Anugerah Sam Mahasiswa 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Melawan Kapitalisme Demi Keseimbangan Triple Bottom Line (Planet, People, Profit) Kehidupan pada hari ā hari ini semakin banyak didapati masalah yang kompleks, mulai dari bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, politik, hingga lingkungan. Berbanding terbalik dengan perkembangan ilmu yang semakin pesat, dimana ketika ilmu kesehatan yang semakin canggih harusnya dapat menghasilkan kondisi kesehatan yang memadai di masyarakat, ilmu pendidikan yang semakin berkembang dan terintegrasi dapat menyediakan pendidikan yang lebih layak, hingga perkembangan teknologi yang memudahkan lini kehidupan harusnya dapat membawa kesejahteraan di seluruh aspek kehidupan manusia. Namun, sejalan dengan munculnya permasalahan – permasalahan tersebut, berbagai inovasi dan solusi pun turut diciptakan sebagai langkah manusia dalam mengatasinya. Pada abad ke-21 ini, salah satu problematika yang menjadi persoalan terbesar sekaligus tanggung jawab terberat umat manusia berhubungan dengan masalah lingkungan. Berkembangnya ilmu dan teknologi mendorong pada berkembangnya segala aspek kehidupan terutama aspek pembangunan seperti infrastruktur, ekonomi industri, teknologi, jaringan, pemerintahan, hingga ide ā ide yang tanpa disadari di sisi lain menggerus nilai ā nilai natural alam dengan kata lain, tumbuhan, binatang, iklim hingga manusia terkena dampak. Pada hari ā hari ini, sektor industri terutama industri perkebunan kelapa sawit dan pertambangan kerapkali menjadi sasaran utama penyebab kerusakan lingkungan. Melihat dari kenyataan di lapangan, aktivitas sektor ini dominan mempengaruhi adanya perubahan lingkungan yang bersifat negatif seperti aktivitas pertambangan yang tujuan utamanya untuk mengolah energi tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas alam, mineral dan lainnya tidak jarang menyebabkan kerusakan baik itu yang disengaja (side-effect activity), maupun yang tidak disengaja (work accident). Sebagai contoh, deforestasi hutan akibat pembukaan lahan kelapa sawit dan pertambangan yang dapat mengganggu eksosistem di dalamnya dan kecelakaan kapal pengangkut minyak di laut yang dapat berdampak buruk terhadap kehidupan di laut. Singkatnya, permasalahan kerusakan lingkungan pada masa ini berakar pada perkembangan industrialisasi dan modernisasi suatu wilayah/negara. Lalu, jika sudah begitu, solusi apa yang paling tepat untuk mencegah kepunahan eksistensi lingkungan kita. Apakah kegiatan industri yang harus diintervensi? Sementara dari aspek sosial masyarakat, kegiatan industri justru membawa banyak manfaat positif seperti pengurangan angka pengangguran, pertumbuhan ekonomi negara, dan terpenuhinya kebutuhan ā kebutuhan manusia yang semakin beragam. Tulisan ini akan mengulas tentang ide dan perspektif wawasan penulis terhadap isu masalah ā masalah lingkungan dan kaitannya dengan bidang sosial ekonomi dari aspek psikologis. Ā Dalam dunia perekonomian dikenal sebuah teori Triple Bottom Line sejak tahun 1994 oleh John Elkington, seorang penulis berkebangsaaan Inggris melalui bukunya yang berjudul āCannibals With Forksā. Sederhananya, Triple Bottom Line (TBL) merupakan konsep tentang sistem usaha dunia korporat yang tidak boleh hanya mementingkan masalah keuntungan (value/money) tetapi juga memperhatikan nilai ā nilai sosial (society) dan lingkungan (environment). Istilah ini juga disederhanakan menjadi hubungan antara nilai People (manusia), Planet (alam), dan Profit (ekonomi). Dari definisi singkat tersebut, kita dapat memahami bahwa ketiga elemen; people, planet, profit pada dasarnya terhubung dan terintegrasi antar satu sama lain. Adapun, pengimplementasian teori ini berpusat pada pelaku ekonomi dan industri, yakni perusahaan atau lembaga industri serupa dalam menjalankan usahanya harus mampu memperhatikan resiko lingkungan agar tetap aman disamping produksi bahan mentah menjadi siap pakai dengan merancang skema pengolahan limbah industri dengan benar agar tidak mempengaruhi