fbpx
Freepik/artitwpd

Menuju Indonesia 2045: Komunitas “Regeneratif” Untuk Berkota Secara Berkelanjutan

Mengalami perubahan kota di Indonesia, terutama di daerah Jabodetabek semenjak usia sekolah dasar, dan kemudian mencermati dan menggeluti bidang rancang kota selama hampir satu dekade, saya melihat kota-kota di Indonesia mempunyai peluang dan potensi besar untuk menjadi model kota tropis yang tidak hanya hijau tapi juga sirkuler. Model Komunitas “Regeneratif” bisa menjadi cara untuk berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang berkaitan erat dengan keberlanjutan lingkungan dan sebuah titik awal untuk Indonesia 2045 yang lebih hijau.

Berdasarkan estimasi UN World Urbanization Prospects 2018, sekitar 70% populasi Indonesia pada tahun 2045 akan bermukim di daerah perkotaan. Daerah perkotaan yang terus berkembang akan meningkatkan kebutuhan energi dan emisi karbon serta mengakibatkan konversi lahan yang semakin masif untuk kebutuhan lahan dan material bangunan. Namun, pola pengembangan daerah perkotaan di Indonesia sampai tahun 2045 masih menekankan pada perubahan fungsi lahan dan cenderung horizontal dengan adanya proyek Pemindahan Ibu Kota Negara.

Perubahan fungsi dari hutan atau lahan hijau menjadi lahan pertanian yang kemudian menjadi kompleks perumahan tapak dan komersial adalah proses perubahan fungsi lahan yang umum terjadi di Indonesia. Pola perkembangan seperti ini menyebabkan tanah kehilangan fungsi ekologisnya sebagai penyimpan dan pengolah karbon terbesar yang berakibat pada perubahan iklim yang semakin ekstrim. Tanah menyimpan karbon tiga kali lebih banyak dari atmosfer dan mengolah 25 persen emisi bahan bakar dunia.

Sehingga tidak mengherankan jika praktek konversi lahan telah menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia secara konsisten sejak tahun 1990. Meningkatnya de-urbanisasi, perpindahan populasi dari kota ke desa, yang didorong oleh biaya hidup di kota yang mahal dan situasi pandemi COVID-19, semakin mendorong konversi lahan. Hal ini menjadikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 15 tentang ekosistem daratan yang mengutamakan keanekaragaman hayati akan sulit tercapai.

Melakukan regenerasi perkotaan, menciptakan model komunitas “Regeneratif”, dan memperbaharui peraturan tata kota adalah tiga langkah yang mencakup skala makro dan mikro untuk berkota di Indonesia yang lebih ramah kepada alam dan manusia. Regenerasi perkotaan dengan memanfaatkan ulang lahan dan bangunan di daerah perkotaan menjadi salah satu solusi untuk menekan laju ekspansi daerah perkotaan dan mengendalikan perubahan fungsi lahan. Menurut Prof. Peter Roberts dalam bukunya yang berjudul Urban Regeneration: A Handbook (2000), regenerasi perkotaan (urban regeneration) adalah kesatuan visi dan aksi secara komprehensif yang tidak hanya menyelesaikan permasalahan kota tetapi juga memberikan peningkatan kualitas ekonomi, fisik, sosial dan lingkungan dalam jangka panjang pada daerah yang telah mengalami perubahan.

Pengembangan kota secara masif dan terus-menerus sejak awal kemerdekaan di Indonesia menyisakan banyak bangunan dan daerah cokelat (brownfields), terutama lahan bekas pabrik, tambang, industri, pemerintahan, kampung kota atau daerah komersial yang sudah uzur. Regenerasi, atau peremajaan, perkotaan dapat dimulai dari bangunan dan daerah cokelat tersebut karena secara umum dapat dijangkau oleh infrastruktur dasar yang sudah ada atau akan disediakan oleh pemerintah kota. Walaupun belum jamak, renovasi dan pemanfaatan ulang bangunan tua seperti De Tjolomadoe di Solo, Jawa Tengah yang menjadi balai pertemuan dan pameran serta M Bloc Space di Jakarta Selatan yang menjadi pusat seni dan kreatif mampu memberikan nafas baru bagi bangunan dan daerah sekitarnya. Namun, proses regenerasi perkotaan seharusnya mengakomodasi juga kebutuhan saat ini, seperti perumahan vertikal, ruang kerja bersama (co-working), pusat daur ulang (recycling centre), penambahan ruang hijau kota, fasilitas sosial dan umum lainnya.

