yang menyebabkan pemanasan global. Dalam kasus peternakan, jumlah pelepasan metana hasil fermentasi pencernaan ternak mencapai 86 juta ton setiap tahunnya. Angka GWP (Global Warming Potential) metana bahkan 25 kali lipat lebih besar dibandingkan karbondioksida. Dengan menyandarkan tingkat pertumbuhan ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, dan domba) sebesar 5,5 persen per tahun, maka bisa dibayangkan betapa banyak gas metana yang akan terlontar ke atmosfer dan mengancam bumi. Proses penyaluran daging kurban juga sangat lekat dengan penggunaan kantong plastik. Kantong plastik dipilih karena sifatnya yang praktis dan harganya yang murah. Sanggar Hijau Indonesia (2021) menyebut bahwa satu ekor sapi membutuhkan 150 kantong plastik, sementara satu ekor kambing membutuhkan 25 kantong plastik. Bila satu lokasi hendak menyembelih 5 ekor sapi dan 5 ekor kambing, maka diperlukan 875 kantong plastik untuk mengemasnya. Jika satu kota terdiri dari 5000 lokasi kurban, maka kantong plastik yang dibutuhkan mencapai 4.375.000. Artinya, seluruh kota di Indonesia yang berkurban akan menyumbang ratusan juta kantong plastik hanya dalam sehari saja. Dari jumlah fantastis ini faktanya hanya 10 persen sampah plastik yang didaur ulang, sedangkan 70 persennya berpotensi masuk ke laut karena posisi Indonesia yang dikelilingi perairan. Sifatnya yang sulit terurai membuat kantong plastik dapat menyumbat selokan dan mendatangkan banjir. Sementara itu, sampah plastik yang dibiarkan begitu saja lambat laun akan tergerus menjadi mikroplastik (partikel berukuran 0,33-5 mm). Mikroplastik dapat mengganggu pembuahan biota air maupun memperlambat bakteri pengurai limbah dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan, bila ia tertelan oleh ikan atau hewan perairan lainnya- ia akan dapat mengikat logam berat berbahaya di sekitarnya dan meracuni manusia yang menyantapnya. Kantong plastik (kresek) yang digunakan saat distribusi kurban biasanya berwarna hitam. Perlu diketahui bahwa kresek hitam bukanlah pengemas yang food-grade lantaran hasil daur ulang. Dalam hal ini, kresek tersebut tidak diketahui secara jelas bahan penyusunnya berbahaya atau tidak. Selepas prosesi penyembelihan akan dijumpai limbah seperti darah, jeroan, dan tulang. Panitia dan masyarakat yang bingung cara membuang limbah akan cenderung membuang secara sembarangan. Imbasnya seperti yang terjadi di Kali Cipinang, Jakarta Timur tahun 2018 silam. Ada ratusan kilogram isi perut hewan (jeroan) dan kepala kambing pasca Iduladha yang teronggok di bantaran sungai dan mengeluarkan bau menyengat. Apapun bentuknya, limbah kurban yang dibuang sembarangan akan mencemari sungai atau aliran air karena mengandung bakteri patogen seperti E. coli. Limbah tersebut bahkan juga menurunkan kualitas air di sungai. Kurban nol karbon dapat menjadi solusi perayaan Iduladha yang minim emisi melalui pendekatan yang holistik. Dalam mengurangi metana peternakan, FAO menyarankan sistem peternakan berbasis padang rumput atau sistem campuran tanam-ternak. Padang rumput dalam hal ini akan ditanami rumput, legum, dan tanaman yang dikehendaki manfaatnya untuk ternak. Kotoran ternak, sisa tanaman, dan limbah biomassa digunakan sebagai pupuk alami. Sistem ini dipercaya dapat mengoptimalkan siklus nutrisi dan energi sembari mendorong ternak untuk beradaptasi dengan input rendah dan menjunjung tinggi efisiensi lahan. Perkara feses sapi dapat diselesaikan melalui dua hal, yakni jamban sapi dan