fbpx
Pixabay/Jacqueline Macou

Menyisir Masalah dan Solusi Penanganan Limbah Tambak Udang Budidaya di Indonesia

Beberapa waktu yang lalu, warga kampung kami dibuat heboh oleh seekor buaya yang naik ke arah hulu sungai. Saya yang mengetahui kabar itu tidak bisa untuk tidak mengaitkannya dengan semakin menjamurnya tambak udang budidaya. Beberapa tahun yang lalu, saya tidak pernah mendengar kabar ada buaya muncul di sungai di belakang rumah warga. Kejadian ini baru muncul belakangan saat satu demi satu usaha tambak dibuka.

Hmm, saya tidak menuduh pengusaha X atau Y secara spesifik, lagi pula saya tidak ingin mendahului BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dan pihak terkait lainnya dalam membuat kajian. Namun, terlepas dari apa “motivasi” naiknya buaya tadi, geliat industri tambak udang budidaya memang semakin kentara di daerah kami. Tentu saja, sebagaimana industri mana pun, industri ini dapat membawa dampak buruk pada lingkungan jika limbahnya tidak dikelola dengan benar.

Kita akan membahas persoalan limbah nanti, namun sebelum itu, tidakkah Anda penasaran kenapa industri perikanan satu ini terus bertumbuh? Kalau saya sih “iya”, jadi kita ulas ini dulu sebelum yang lainnya.

Udang Budidaya dan Potensi Ekspor yang Besar

Fenomena berkembangnya industri tambak udang budidaya tentu tidak terjadi tanpa sebab. Tidak dapat dipungkiri bahwa nilai ekonomi menjadi sebab utama dari berbinar-binarnya mata pengusaha terhadapnya. Faktanya, udang termasuk komoditas ekspor yang sangat bernilai.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republikasi Indonesia, dalam Program Percepatan Pengembangan Tambak Udang Nasional, menyebutkan bahwa total produksi udang mencapai 517.397 ton dengan nilai produksi sebesar 36,22 triliyun rupiah pada 2019 lalu[1]. Pemerintah, melalui KKP, menarget produksi dapat naik sebesar 250% menjadi 1.290.000 ton dengan nilai 90,30 triliyun pada 2024 mendatang. Nilai yang sangat fantastis, bukan?

Saya pribadi sih tidak heran, pasalnya krustasea satu itu mengandung nilai gizi yang tinggi. Selain itu, sebagian orang-orang Indonesia juga suka makan udang, salah satunya adalah adik bungsu saya. Udang menjadi standar enak sebuah makanan baginya.

Pernah suatu ketika saya membawakannya tahu bakso yang baksonya dibuat dari daging sapi. Saya tanyalah si bungsu yang masih balita saat itu, “Enak tahu baksonya?” kata saya, dia mengangguk dan menjawab “enak”. Saya tanya lagi, “rasa apa memangnya?”, dia jawab “rasa udang”, jawaban polosnya sukses membuat saya tertawa. Hmm, rasanya ingin bilang: udang memang enak, Dek, tapi udang yang sering kamu makan itu udang tambak yang pengelolaan limbahnya juga enak.

Maksud saya, ada oknum yang dengan se-enak-nya membuang limbah ke sungai, muara hingga laut. Dampak dari praktek ini jelas tidak enak sama sekali, tidak hanya merusak lingkungan melainkan juga merusak keseimbangan di dalamnya.

Buruknya Pengelolaan Limbah Bisa Berujung Petaka

Jika ditelusuri betul, sebenarnya cukup banyak keluhan-keluhan masyarakat terhadap tidak bijaknya pelaku usaha tambak udang dalam mengelola limbah. Beberapa di antara mereka bahkan tidak memiliki izin budidaya dan pengolahan limbah—sungguh jauh dari prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang kini sangat digalakkan pemerintah.

Media kompas.tv mewartakan bahwa baru-baru ini ditemukan 10 perusahaan tambak udang di Jember, Jawa Timur, tidak memiliki izin resmi budidaya perikanan dan sistem pengolahan limbah[2]. Sebagian besar tambak juga melanggar peraturan karena jarak lahan tambak dengan bibir pantai kurang dari 100 meter. Pemeriksaan dilakukan oleh lembaga pemerintahan setempat karena banyaknya laporan masyarakat. Limbah tambak membunuh ikan kecil di pesisir pantai serta merusak tanaman padi milik petani.

