Ainur Rohmah 0shares Ketika Hutan Dianggap Sebatas Kumpulan Daun Hijau Read More Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Keberadaan sumber daya alam di Indonesia sangat berkontribusi dalam pembangunan negara. Mineral dan batu bara (minerba) menjadi salah satu komponen Sumber daya alam yang diandalkan. Eksploitasi minerba tidak hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan Indonesia tapi juga kebutuhan global. Sesuai dengan posisi Indonesia di kancah internasional yang menduduki sebagai negara penghasil batu bara ke-4. Begitupun dengan ketersediaan cadangannya yang mencapai 38,84 miliar ton dengan umur 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada cadangan baru (Kementerian ESDM, 2021). Beragamnya mineral dan batu bara di Indonesia juga memberikan kebermanfaatan yang beragam pula. Sebagai komponen penyedia energi menjadi peran utama minerba dalam menopang kehidupan masyarakat. Mulai dari energi bahan bakar, listrik, gas, dan lain sebagainya. Selain itu, sumber daya alam ini juga dimanfaatkan baik oleh pemerintah maupun sektor swasta sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Pendapatan dari ekspor Minerba ini dapat menyumbang PDB Indonesia serta menyeimbangkan defisit. Namun, seiring dengan aktivitas pertambangan yang semakin meningkat, konflik yang mendulang didalamnya tidak dapat dihindari. Pertama, mengenai kasus perizinan lahan tambang. Sesuai ketentuan bahwasanya negara pemegang kuasa SDA sekaligus memiliki fungsi untuk membuat kebijakan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Hal ini berarti dalam setiap badan usaha swasta harus mengantongi perizinan sesuai dengan prosedur untuk dapat melakukan aktivitas tambang. Namun banyak dari usaha pertambangan yang belum juga memiliki izin usaha pertambangan (IUP), salah satunya penyebabnya karena belum memenuhi perintah sesuai dengan UUPPLH. Banyaknya penambangan illegal menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan di sekitar lahan tambang. Hilangnya hutan, matinya flora fauna, degradasi tanah dan lain sebagainya. Bahkan sebagian besar area pertambangan batu bara merupakan kawasan hutan lindung (Supriadi, 2011). Tentu hal ini sangat menyalahi aturan yang sudah jelas tertera dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang PPLH bahwasanya pemanfaatan SDA harus berdasarkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), yang terdiri atas RPPLH nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Bukan hanya dampak lingkungan tapi masyarakat lokal di area pertambangan juga dirugikan. Berubahnya topografi dan muka tanah, timbulnya pencemaran dan limbah beracun, serta bencana alam yang setiap saat dapat mengancam keberadaan masyarakat lokal menjadi kecemasan tersendiri. Pertambangan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan hanya akan menggiring dalam lubang bencana. Perlunya solusi yang tepat agar bencana alam yang mengancam dapat dicegah. Salah satunya dengan pengolahan lahan bekas tambang. Banyak upaya yang dilakukan untuk mengembalikan ekosistem lahan seperti pada mulanya. Salah satunya dengan reklamasi, yaitu upaya menata kembali lahan pasca tambang untuk meminimalisir resiko perubahan fisik tanah yang ekstrim. Proses rehabilitasi lahan untuk memulihkan ekosistem menjadi keharusan agar konservasi biodiversitas tidak tumbang. Namun, masifnya lahan eks tambang terutama untuk tambang illegal yang digelontorkan begitu saja menjadi masalah. Pada akhirnya pemerintah yang harus mengambil alih untuk bertanggung jawab atas pengelolaan lahan eks tambang illegal tersebut. Salah satu inovasi dalam pengelolaan lahan eks tambang yaitu dengan pembangunan lahan eks tambang sebagai ekowisata. Konsep ekowisata merupakan sebuah konsep pembangunan pariwisata dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan. Seperti yang dikemukakan IUCN tahun 1996 