Joko Ade Nursiyono 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Sumber: PIXABAY/BRIANSTEPHENS00 via kompas.com Sampah daun yang menggunung atau berserakan merupakan pemandangan yang lumrah ditemui. Layaknya sampah lainnya, sampah daun acap kali memberikan kesan kotor halaman rumah, pekarangan, dan jalanan. Biasanya sampah daun disapu, dikumpulkan, lalu dibuang di tempat sampah. Namun, apa jadinya bila sampah daun itu malah dibakar? Membakar sampah daun dianggap sepele sebagian masyarakat. Sadar atau tidak, sebenarnya hal itu merupakan tindakan yang salah. Sampah daun, baik masih hijau maupun yang telah kering, berdampak buruk bagi lingkungan ketika dibakar. Proses pembakaran menghasilkan kepulan asap tebal yang membahayakan kesehatan bila tersebar kemana-mana. Environmental Protection Agency (EPA), sebuah institusi yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa pembakaran sampah daun dapat memicu pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan. EPA juga menguraikan bahwa efek pembakaran sampah daun menghasilkan partikulat dan hidrokarbon beracun yang bersifat iritan dan karsinogenik. Penjelasan ini cukup relevan dengan perlakuan pada timbulan sampah daun di Indonesia. Timbulan sampah daun pada dasarnya aman bila terkelola dengan baik. Lain halnya bila sampah itu pada kenyataannya justru dibakar. Sentuhan yang salah pada sampah daun pastinya mengancam kesehatan. Partikel mikro yang terkandung di dalam kepulan asapnya juga berpotensi masuk ke dalam paru-paru lalu menyebabkan gangguan saluran pernafasan, kemudian menghambat kinerja paru-paru, dan tak dimungkiri mengakibatkan kematian. Ancaman itu bukan hanya terjadi pada anak-anak, melainkan juga masyarakat lanjut usia (lansia). Memahami masalah sampah daun di Indonesia tidak cukup sebatas retorika. Diperlukan kuantifikasi jelas mengenai volume dan dampaknya. Timbulan sampah daun yang tercampur dalam sampah kekayuan di Indonesia tercatat cukup besar. Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di tahun 2023 menunjukkan bahwa sampah daun kekayuan menyumbang 11,70 persen dari keseluruhan sampah. Angka itu sekaligus menempatkan sampah daun kekayuan sebagai kontributor ketiga setelah sampah plastik. Di samping mengancam kesehatan, efek pembakaran sampah daun juga membahayakan keselamatan. Dalam beberapa kasus, asap yang dihasilkan pembakaran sampah daun (baca: jerami) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Tepatnya di awal September 2022, terdapat kecelakaan beruntun yang melibatkan 13 kendaraan bermotor di Tol Brebes, Jawa Tengah. Hasil penyelidikan menemukan bahwa pemicu kecelakaan beruntun tersebut adalah kepulan asap pembakaran sampah daun di sekitar jalan tol. Hal serupa juga terjadi pada pertengahan Agustus 2024, di mana asap yang menyelimuti jalanan mengakibatkan terjadinya kecelakaan beruntun di Tol Sumo Gresik, Jawa Timur. Mengingat bahaya tersebut, pengelolaan sampah daun secara bijak menjadi sangat krusial. Di balik sejumlah efek buruk yang ditimbulkannya, sebenarnya terdapat banyak cara dalam mengelola sampah daun. Salah satunya, menghadirkan inovasi pengelolaan sampah daun di dalam ruang-ruang pendidikan. Upaya intensif bisa digalakkan pada setiap dinding dan media akademis untuk menyentuh sampah daun lebih baik. Edukasi olah sampah daun juga dapat ditunaikan melalui teknik memendam dalam tanah. Sebagai salah satu sampah organik, sampah daun tentunya lebih mudah terurai dibanding sampah plastik. Dengan cara memendamnya di dalam tanah, kepulan asap tidak akan terjadi, pun tidak sampai mengancam keselamatan. Penguatan tata kelola sampah daun dapat pula ditanamkan pada kurikulum pendidikan. Melalui kebijakan ini, sentuhan inovatif di tengah melimpahnya sampah daun bisa dihadirkan pada bangku-bangku pendidikan. Beberapa contohnya, olah sampah daun menjadi pupuk organik, pembuatan barang kerajinan dari sampah daun, dan konversi sampah organik menjadi bioenergi. Dengan mengintegrasikan pengelolaan sampah daun dalam kurikulum, peserta didik tidak hanya belajar tentang teori, tetapi juga bagaimana praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Berapapun volume sampah daun yang berserakan, melalui pendekatan pendidikan yang tepat, masyarakat bisa diberdayakan untuk mengelola sampah daun. Pendidikan tentang tata cara pembuatan pupuk organik dari sampah daun pada waktunya akan memotivasi petani bertransformasi ke pertanian organik. Selain mampu meningkatkan hasil panen, pertanian organik telah terbukti mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan kimia. Berpangkal pada pertanian organik, seluruh aktivitas di sektor pertanian nantinya akan lebih ramah lingkungan. Dampak konversi sampah daun menjadi bioenergi menyediakan alternatif energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Energi yang dihasilkan proses konversi ini bermanfaat untuk berbagai keperluan, mulai dari penerangan hingga pemanasan, dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Di samping itu, pendidikan keterampilan dalam pembuatan kerajinan berbahan sampah daun bisa membuka peluang ekonomi baru. Sampah daun yang awalnya mengancam kesehatan dan keselamatan akibat salah perlakuan, berubah menjadi produk bernilai tambah serta menyediakan lahan meraup keuntungan. Integrasi pengelolaan sampah daun yang tepat dan aman bukan hanya membantu mengatasi masalah limbah, melainkan juga mendukung transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan. Melalui elaborasi pendidikan dan inovasi, generasi masa depan akan mempunyai pemahaman mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Hasil elaborasi itu diharapkan mampu membentuk karakter dan budaya unggul dalam mengelola sampah di masa depan. Melalui pendidikan inovatif, budaya bijak dalam mengelola sampah, terutama sampah daun, perlu ditanamkan kepada generasi mendatang. Dengan begitu, sampah daun tidak akan lagi mengorbankan kesehatan dan keselamatan. Tinggalkan mata air untuk mereka, bukan air mata.(*)