Hal serupa juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, harianjogja.com bahkan menyebut limbah tambak sebagai bom waktu. Bukan tanpa dasar, ratusan hingga ribuan ton limbah tambak udang terbuang ke pantai selatan DIY setiap tahunnya[3]. Seiring dengan itu, masyarakat setempat mengeluhkan matinya ribuan ikan di laguna pantai setiap tahunnya karena buangan limbah tambak. Jika tren budidaya udang yang tidak berkelanjutan ini tidak dicegah, kerusakan ekosistem pesisir tentu akan lebih parah. Berbagai petaka yang senada atau lebih besar sangat mungkin terjadi di daerah pesisir lainnya di Indonesia.

Ah, saya jadi teringat buaya yang kita singgung di atas tadi. Jika ekosistem rusak, ikan-ikan di laguna dan muara mati, sudah barang tentu predator puncak akan berpindah ke tempat yang lebih aman. Artinya, kecurigaan saya di atas tadi cukup beralasan, bukan?

Tapi ya sudahlah, ketimbang berlama-lama curiga, tidak ada salahnya jika kita cari tahu cara-cara terbaik untuk penanganan limbah tambak udang budidaya itu. Ketimbang membuang ke lautan atau aliran air lainnya, mengolah limbah menjadi sesuatu yang bermanfaat sangat layak untuk dikaji dan dilakukan.

Mengubah Limbah Menjadi Material yang Bernilai Ekonomi

Andai kata pebisnis tambak mau sedikit belajar, sebenarnya cukup banyak alternatif pengolahan limbah tambak yang bisa dilakukan. Tidak semata menetralisir limbah sehingga cukup aman untuk dibuang, limbah tersebut juga bisa diolah agar bisa menghasilkan uang. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk kemungkinan-kemungkinan pemanfaatan limbah tambak udang tersebut.

Rahim (2018) menjelaskan bahwa limbah tambak yang terdiri dari sisa pakan dan sisa pupuk terfermentasi dapat digunakan sebagai campuran media budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus)[4]. Luaran dari budidaya tersebut adalah pupuk organik dan cacing tanah itu sendiri. Cacing tanah dapat dijadikan pakan alternatif untuk ternak hingga bahan baku industri. Konon, harga cacing tanah per kilogramnya bisa mencapai 50-100 ribu rupiah.

Salah satu skenario yang bisa dijalankan adalah pengelola tambak bekerja sama dengan masyarakat sekitar dan mengedukasi mereka tentang potensi budidaya cacing tanah tersebut. Pengelola tambak tidak harus menjual limbah pada masyarakat, ketika keterbutuhan akan limbah sebagai media budidaya cacing tanah sudah terbangun, resiko kerusakan lingkungan akibat limbah tersebut juga akan menurun.

Limbah tambak udang juga dapat digunakan sebagai pupuk organik dalam pertumbuhan biomassa kelekap yang bermanfaat dalam pemeliharaan nener atau bibit bandeng[5]. Penggunaan pupuk dari limbah tambak menghasilkan pertumbuhan nener bandeng yang cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk organik komersil. Penelitian lainnya juga mendukung temuan tersebut, limbah tambak dapat menggantikan pupuk sintetik sebagai media kultur mikroalga berjenis Chaetoceros amami[6].

Beberapa contoh di atas memang tidak menguangkan limbah tersebut secara langsung, hanya saja penggunaannya sebagai substitusi bahan komersil akan mengurangi biaya produksi. Ketika biaya produksi berkurang, tentu saja nilai ekonomi produk bisa meningkat. Di samping itu, jika ditelusuri lebih dalam, masih banyak pilihan pemanfaatan limbah tambak udang lainnya yang bisa menjadikan zat sisa ini sebagai bahan potensial.

Jika opsi-opsi pemanfaatan tadi bisa dilakukan, itu akan sangat membantu mengurangi dampak buruk limbah terhadap lingkungan. Industri tambak udang budidaya juga bisa terdorong menjadi industri yang bertanggungjawab dalam hal produksi.

