Ainur Rohmah 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Indonesia merupakan negara besar dimana menyimpan berbagai kebermanfaatan bagi kehidupan, dengan potensi sumber daya alam yang sangat melimpah. Sumber daya alam ini, masih belum juga optimal dalam pengelolaanya. Sehingga, manfaatnya pun belum bisa sepenuhnya dirasakan untuk mensejahterakan bangsa. Ada faktor yang penghambat dalam mengelola sumber daya alam ini yaitu kualitas sumber daya manusia di indonesia. Secara kualitas, jumlah tenaga terdidik di indonesia adalah 33,1% sedangkan jumlah tenaga kerja kurang terdidik hampir dua kali lipat dari tenaga kerja terdidik yaitu 66,9% (Widodo, 2016). Untuk meningkatkan kualitas SDM, maka diperlukan juga perbaikan kualitas pendidikan. Pendidikan berkualitas sesuai pula dengan tujuan ke empat Sustainable Development Goals (SDGs). Melalui pendidikan yang berkualitas, akan tumbuh harapan-harapan baru untuk meningkatnya kesejahteraan bangsa. Mengukur kualitas pendidikan di suatu negara merupakan salah satu hal penting guna mengetahui skala kualitas pendidikan. Pada survei yang dilakukan di tahun 2018 oleh Programme For International Student Assessment (PISA) bahwasanya Indonesia mendapat skor membaca yang menempati urutan ke-72 dari 77 negara, skor matematika berada di urutan ke 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di urutan ke 70 dari 78 negara (Kemendikbud, 2019). Peringkat yang didapat untuk tes tahun 2018 ini menurun dibandingkan dengan peringkat survei PISA pada tahun 2015. Terdamparnya Indonesia di peringkat bawah seharusnya lebih menyadarkan bahwasanya kualitas pendidikan di Indonesia membutuhkan perhatian yang lebih. Di abad ke-21, dominansi pelajar pada generasi Z. Dalam generasi ini, teknologi telah berkembang dengan cepat bahkan mereka akan tumbuh berdampingan dengan tumbuhnya teknologi. Berkembangnya teknologi merupakan bagian dari berkembangnya ilmu pengetahuan dengan begitu, semakin luas pula ilmu pengetahuan. Dengan kondisi global yang seperti ini, secara tidak langsung menuntut para pelajar untuk bisa beradaptasi dengan digitalisasi dunia. Bermodalkan kualitas pendidikan yang ada, para pelajar harus bisa menghadapi tekanan abad 21. Dengan begitu bisakah kita menghadapi hanya dengan keoptimisan saja? Kita butuh pembenahan pada kualitas pendidikan. Pelajar kini bukan hanya dituntut untuk bisa sekedar membaca, menulis, dan menghafalkan namun, mereka dituntut untuk bisa menciptakan. Mereka dituntut untuk berpikir kritis, peka terhadap sekitar, bisa melihat permasalahan yang ada dan memecahkan permasalahan tersebut. Salah satu langkah dalam mencapai kualitas pendidikan yang baik dengan menggalakkan literasi. Literasi dengan tujuan dapat membangun sikap kritis pada setiap individu. Penanaman kebiasaan literasi yang baik akan menjadi bekal bagi pelajar dalam era digitalisasi. Dalam era ini, tentunya semakin banyak tantangan yang harus dihadapi individu terutama perihal literasi digital. Banyaknya akses digital yang terbuka mengharuskan kita untuk selalu waspada. Karena kenyataannya tak sedikit dari pengguna platform digital yang menyalahgunakan kebolehan mereka dalam unjuk suara. Banyak sekali isu yang bermunculan akibat dari informasi yang disampaikan oleh mereka. Jelas saja, isu-isu tersebut merugikan dan mampu membuat perpecahan diantara masyarakat. Beberapa isu tersebut antara lain, sexsual harassment, hate speech, dan hoax. Sexsual harassment merupakan bentuk pelecehan seksual yang telah dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Pelecehan ini dapat dilakukan secara verbal maupun nonverbal. Melalui platform digital, sexsual harassment secara verbal kerap sekali dilakukan. Para pelaku sexsual harassment akan sangat mudah menemukan korbannya karena diperantarai oleh platform digital. Parahnya lagi, kejadian verbal sexsual harassment sering tidak disadari oleh para korban bahwa mereka telah menjadi korban sexsual harrasment. Sehingga, makin meledak para pelaku verbal sexsual harassment ini. Tercatat dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat begitupun kenaikan yang cukup signifikan untuk kasus cyber crime 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300% (Komnas Perempuan, 2020). Hate speech atau ujaran kebencian merupakan tindakan menyebarkan informasi yang mengandung sarat kebencian terhadap sesuatu. Kategori ujaran kebencian di platform digital meliputi penghinaan, penistaan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik (Umroh, 2020). Kebebasan dalam menyatakan pendapat (free speech) di Indonesia memang sudah sangat terlihat. Sehingga untuk menyatakan ketidaksukaan, para pengguna platform digital menyuarakannya dengan menyebarkan informasi yang bersifat