bahwa Ekowisata adalah perjalanan bertanggung jawab secara lingkungan dan kunjungan ke kawasan alami, dalam rangka menikmati dan menghargai alam (serta semua ciri-ciri budaya masa lalu dan masa kini) untuk mempromosikan konservasi, memiliki dampak kecil dan mendorong pelibatan sosial ekonomi masyarakat lokal secara aktif sebagai penerima manfaat (dalam Asmin, 2018). Ekowisata dapat menyatukan komponen biodiversitas flora dan fauna, masyarakat lokal, serta kebudayaan sebagai bentuk implementasi pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga, dalam capaiannya dapat menjadi sektor pariwisata yang berkembang dengan baik di Indonesia. Adapun dalam pengelolaan lahan eks tambang menjadi ekowisata terbagi atas beberapa tahap, sebagai berikut: 1. Tahap identifikasi Pada tahap ini terjadi proses identifikasi terhadap potensi dan ancaman bagi ekowisata yang akan dibangun nanti. 2. Tahap perencanaan Melakukan perencanaan dari tata kelola ekowisata nantinya. Perencanaan ini meliputi rencana kelola zona dan model lestari, kelayakan, anggaran, dan strategi marketing. 3. Tahap pelaksanaan Pada tahap ketiga ini merupakan tahap pelaksanaan atas rencana usaha ekowisata yang dijalankan. 4. Tahap evaluasi dan pengembangan Setelah ekowisata berjalan, perlu adanya evaluasi yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi pengembangan kawasan ekowisata yang lebih baik dan terus berlanjut. Berjalannya tahapan-tahapan di atas, juga tidak lepas dari komponen di dalam ekowisata. Kompleksitas komponen didalamnya yaitu pertama, konservasi biodiversitas sebagai pemeran utama dalam ekowisata. Kemudian yang kedua, adanya kontribusi masyarakat lokal yang turut terlibat aktif dan membawa budaya daerah mereka. Terakhir, mencakup pengalaman dan pembelajaran ekowisata yang menyediakan sarana terbuka bagi berbagai kegiatan para pengunjung. Dengan begitu kompleks prinsip ekowisata, tentunya membutuhkan kerja sama yang baik antar semua pihak yang terlibat dan juga dorongan dari pemerintah untuk berkembang. Ekowisata dalam pengembangannya harus mengedepankan prinsip keberlanjutan (sustainable tourism). Keberlanjutan pengelolaannya akan memberi imbas yang baik pada tingkat konservasi biodiversitas, kondisi sosial masyarakat, serta kemajuan ekonomi. Tiga aspek tersebut menjadi indikator atas keberhasilan sustainable tourism ini. Dimana ketiganya berkorelasi dari partisipasi masyarakat lokal untuk memanfaatkan konservasi sumber daya alam tanpa merusak biodiversitas sehingga dapat tumbuh menjadi destinasi ekowisata dan terbuka kesempatan untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Kesadaran atas urgensi pengolahan lahan eks tambang perlu ditanamkan. Tanah ini menjadi tanggungjawab kita bersama, jika bukan kita yang menjaga lantas siapa? Sekarang kita tidak butuh kecemasan akan musibah tapi kita perlu tindakan yang komprehensif. Melalui ekowisata menjadi pilihan yang tepat bagi pengelolan lahan tersebut. Akan ada banyak dampak positif yang didapat dengan menghidupkan lahan eks tambang sebagai kawasan ekowisata. Sudah dengan potensi pariwisata Indonesia yang terkenal, keberadaan ekowisata nantinya turut menjadi kontribusi untuk tetap lestarinya beragam biodiversitas. Referensi: Asmin, Ferdinal. 2018. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/323309174_Ekowisata_dan_Pembangunan_Berkelanjutan_Dimulai_dari_Konsep_Sederhana pada 30 September 2021. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2021. Cadangan Batubara Masih 38,84 Miliar Ton, Teknologi Bersih Pengelolaannya Terus Didorong. Diakses dari https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/cadangan-batubara-masih-3884-miliar-ton-teknologi-bersih-pengelolaannya-terus-didorong pada 30 September 2021. Supriadi. 2011. Hukum kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia. Edisi 2 hml 64. Jakarta: Sinar Grafika