Baasitha Nurindah Guru 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Di dunia ini ada banyak hal bahagia yang harus dirasakan minimal seumur hidup sekali, namun beberapa hal cukup dirasakan seumur hidup sekali walaupun rasanya begitu membahagiakan. Salah satunya adalah kisahku hari itu. Oktober 2019 merupakan awal aku menjadi pelari yang kelelahan. Iya, aku sangat menyukai lari pagi. Begitu paham bahwa lari memang melelahkan, tapi kala itu rasanya berbeda. Ada sesak luar biasa. Semakin hari tarikan nafasku semakin pendek. Tidak hirau atas keadaan diri ternyata memperparah situasi. Pasalnya aku benar-benar tidak merasakan apapun selain sesak di dada, hingga suatu ketika aku bersin keras. Hanya satu kali, namun ku dapati bercak merah ditangan. Atas kejadian tersebut, aku memutuskan pergi ke RSUD Sleman di hari kemudian. Pagi itu, aku harus membelah dinginnya udara Sleman demi mendapat giliran duluan. Di selasar Poli THT aku menunggu antrean, risau akan banyak kemungkinan. Padahal tidak tahu apa yang ku pikirkan. Ku tengok kanan dan kiri. Sama, ekspresi pasi. Ketika namaku dipanggil, segera juga aku memasuki ruangan. Ku dapati dokter yang begitu ramah, beliau menanyakan kejadian saat itu, beserta keadaan sebelum dan sesudahku. Seusai konsultasi, aku diarahkan untuk melakukan rontgen. Hasilnya baru bisa diambil esok hari. Satu hari kemudian, aku kembali datang ke RSUD Sleman. Berjalan melewati ruangan demi ruangan untuk sampai di meja receptionist ruang rontgen. Ketika menerima hasilnya, aku langsung diminta memakai masker dan menuju Poli Penyakit Dalam. Sembari menunggu dipanggil, aku memperhatikan sekeliling. Orang-orang dengan wajah khawatir, bahkan beberapa yang keluar ruangan hanya bisa tersenyum getir. Giliranku memasuki ruangan, ternyata ada banyak sekat didalamnya. Suasana yang cukup berbeda dengan ruang tunggu. Lebih gelap. Tidak, bukan tentang lampunya. Tetapi perihal harap yang ada di kepala dan terpancar dari muka. Baik, bagaimanapun hasilnya aku siap. Aku mencari bilik dengan nama dokter yang tertera di dokumenku. Mengetuk ruangannya, dan disilakan masuk. Atas banyaknya jumlah pasien, dokter segera menyampaikan penyakitku. Beliau mengatakan bahwa aku terindikasi penyakit TBC. Jujur saat itu aku merasa biasa saja, karena aku tidak tahu apapun tentang penyakit tersebut. Adanya tuntutan kontrol rutin, dokter merekomendasikan pengobatanku dilanjutkan di puskesmas terdekat demi kemudahan akses. Dengan jarak yang relatif dekat dari asrama, Puskesmas Mlati I menjadi pilihanku. Sesampainya disana, aku mengikuti saran dokter yaitu langsung ke Poli TB tanpa masuk ke dalam puskesmas, karena memang bangunannya terpisah. Dari parkiran sudah terlihat para petugas kesehatan lengkap dengan baju dinasnya, maka dewasa ini bukan pertama kalinya aku melihat Satgas COVID memakai APD. Ku melangkah mendekat dan disambut hangat oleh seorang petugas kesehatan, Ibu Ani namanya. Beliau memeriksa ulang data diri dan dokumenku, terutama hasil diagnosa dan Surat Rujukan dari RSUD Sleman. Seusai pemeriksaan berkas, aku diarahkan masuk ruangan kecil. Sudah terdapat seorang dokter disana, beliau memulai percakapan sembari melihat hasil rontgen milikku. Kami berbincang mulai dari gejala yang aku rasakan dan sudah berlangsung berapa lama. Selanjutnya beliau menjelaskan seputar penyakit TBC, jenis-jenisnya, faktor penyebab, siapa saja orang yang bisa terjangkit, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pasien TB, upaya apa saja yang dilakukan untuk sembuh dan lain sebagainya. Dokter juga menjelaskan jenis TB yang aku derita, yaitu TB Kelenjar. Diskusi singkat dengan Ibu Dokter selesai, maka lanjut ke orang kedua. Beliau adalah Ahli Gizi. Olehnya aku diajak untuk memperhatikan pola makan dan nilai gizi atas setiap bahan makanan. Beliau memberikan dua buah kertas, satu berisikan daftar bahan makanan yang perlu dihindari oleh pasien TB. Satu lainnya berisi hal sebaliknya, yaitu makanan yang dapat membantu mempercepat pemulihan kesehatan pasien TB. Teman bicara pada diskusi ketiga merupakan seorang Psikolog. Pertanyaan pembuka yang ia layangkan adalah ‘bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa terindikasi TB?’