Regenerasi perkotaan fokus tidak hanya pada aspek fisik, tetapi juga aspek non-fisik dimana regenerasi perkotaan tersebut dimulai. Pola pikir menyeluruh dalam regenerasi perkotaan diperlukan untuk memberikan efek peremajaan yang lebih luas. Regenerasi yang berangkat dari potensi dan kondisi saat ini meminimalkan gangguan pada komunitas yang diremajakan dan menghindari efek kontra-produktif. Identifikasi dan pemberdayaan potensi budaya, sosial, ekonomi dan lingkungan dengan warga secara partisipatif perlu dilakukan untuk mengembangkan identitas unik bagi setiap komunitas di daerah perkotaan. Komunitas yang dimaksud adalah lingkup Rukun Tetangga (neighbourhood) hingga kampung yang dalam konteks Indonesia memiliki relasi internal dan dengan wilayah perkotaan yang erat (Sutandyo-Buchholz, 2013) sehingga berpotensi menjadi bagian paling penting bagi sebuah kota dan menentukan keberlanjutan sosial dan ekonomi suatu wilayah (Neal, 2003).

Efek dari regenerasi perkotaan dapat ditingkatkan dengan penerapan konsep ekonomi sirkuler. Selaras dengan TPB 12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, konsep ini bertujuan untuk membuat siklus produksi dan konsumsi semakin tertutup, terlokalisasi dan semakin kecil dari aspek jarak distribusi. Distribusi produk baik ekspor atau impor yang semakin jauh jaraknya menghasilkan jejak karbon yang semakin besar pula.

Dari perspektif seorang yang berprofesi sebagai ahli rancang kota (urban designer), secara umum akan ada setidaknya empat pola pengembangan komunitas di Indonesia, yaitu “Atraktif”, “Produktif”, “Integratif”, dan “Regeneratif”. Menariknya semua pola pengembangan ini dapat ditemukan pada kampung kota di Indonesia. Kampung Warna Warni Lenteng Agung di Jakarta Selatan adalah salah satu contoh pola pengembangan “Atraktif” melalui program pengecatan atap rumah warga dan penataan lingkungan setempat. Pola ini bertujuan untuk menarik perhatian dan memberikan identitas baru bagi suatu komunitas perkotaan.

Pola pengembangan “Produktif” tidak hanya menarik secara fisik namun sudah mengembangkan potensi ekonomi, sosial dan lingkungan yang dimilikinya. Berawal dari inisiatif warga setempat untuk meningkatkan nilai jual hasil tangkapan bandeng dari sebagian besar warganya yang berprofesi sebagai nelayan, Kampung Bandeng di Tambakrejo dan Krobokan, yang termasuk dalam program Kampung Tematik Kota Semarang, adalah contoh baik pola “Produktif”. Bermula dari usaha rumahan, Kampung Bandeng telah menjadi pusat pengolahan bandeng yang mengangkat potensi lokal dan salah satu kuliner khas Kota Semarang.

Namun, Indonesia masih belum mapan dalam mengembangkan pola “Integratif” yang kompak secara fisik, multifungsi, bisa mengakomodasi multi-demografi dan terintegrasi dengan infrastruktur kota dan lingkungan disekitarnya. Kampung-kampung kota di Jakarta dengan berbagai inisiatif dan program penataan berpotensi menjadi “Integratif” karena lokasinya yang dekat dengan pusat bisnis dan menyediakan fungsi-fungsi pendukung, seperti hunian sewa dan warung makan dengan harga yang relatif terjangkau bagi karyawan perkantoran. Demikian juga dengan pembangunan 24 kawasan berorientasi transit (TOD) di daerah Jabodetabek yang multifungsi (mixed-use) dan terkoneksi langsung dengan sistem transportasi. Kemapanan dalam mengembangkan pola “Integratif” ini menjadi dasar untuk menciptakan lingkungan yang sirkuler di daerah perkotaan.

Pola “Regeneratif” adalah pola terakhir yang ideal dan merupakan penggabungan dari ketiga pola sebelumnya ditambah dengan penerapan konsep ekonomi sirkuler. Pola pengembangan ini diperlukan Indonesia di masa depan dalam upaya pemenuhan Pilar Pembangunan Indonesia 2045 Ke-2, Pembangunan Ekonomi Yang Berkelanjutan. Dengan ‘Glintung Water Street’ yang dicetuskan oleh warga di Kampung Glintung, Malang, Jawa Timur, komunitas kota yang juga termasuk dalam kawasan konservasi air ini menjadikan saluran air di sepanjang jalan dan gang sebagai kolam ikan dan ruang pertanian kota yang produktif. Benih-benih pola “Regeneratif” ini perlu terus dikembangkan pada komunitas daerah perkotaan masa depan di Indonesia.