lingkungan. Selain itu, perusahaanĀ mampu memenuhi hak ā hak masyarakat sebagai konsumen dengan menyediakan hasil produksi yang berkualitas dan kehidupan masyarakat pun tidak terdampak buruk oleh kegiatan industri. Dengan begitu, dapat tercapai tujuan ekonomi yang diharapkan yakni, terjalinnya hubungan saling percaya antar produsen dan konsumen sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, baik konsumen mendapatkan kesejahteraan dan produsen tetap mendapatkan keuntungan, dan lingkungan pun tidak tercemar. Lebih jauh lagi, konsep Triple Bottom Line dapat dikatakan termasuk dalam bagian komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau SDGs (Sustainibility Development Goals) sebagai cara untuk mengentaskan permasalahan ā permasalahan global demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat di masa depan. Dimana, program TPB merancang berbagai ide dan inovasi yang berorientasi pada isu ā isu sosial termasuk di dalamnya masalah lingkungan, ekonomi, dan manusia. Sehingga, dapat dipahami bahwa segala aspek kehidupan di bumi bersifat holistik dan terintegrasi, maka sangat penting bagi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan untuk menjalankan aktivitasnya baik itu yang berhubungan dengan perekonomian, sosial, lingkungan dan lain ā lain secara berkesinambungan. Namun, pada realitanya, yang terjadi di lapangan masih melenceng jauh dari tujuan tersebut. Kebanyakan perusahaan terutama perusahaan besar masih lebih berfokus pada pencapaian keuntungan dengan cara menghasilkan sebanyak ā banyaknya produk tanpa mempertimbangkan nilai lingkungan dan manusia. Fenomena tersebut dapat terjadi karena terbentuknya pola perilaku konsumtif manusia akibat perkembangan zaman, terutama di era industri saat ini dimana kebutuhan manusia semakin banyak dan beragam. Hal tersebut mendorong pelaku ā pelaku industri menciptakan berbagai inovasi produk sedemikian rupa yang tak jarang nilai esensinya tidak begitu dibutuhkan oleh masyarakat, yang kemudian oleh masyarakat biasa dipandang sebagai fenomena kapitalisme. Sebagai contoh berkembangnya produksi makanan ā makanan instan yang dimodifikasi sedemikian rupa seperti produk makanan kemasan, kalengan, dan lain ā lain, sehingga dapat menarik minat masyarakat yang berujung timbulnya rasa butuh terhadap produk tersebut. Dampaknya, produksi yang semakin banyak tentu membutuhkan sumber daya yang besar pula. Industri ikan kalengan dapat memanfaatkan sumber daya ikan dari laut atau sungai, industri mebel memanfaatkan kayu dari pepohonan, industri minyak kelapa sawit memanfaatkan lahan kosong, industri obat ā obat-an, kosmetik, otomotif, hingga pertambangan akan memanfaatkan bahan ā bahan kimia dan alam, dan lain sebagainya. Jika setiap jenis industri tersebut melakukan produksi dalam skala besar dan jangka waktu yang lama, maka pemanfaatan sumber daya tersebut pun akan berjalan massif dan lama dengan kata lain, pemanfaatan yang berlebihan tersebut dapat menjadi suatu bentuk kegiatan eksploitasi sumber daya alam. Namun, perlu diperhatikan bahwa, kegiatan tersebut tidak akan menjadi masalah apabila pemanfaatan sumber daya diiringi pemulihan sumber daya pula. Meskipun mungkin sebagian besar industri bergantung pada sumber daya alam yang terbarukan yang artinya bahan pokok olahan mereka akan kembali tersedia meskipun digunakan, tetapi pada akhirnya sumber daya tersebut akan habis jika digunakan terus ā menerus. Dari semua contoh tersebut, eksploitasi hutan dan ekosistem laut merupakan sektor yang paling terdampak. Eksploitasi hutan untuk kepentingan industri seperti industri kelapa sawit dan pertambangan tentu akan menyebabkan deforestasi hutan yang apabila tidak diiringi langkah reforestasi yang konsisten maka akan menyebabkan kerusakan ekosistem dan berbagai masalah lingkungan lainnya. Validasi tersebut bukan sekadar contoh semata, data the Global Forest Watch memaparkan total kehilangan hutan primer lembab global dalam rentang tahun 2003 ā 2020 mencapai 62.0Mha yang merupakan 16% dari total