fbpx

Keterwakilan perempuan dalam politik

Dalam dekade terakhir ini, masalah keterwakilan perempuan dalam perpolitikan di Indonesia menjadi wacana yang penting dalam upaya meningkatkan peran politik perempuan. Keterwakilan politik (political representative), diartikan sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat (termasuk perempuan) oleh wakil-wakilnya di institusi-institusi perwakilan (DPR, DPRD, DPD) melalui proses politik. Isu keterwakilan perempuan di bidang politik sebenarnya pada pemilu 2009 diharapkan dapat menjadi titik awal untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan di bidang politik dengan menerapkan kebijakan affimative action baik di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang- Undang Nomor 10 Tahun tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memberikan perlakuan khusus dengan kuota 30% bagi perempuan sebagai langkah awal untuk mendorong keterwakilan perempuan di bidang politik menuju arah yang setara dan berkeadilan. Namun sangat disayangkan pada perjalanannya kebijakan affirmative action ini “dianulir” secara tidak langsung melalui putusan Mahkamah Konstitusi Keputusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan berlakunya Pasal 214 Huruf a,b,c,d, dan e di mana ketentuan Pasal 214 Huruf a,b,c,d, dan e ini yang pada intinya adalah membatalkan penggunaan nomor urut dalam penentuan calon legislatif terpilih melainkan dengan berdasarkan suara terbanyak sehingga dengan pembatalan tersebut secara otomatis zipper system yang berdasarkan nomor urut untuk menentukan posisi perempuan tidak dapat dijalankan. Sejalan dengan argumen ini perempuan dapat memasuki posisi kekuasaan karena mereka akan terikat dalam politik yang berbeda; 3). Perempuan dan laki-laki mempunyai pertentangan kepentingan sehingga laki-laki tidak dapat mewakili perempuan (”interest group argument”); 4). Politisi perempuan mewakili model peran penting mendorong perempuan lain untuk mengikuti. Inti ide di belakang kouta gender pemilihan adalah merekrut perempuan ke dalam institusi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik. Kendala pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik perempuan, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni hambatan internal dan hambatan eksternal. Hambatan internal berupa keengganan besar perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik. Keengganan ini dikarenakan sosio-kultural mereka yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakan dan menyampaikan keinginan serta aspirasinya di bidang politik. Aktivitas dianggap tidak layak bagi perempuan, karena sifat-sifatnya yang jauh dari citra perempuan.
Kendala eksternal antara lain dari birokrasi yang paternalistik, pola pembangunan ekonomi dan politik yang kurang seimbang dan kurang berfungsinya partai politik. Kendala pokok lemahnya partisipasi politik perempuan antara lain berada pada lingkungan sosial budaya yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan.