fbpx
Diolah dengan Canva

Kenapa harus selalu plastik? (Why is plastic the default?)

Ghina Fadhilla Project Officer TRACK SDGs - Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Volunteer Slow Fashion Movement Indonesia

Di sebuah kafe, seorang perempuan memesan segelas kopi untuk memulai rutinitas work from cafe (WFC)-nya pada hari itu. Tanpa mengkonfirmasi apapun, barista menyajikan kopi tersebut di dalam gelas plastik sekali pakai. Kemudian, sore harinya ia ke minimarket untuk membeli titipan Ibu di rumah. Belum selesai ia menaruh seluruh belanjaannya di meja kasir, si kasir sudah secara otomatis mengambil kantong plastik di lacinya. Otomatis, hal pertama yang perempuan ini katakan adalah “Ga usah pake plastik, Mbak”.

Kejadian seperti ini pasti sudah sering kita alami, di mana plastik selalu menjadi default. Arti kata default sendiri adalah “bawaan”, atau dalam konteks yang lebih mudah dipahami yaitu “bawaan pabrik,” atau “setting-an pabrik”. Seiring berakhirnya Perang Dunia II, perekonomian global juga berangsur pulih, di sinilah plastik mulai populer untuk menggantikan kemasan kertas, ditandai dengan produsen yang mulai gencar mempromosikan plastik sebagai wadah kemasan yang praktis. Hal ini lama kelamaan membuat masyarakat mulai terbiasa dan bergantung kepada plastik untuk menjadi wadah apapun. Keunggulan plastik yang murah dan hadir dalam berbagai bentuk dan bahan, menjadikan kemasan ini suatu benda yang tidak mungkin tidak ditemukan dalam kegiatan sehari-hari, dan menyebabkan kita sulit untuk benar-benar lepas dari plastik. Oleh karena itulah, saat ini plastik menjadi default.

Dengan semakin ramainya pemberitaan dan penelitian mengenai dampak sampah plastik yang tidak terkelola terhadap kelestarian lingkungan, serta masyarakat yang sudah mulai sadar mengenai hal ini, mengapa produsen masih belum terdorong untuk mengurangi limbah, bahkan dari hal yang sederhana? Padahal, meningkatnya limbah kemasan sekali pakai, ditambah dengan pengelolaan sampah yang belum baik, seperti sampah yang tidak dipilah dan tidak dikirim ke fasilitas pengelolaan sampah dapat menambah beban Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, pada tahun 2022 dalam sehari rata-rata menerima 7.800 pada tahun yang diangkut oleh lebih dari 1.200 truk dari Jakarta. Dengan timbulan sampah itu, kapasitas TPST Bantargebang hampir mencapai batas maksimal. Dengan kapasitas yang berlebih, TPA dapat terancam tutup dan tidak dapat lagi menerima kiriman sampah. Hal ini terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana pemerintah DIY mengumumkan penutupan TPA Piyungan selama 44 hari, yaitu pada 23 Juli 2023 hingga 5 September 2023. Hal ini dikarenakan volume sampah yang telah melebihi daya tampung, sehingga harus dilakukan desentralisasi pengolahan sampah secara mandiri di tingkat kabupaten/kota.

Apabila kebiasaan kita sebagai masyarakat yang sudah terbiasa terbantu dengan keberadaan plastik, dan produsen terus menerus menjadikan plastik sebagai default, maka hal ini akan memperparah kapasitas TPA yang sudah hampir overload tadi. Timbunan sampah yang tidak terpilah pun akan menyebabkan polusi udara dan air, penurunan kualitas tanah, emisi gas metana yang merusak lapisan ozon, serta dampak lainnya seperti kesehatan masyarakat dan biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Apabila ditinjau lebih jauh, hal ini juga berdampak terhadap isu yang sama signifikannya, seperti akses ke pendidikan, pekerjaan yang layak, kesetaraan gender, dan isu pembangunan lainnya yang dibahas dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Padahal, sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencegah timbunan sampah yang tidak terkelola. Alternatif-alternatif ini selain lebih ramah lingkungan juga murah, mudah, dan dekat dengan kita. Salah satu yang bisa diterapkan oleh produsen dan konsumen untuk mengurangi limbah adalah dengan menerapkan konsep ekonomi sirkular. Mengutip salah satu Modul Ajar Memperkuat Implementasi Ekonomi Sirkular di Indonesia, yang disusun oleh Greeneration Foundation bersama dengan Bappenas, UNDP Indonesia, dan Pemerintah Kerajaan Denmark di Indonesia pada tahun 2022, konsep ekonomi sirkular hadir sebagai bentuk perubahan paradigma dari ekonomi linear di mana produk didesain untuk dibuat, dipakai, dan dibuang (prinsip take-make-dispose), sehingga produsen akan terus menerus mengambil sumber daya alam untuk menghasilkan produk baru. Sebagai alternatif dari model bisnis tersebut, dalam ekonomi sirkular, nilai manfaat sebuah produk sejatinya dapat terus dimanfaatkan dalam sebuah siklus sehingga dapat memperpanjang masa pakai produk tersebut. Tujuannya adalah untuk meminimalisir jumlah penggunaan sumber daya dan jumlah produk yang akhirnya dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) melalui penggunaan ulang dan efisiensi semua sumber daya terbarukan dan tidak terbarukan dalam sebuah siklus produk.

Penerapan ekonomi sirkular dapat dilakukan dengan prinsip 9R, yaitu sebuah hierarki yang mempromosikan beberapa strategi sirkular yang dimulai dengan kata “R” supaya lebih mudah dipahami. Prinsip ini membagi tingkat sirkularitas berdasarkan sumber daya yang dipakai. Semakin tinggi level sirkularitas, maka penggunaan sumber daya alam semakin sedikit.

Gambar 1. Strategi Sirkularitas dalam 9R (Potting, et al., 2017 pada Modul Ajar Workshop dan Capacity Building Ekonomi Sirkular Pemerintah Kerajaan Denmark, UNDP Indonesia, Kementerian PPN/Bappenas, Greeneration Foundation, 2022)

Merujuk kembali pada pengalaman membeli kopi di kafe tadi, ekonomi sirkular sangat bisa untuk diterapkan dan menghindari limbah plastik sekali pakai. Penerapannya pun sangat mudah untuk dilakukan, yaitu dimulai dari R0: Refuse atau menolak. Apabila perempuan di kafe tadi memesan kopi untuk menemaninya work from cafe, sudah pasti ia akan duduk di kafe tersebut selama beberapa waktu ke depan (dine-in), jadi ia tidak perlu wadah yang bisa dibawa pulang seperti gelas plastik. Seharusnya kafe bisa menawarkan pilihan bahwa untuk minuman yang dikonsumsi di tempat, dapat disajikan di gelas milik kafe yang bisa dipakai ulang, atau bahkan membuat kebijakan agar hal ini diwajibkan untuk mengurangi limbah plastik sekali pakai. Apabila situasinya si pembeli ingin membeli kopi saja dan setelah itu langsung pergi (takeaway), kafe bisa menanyakan apakah ia membawa botol minum atau tidak.

Kemudian, sama halnya dengan kasus kasir minimarket yang seolah-olah sudah terprogram untuk selalu mengambil kantong plastik setiap ada pembeli yang hendak membayar di kasir. Dengan mulai menerapkan ekonomi sirkular dari R0, kasir seharusnya bisa menanyakan terlebih dahulu apakah pembeli membawa kantong belanja atau tidak. Meski di beberapa daerah sudah melakukan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai, tetapi bagi daerah yang pemerintahnya belum menaruh perhatian mengenai masalah limbah, harus mulai membangun kesadaran untuk menerapkan ekonomi sirkular.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kegiatan sehari-hari yang menghasilkan plastik sekali pakai dapat dihindari dengan mudah. Melalui konsep ekonomi sirkular, khususnya prinsip 9R, baik produsen dan konsumen dapat mengurangi limbah tersebut. Kemudian, dengan hierarki prinsip 9R yang komprehensif, dapat membantu produsen dan konsumen untuk menyesuaikan dengan konteks model bisnis yang sudah ada sekarang dan berjalan selama ini (existing), sehingga bertransisi ke ekonomi sirkular dapat dilakukan secara bertahap. Harapannya, dengan diterapkannya ekonomi sirkular, plastik sudah tidak lagi menjadi default, melainkan menjadi opsi kesekian.