Peluang Ekonomi Sirkular dari Limbah Tambak Udang dan Kunci Suksesnya

Agaknya kita semua tentu bangga bahwa Indonesia menjadi salah satu pemain besar dalam ekspor udang budidaya secara global. Konon, Indonesia menjadi salah satu eksportir utama dan yang terbesar ke-4 di dunia setelah India, Ekuador, dan Vietnam[7]. Program Percepatan Pengembangan Tambak Udang Nasional agaknya menjadi “master plan” pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai eksportir udang terbesar di dunia. Pemerintah bahkan memangkas mekanisme izin dari 21 izin menjadi 1 izin saja.

Mudahnya izin pembukaan usaha tambak udang tentu akan membantu pemerintah mencapai target tadi, selain itu juga dapat mencegah bermunculannya tambak-tambak ilegal. Hanya saja, fungsi pengawasan haruslah lebih diketatkan agar tidak ada pemain-pemain culas di lapangan. Hal ini agar industri perikanan ini tidak hanya menjadi sebatas pendorong “ekonomi berkelanjutan” tetapi juga memenuhi konsep green growth atau pertumbuhan ekonomi hijau.

Pemerintah dapat mengedukasi dan menawarkan konsep ekonomi sirkular dalam hal pengelolaan limbah tambak. Konsep ini berfokus pada penggunaan suatu material secara berkelanjutan dalam sebuah siklus. Mulai dari membuat, memakai hingga digunakan kembali sehingga meminimalisir residu yang dibuang ke lingkungan. Limbah tambak udang dapat dimanfaatkan sebagaimana contoh-contoh di penjelasan sebelumnya. Tentu saja, integrasi dan sinergi antara pemerintah dan swasta sangat dibutuhkan dalam upaya mewujudkan ide ini.

“Lalu, di mana peran masyarakat umum?” mungkin itu pertanyaan pembaca.

Masyarakat umum dapat membantu pemerintah dalam hal pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran dari pelaku industri terkait. Jangan beri ruang pihak tidak bertanggung jawab membuang limbah seenaknya ke perairan. Jika memungkinkan, masyarakat, melalui tokoh-tokohnya, bisa mengadakan diskusi dengan pemilik tambak udang agar tercapai kesepakatan yang menjunjung tinggi konsep pertumbuhan ekonomi hijau. Semoga dengan begitu, permasalahan rusaknya lingkungan akibat limbah bisa diselesaikan dengan tanpa merugikan pihak mana pun.

Referensi:

[1] Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2020). Program Percepatan Pengembangan Tambak Udang Nasional. Diakses pada 1 Juli 2020, dari https://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/DitJaskel/publikasi-materi-2/menarik-minat/Materi%20Pembahas%20Direktur%20KKI%20Budidaya.pdf

[2] Kompas TV. (2021). 10 Perusahaan Tambak Udang Tidak Memiliki Izin Budidaya dan Pengolahan Limbah. Diakses pada 1 Juli 2021, dari https://www.kompas.tv/article/180740/10-perusahaan-tambak-udang-tidak-memiliki-izin-budidaya-dan-pengolahan-limbah

[3] Suryani, Bhekti. (2021). Bom Waktu Limbah Tambak di Pesisir DIY. Diakses pada 1 Juli 2021, dari https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2021/06/03/510/1073466/bom-waktu-limbah-tambak-di-pesisir-diy

[4] Rahim, Andi Rahmad. (2018). Pemanfaatan Limbah Tambak Ikan untuk Budidaya Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Jurnal Perikanan Pantura, 1(2), 1-8.

[5] Suwoyo dkk. (2016). Pemanfaatan Limbah Tambak Udang Super-Intensif Sebagai Pupuk Organik untuk Pertumbuhan Biomassa Kelekap dan Nener Bandeng. Media Akuakultur, 11(2), 97-110.

[6] Febrinawati dkk. (2020). Utilization Waste Vanamei Shrimp Farming (Litopenaeus vanamei) as a Media Cultur Chaetoceros amami. Jurnal Perikanan, 10(1), 20-28.

[7] Widowati Hari. (2019). Indonesia Eksportir Udang Beku Terbesar Keempat di Dunia. Diakses pada 2 Juli 2021, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/06/12/indonesia-eksportir-udang-beku-terbesar-keempat-di-dunia