memprovokasi pengguna platform digital lain. Hal ini dilakukan agar lebih banyak lagi orang-orang yang terlibat dalam kebencian tersebut. Tindakan hate speech dalam lingkup publik akan menciptakan stigma buruk terhadap para korban hate speech. Hoax atau berita bohong yaitu informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya, dengan kata lain hoax diartikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya, dapat pula diartikan sebagai tindakan mengabutkan informasi yang sebenarnya, dengan cara membanjiri suatu media dengan pesan yang salah agar bisa menutupi informasi yang benar (B. Mansyah, 2017). Hoax gencar sekali disebarkan kepada para pengguna sosial media lain. Hoax ini harus diperangi dengan informasi berupa klarifikasi dari pihak-pihak yang terkait. Dengan begitu, masyarakat tidak akan termakan oleh berita simpang-siur yang beredar di sekeliling mereka. Beredarnya informasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, mampu menjadi ancaman bagi Indonesia sendiri. Hal itu sepadan dengan meningkatnya jumlah permasalahan yang timbul akibat penyalahgunaan platform digital. Para pelaku cyber crime ini menyebarkan ketidakbenaran informasi yang mereka buat melalui berbagai macam saluran, dengan penggunaan media sosial menjadi urutan pertama, aplikasi chatting urutan ke dua, dan urutan ketiga melalui situs web (Septanto, 2020). Adapun bentuk dari informasi yang disebarkan dengan 3 cara yaitu melalui tulisan yang memiliki persentase paling tinggi sebanyak 62,10%, dengan gambar 37,50%, dan video 0,40% (Septanto, 2020). Berdasar paparan di atas, penyebaran informasi tidak bertanggung jawab didominasi dengan menggunakan tulisan. Sesuai dengan penemuan Kominfo bahwasannya terdapat 800.000 situs di Indonesia yang menyebarkan informasi palsu. Beredarnya informasi-informasi tersebut sebagai alasan ketidakpuasan mereka untuk mendapatkan sesuatu yang mereka harapkan. Tentu saja penyampaian ketidakpuasan ini menjadi bencana bagi orang lain. Pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ini, berani untuk menunjukkan keberadaan mereka dan menyampaikan ketidakpuasan mereka. Namun, penyampaian mereka berbeda, melalui platform digital lah mereka akan menginterpretasikan diri mereka. Dominasi penggunaan tulisan sebagai penyebaran informasi tidak bertanggung jawab seolah sudah menjadi petunjuk kualitas literasi kita. Sudah berbeda memang definisi informasi yang apik. Kini, informasi baik tidaklah informatif melainkan provokatif. Penggunaan bahasa tidak lagi normatif, melainkan persistensi diri yang paling dijunjung tinggi. Saling beradu pemberitaan yang berakhir dengan penderitaan, akibat konflik yang tak pernah beradu pandang. Jika isu masalah tak henti, stigma digital menjadi tak dihindari. Buruk sudah pemberitaan mereka karena penggunanya sendiri. Di era free speech, siapa saja diperbolehkan untuk unjuk gagasan. Hal ini membuat pemerintah sekalipun pihak yang paling berwenang tidak dapat menghentikan kehadiran informasi yang tidak bertanggung jawab. Perbedaan kebutuhan antara pembuat dan penikmat informasi sangat signifikan. Pembuat informasi hanya butuh nilai jual dari konten yang mereka sajikan. Tak begitu, dengan penikmat konten yang seharusnya mendapatkan asupan konten yang mengedepankan kebenaran. Dengan demikian, perlunya masyarakat terutama Gen Z bersikap waspada terhadap pemberitaan di platform digital. Implementasi yang cerdas dalam berliterasi digital sudah menjadi keharusan. Beragamnya fenomena yang tumbuh di tengah digitalisasi dunia, mengharuskan kita untuk beradaptasi dengan tetap mengedepankan nilai dan etika yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Referensi: https://kominfo.go.id/content/detail/12008/ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/0/sorotan_mediahttps://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-dan-lembar-fakta-komnas-perempuan-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2020Kemendikbud. 2019. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/hasil-pisa-indonesia-2018-akses-makin-meluas-saatnya-tingkatkan-kualitas. Mansyah. 2017. Fenomena Berita Hoax Media Sosial (Facebook) Dalam Menghadapi Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Septanto, Henri. 2020. Pengaruh HOAX dan Ujaran Kebencian Sebuah Cyber Crime Dengan Teknologi Sederhana di Kehidupan Sosial Masyarakat. Jurnal Sains dan Teknologi: Kalbiscientia. ISSN 2356-4393 Umroh, Fadilatul. 2020. Jurnal penelitian, pendidikan dan pembelajaran. Vol 15 No 13 (2020). Ujaran kebencian (hate speech) pada jejaring sosial media. Widodo, Heri. 2016. Potret Pendidikan di Indonesia dan kesiapannya dalam menghadapi masyarakat ekonomi Asia (MEA). Jurnal kependidikan dan kemasyarakatan 13(2): 293-308.