biogas. Dirksen dkk (2021) mengatakan bahwa sapi perlu dilatih untuk mengeluarkan kotoran di tempat yang telah disediakan agar feses sapi tidak kontak dengan bakteri tanah yang memicu terbentuknya gas rumah kaca. Kemudian, feses tersebut diubah menjadi biogas atau energi terbarukan yang dapat menghemat biaya operasional peternakan. Untuk gas buangan berupa sendawa dan kentut dapat diminimalisir melalui formulasi pakan. Puspitasari dkk (2015) menemukan bahwa formulasi ransum dan rumput gajah pada sapi Friesian Holstein (FH) menghasilkan metana yang rendah. Sementara itu, kantong plastik yang sedianya digunakan untuk membungkus daging kurban dapat diganti dengan wadah yang ramah lingkungan. Daging kurban dapat dikemas menggunakan besek (wadah dari anyaman bambu) yang telah diberi alas daun pisang. Selepas kurban, besek masih bisa digunakan sebagai wadah aneka rempah dan bumbu dapur. Selain besek, daging kurban juga dapat dibungkus dengan pengemas biokomposit berbahan dasar pati singkong maupun alga. Kedua alternatif pengemas ini tak hanya akan mudah terurai di alam, tetapi juga menggerakan ekonomi kecil. Limbah pasca penyembelihan dapat dikelola dengan metode pengolahan maupun penimbunan. Jika memilih pengolahan maka pengelola kurban dapat mengolah isi perut, darah, dan tulang hewan kurban untuk dijadikan kompos dan pakan ikan atau ternak. Bila tak mau repot, masyarakat secara mandiri juga bisa menyalurkan limbah kurbannya ke UPTD DKRTH terdekat untuk diolah lebih lanjut. Sementara itu, jika memilih menimbun maka diperlukan lubang tanah minimal 0.3 m³ untuk kambing yang berukuran 25-35 kg dan minimal 1 m³ untuk sapi yang berukuran 400-600 kg. Iduladha adalah perayaan agung untuk mengingat pengorbanan besar seorang hamba kepada Rabb-Nya. Gelaran kurban pun semestinya tak boleh menciderai aspek esensial berupa lingkungan. Oleh karenanya, kurban nol karbon menjadi bentuk lain pengorbanan seorang hamba tanpa sekalipun mengorbankan alam tempatnya tinggal. Referensi [1]: FAO. 2013. Livestock and Landscapes. https://www.fao.org/publications/card/en/c/18055fac-a807-528e-8be2-d3146a095f7d/ [2]: Putri, Aditya Widya. 2021. Mengapa Kencing Sapi jadi Penyebab Perubahan Iklim dan Krisisnya. Tirto. https://tirto.id/glqv [3]: Rohmadi. 2021. Tanpa Kemasan Kantong Plastik, Kurban Berkah Lingkungan Terjaga. Times Indonesia. https://www.timesindonesia.co.id/read/news/359681/tanpa-kemasan-kantong-plastik-kurban-berkah-lingkungan-terjaga [4]: Gokkon, Basten. 2020. In Indonesia’s coastal villages, the plastic crisis is both homegrown and invasive. Mongabay. https://news.mongabay.com/2020/09/in-indonesias-coastal-villages-the-plastic-crisis-is-both-homegrown-and-invasive/ [5]: Indonesia Go. 2019. Menenggelamkan Pembuang Sampah Plastik di Laut. Indonesia Go. https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/menenggelamkan-pembuang-sampah-plastik-di-laut [6]: Sulistyawati, Rr. Laeny. 2018. Bahaya Laten Mikroplastik dari Manusia Kembali ke Manusia. Republika. https://www.republika.co.id/berita/piszn7409/bahaya-laten-mikroplastik-dari-manusia-kembali-ke-manusia [7]: Puspita, Sherly. 2018. Pasukan Oranye Temukan Isi Perut Hewan Dibuang di Kali Cipinang. Kompas. https://megapolitan.kompas.com/read/2018/08/24/17104521/pasukan-oranye-temukan-isi-perut-hewan-dibuang-di-kali-cipinang [8]: FAO. 2012. Sustanability and Organic Livestock-Model (SOL-M). https://www.fao.org/fileadmin/templates/nr/sustainability_pathways/docs/SOL_Concept_Note.pdf