kehilangan tutupan pohon pada periode waktu yang sama pula. Adapun Indonesia disebutkan kehilangan sekitar 9.75 Mha hutan primer basah sejak 2002 sampai 2020. Ada berbagai aktivitas yang mempengaruhinya mulai dari sektor kehutanan, pembukaan lahan untuk kelapa sawit, urbanisasi, termasuk aktivitas pertambangan. Sementara, perkebunan kelapa sawit menjadi faktor pendorong terbesar hilangnya tutupan pohon di Indonesia (Austin, et.al 2019). Lebih lanjut, akar permasalahan ā permasalahan tersebut masih berkaitan dengan perilaku konsumtif masyarakat, artinya perlu dipahami bahwa langkah ā langkah pencegahan maupun penanggulangan masalah lingkungan tidak akan tuntas selama masyarakat masih mengadopsi gaya hidup hedon. Konsumerisme masyarakat ditambah pengaruh kapitalisme perusahaan besar yang hanya fokus meraup untung besar ā besaran memicu produksi yang besar ā besar-an pula yang berujung menghasilkan limbah sampah yang banyak, maka penting sekali kesadaran untuk mengubah pola hidup konsumtif ini. Salah ā satu contoh fenomena tidak efektifnya upaya penanggulangan masalah lingkungan akibat konsumerisme perekonomian, seperti munculnya alternatif pengganti barang plastik seperti penggunaan sedotan stainless, botol minum (tumbler), dan totebag kain dan kertas. Umumnya, gerakan untuk merubah alternatif penggunaan barang plastik ini terlihat ramah lingkungan karena akan mengurangi produksi berbahan plastik dan juga limbah plastik, namun gerakan ini justru dapat menjadi masalah lingkungan baru karena pola perilaku konsumtif. Hal itu karena, pada pelaksanaannya, masyarakat menggunakan barang ā barang tersebut secara berlebihan bahkan ada pula yang sudah beralih ke alternatif baru namun, masih menggunakan barang plastik meskipun tidak sesering sebelumnya. Sementara, barang alternatif seperti sedotan stainless, tumbler, totebag membutuhkan energi yang jauh lebih besar dalam produksinya ketimbang produksi barang berbahan plastik. Efeknya, lebih banyak energi yang harus dihabiskan sehingga tidak efisien dan hanya menambah limbah jenis baru yang dapat merusak lingkungan. Berangkat dari analisis fenomena lingkungan tersebut, yang ingin ditegaskan dalam tulisan ini ialah bagaimana manusia harus belajar merubah pola hidup kapitalis dan konsumtif ini, karena lingkungan kita sesungguhnya sudah tidak baik ā baik saja, ada berbagai macam permasalahan yang jika tidak ada intervensi dan aksi nyata maka pada akhirnya manusia itu sendiri-lah yang rusak. Masyarakat terutama generasi muda yang paling dekat dengan informasi mengenai isu ā isu lingkungan harus mulai bertindak dengan menjalani hidup yang ramah lingkungan, memanfaatkan daya guna semua barang yang dimiliki semaksimal mungkin, jangan terpengaruh dengan semua trend baru yang bermunculan karena banyak darinya tanpa disadari membawa pada perilaku konsumtif, menjaga lingkungan dengan meminimalkan sampah plastik, jika menggunakan barang alternatif seperti tumbler atau totebag secukupnya saja, dan yang tidak kalah penting agar anak ā anak muda lebih berani menyuarakan isu lingkungan dengan aktif secara bersama ā sama agar seluruh lapisan masyarakat tahu dan paham. Selain itu yang terpenting, seluruh pemangku kepentingan terutama pemerintah agar konsisten membuat regulasi berkaitan dengan masalah lingkungan yang ada yang disertai tindakan hukum yang nyata pula agar dapat memberi efek jera terhadap pelaku perusakan lingkungan dan setiap badan usaha agar lebih meningkatkan tanggung jawab dan pertimbangannya terhadap dampak ā dampak industri yang dapat merusak lingkungan. Dengan langkah kecil tersebut, perlahan ā lahan kita dapat berkontribusi dalam upaya pembangunan berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan kehidupan di masa depan. Referensi Majalahequilibrium EdisiXXIII https://mlp.sdgacademyindonesia.id/ https://www.globalforestwatch.org/ https://www.cnbcindonesia.com/ https://dlhk.bantenprov.go.id https://olahkarsa.com/ https://www.johnelkington.com/
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More