Didukung dengan modal sosial yang tinggi, Indonesia sebenarnya mampu mengembangkan sebuah model komunitas “Regeneratif” untuk daerah perkotaan. Kata “Regeneratif” merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Bill Reed dan Pamela Mang (2020), yaitu sebuah pendekatan pembangunan yang menyatukan alam dan manusia dalam satu sistem yang saling berkaitan untuk memampukan alam dalam memulihkan dan memperbaharui keadaannya melalui partisipasi positif manusia. Komunitas “Regeneratif” fokus pada pemberdayaan unsur-unsur lokalitas untuk mendukung pertumbuhannya di masa depan dan menekan emisi karbon yang disebabkan oleh distribusi dan konsumsi.

Pembentukan komunitas “Regeneratif” dapat dimulai dari penerapan pertanian kota, pengolahan air dan pendayagunaan limbah domestik. Kemandirian energi dan pendayagunaan limbah yang lebih rumit seperti pakaian bekas, sampah barang elektronik dan material bangunan bisa menjadi prioritas pada tahap berikutnya sehingga komunitas binaan semakin mapan dalam menjalankan praktek ekonomi sirkuler. Pusat daur ulang, bengkel kreatif, ruang kerja bersama, galeri komunitas dan ruang sejenis yang mendorong produksi lokal adalah komponen penting komunitas “Regeneratif” disamping ruang-ruang terbuka publik yang mendukung interaksi sosial.

Seiring dengan kebutuhan untuk berkembang secara fisik, komunitas “Regeneratif” akan tumbuh secara vertikal untuk meminimalkan penggunaan lahan secara horizontal. Dukungan sistem transportasi hijau yang berorientasi pada pejalan kaki, pesepeda serta penggunaan transportasi publik dan kendaraan rendah emisi akan meningkatkan keefektifan model ini. Sistem evaluasi yang melibatkan anggota komunitas secara aktif menjadi penting dalam menjamin keberlangsungan komunitas “Regeneratif” dan lingkaran sirkuler komunitas tersebut secara mandiri. Model inilah yang kemudian bisa direplikasi terutama untuk kota-kota besar dan dikembangkan lebih lanjut untuk daerah pinggiran kota (peri-urban) dan pedesaan dengan penyesuaian terhadap konteksnya masing-masing.

Selain kolaborasi antara aktor-aktor lokal seperti ahli rancang kota, perencana kota, arsitek, insinyur, akademisi, warga masyarakat dan pemerintah, realisasi dan replikasi komunitas “Regeneratif” membutuhkan ruang-ruang bereksperimen yang lebih besar dalam peraturan tata kota. Evaluasi dan revisi peraturan tata kota di Indonesia ke depan perlu memasukkan elemen-elemen komunitas “Regeneratif” dan mendukung penerapan model tersebut dalam usaha menghijaukan lingkungan kota. Ruang pertanian kota, lahan hijau vertikal dan ruang-ruang berkreasi untuk komunitas perlu diakomodasi dalam peraturan tata kota dan didukung hingga tahap panduan rancang kota (urban design guidelines) dan implementasi. Peraturan tata kota yang lebih akomodatif, terutama pada ide-ide penghijauan kota yang baru, membantu menekan efek pemanasan di daerah perkotaan (urban heat island) dan mewujudkan transformasi berkota secara berkelanjutan di Indonesia yang sejalan dengan TPB 13 tentang penanganan perubahan iklim.

Dalam dekade 2020 ini, yang disebut sebagai dekade penentuan (decisive decade), sudah saatnya Indonesia perlu lebih ambisius dalam menangani perubahan iklim. Untuk itu, melakukan perubahan pendekatan secara signifikan dalam pengembangan daerah perkotaan adalah sebuah keniscayaan. Regenerasi perkotaan yang komprehensif, pengembangan wilayah berbasis komunitas yang regeneratif, dan peraturan tata kota yang akomodatif dapat mewujudkan Indonesia yang lebih hijau pada 2045.

Daftar Pustaka

Mang, P. and Reed, B., 2020. Regenerative development and design. Sustainable Built Environments, pp.115-141.

Neal, P. ed., 2003. Urban villages and the making of communities. Taylor & Francis.

Roberts, P. and Sykes, H. eds., 2000. Urban Regeneration: A Handbook. SAGE.

Sutandyo-Buchholz, A. 2013. Collective Activity as a Traditional Knowledge Behind the Physical Design. Case of Urban Kampungs in Indonesia. Planum The Journal of Urbanism 26: 1–13.