. Aku menjawab sedikit khawatir menularkan ke orang lain, karena seperti yang kita tahu bahwa TBC merupakan salah satu penyakit yang paling cepat penularannya. Psikolog itu juga melayangkan pertanyaan terkait respon lingkungan sekitar terutama orang-orang terdekat. Dengan mantab aku menjawab bahwa mereka benar-benar menerimaku dengan baik. Yap, salah satu kesyukuran terbesarku adalah hidup ditengah manusia-manusia yang berluas jiwa dan menerima apa adanya. Beliau tampak lega mendengar jawabanku. Pertanyaan serupa juga disampaikan seperti bagaimana aku merespon kembali reaksi mereka, bagaimana cara aku menguatkan diri, apa yang membuatku senang, dan sebagainya. Sungguh pertanyaan kritis yang ditujukan untuk kesehatan psikis. Beralih ke diskusi terakhir, aku berbincang dengan petugas kesehatan yang akan menjadi Penangung Jawab Pasien TB. Aku mendapati Ibu Ani sebagai PJ-ku. Beliau seorang Ibu yang baik sekali. Setiap kata-kata yang keluar melantun dengan lembut namun tegas. Bu Ani menyampaikan prosedur pengobatanku dengan detil dan hati-hati. Di sela-sela penjelasan, beliau memberi waktu kepadaku jikalau ada yang ingin ditanyakan. Aku memperhatikan dengan seksama. Beliau bilang bahwa nanti akan ada 2 obat, masa awal pengobatan warnanya merah dan di akhir pengobatan warna obatnya kuning. Sekiranya setelah minum obat kemudian buang air, bisa jadi warna urin akan mengikuti warna obat. Ketahuilah bahwa itu merupakan hal wajar, sehingga tidak ada yang perlu di khawatirkan. Jadwal kontrol berkala sekaligus pengambilan obat juga disampaikan, yaitu dua minggu sekali di Poli TB Puskesmas Mlati I. Nantinya akan diingatkan kembali setiap satu hari sebelum jadwal kontrol via Whatsapp. Demi kesehatan pasien TB dan orang lain, aku dianjurkan untuk selalu menggunakan masker. Awalnya sungguh keberatan, namun beliau menyadarkan bahwa upaya saling menjaga ketika tinggal bersama itu harus ada. Beliau cerita bahkan ada pasangan suami istri yang baru menikah harus tidur pisah kamar karena suaminya merupakan pasien TB. Ah, sabar sekali ya mereka. Keren! Sebelum pulang, aku diminta contact person salah satu orang yang bisa diandalkan untuk mengingatkanku minum obat. Beliau menyarankan sebaiknya adalah orang rumah, maka dari itu aku memilih Kepala Asrama untuk dijadikan PJ pengingat. Selain nomor kontak, pihak puskesmas juga meminta alamat asramaku untuk dapat dikunjungi kemudian hari. Hal tersebut ditujukan sebagai upaya identifikasi penyebab penyakit TB yang aku derita, karena bisa saja diakibatkan oleh lingkungan tempat tinggal. Aku juga diberikan tabung kecil bertutup kuning untuk tempat mengeluarkan dahak. Sampel dahak dibutuhkan karena aku didiagnosa TB atas dasar hasil Laboratorium. Tabung kecil itu aku bawa pulang, karena jujur saja sedari tadi aku tidak ingin membuang dahak. Aku tidak batuk berdahak, bahkan batukpun tidak sehingga akan sulit mengambil sampel dahak dari tenggorokanku. Dengan sabar, Bu Ani memberitahu caranya yaitu dengan sering minum dan mengkonsumsi makanan manis. Setelah semua selesai, aku diberi lembar berwarna kuning yang berisi tabel pengobatan dan konsultasi berkala. Ketika sampai asrama, aku merefleksikan kejadian beberapa hari belakangan. Mulai dari kejadian batuk berdarah, menunggu antre dengan gelisah, hingga mendapatkan pelayanan pengobatan yang sederhana tapi mewah. Baru kali ini aku sakit namun bahagia, karena rasanya begitu istimewa. Pemantauan kesehatan fisik, kepedulian nilai gizi pada pola makan, dan tidak lupa dengan mengindahkan kesehatan mental pasien. Prosedur yang sistematis, detil, dan dijelaskan secara tuntas juga menjadi keunggulan tersendiri. Tenaga kesehatannya juga bekerja dengan sabar dan penuh perhatian. Sungguh awal yang luarbiasa. Aku juga merasa istimewa ketika diundang ke Puskesmas Mlati I dalam rangka Family Gathering Pasien TB pada 2 Maret 2020 lalu. Ketika diberi undangan itu, sebagai mahasiswa yang menerima segala derma, tentu saja aku memberi jawaban iya. Sebetulnya cukup terkejut dengan yang disampaikan Ibu Ani, kami orang sakit kok ada Family Gatheringnya? Hahaha seru banget!. Dalam perjalanannya, aku benar-benar menikmati sakit ini. Secara sadar, aku menerima bakteri Mycrobacterium Tuberculosis segera musnah dalam tubuhku. Mengizinkan obat demi obat melewati lambungku setiap harinya. Berdamai dengan segala rasa, dan abai dengan segala kata mereka. Tidak ada rasa sedih yang menghampiri. Kontrol berkala itu membuat hatiku tenang. Jauh dari segala bimbang. Serta tidak menjadikan pikiran bercabang. Terus konsisten demi hidup yang sehat dan diri yang bermanfaat. Hanya sekali aku berada pada kondisi yang menegangkan, yaitu 3 minggu menjelang masa pengobatanku selesai. Pasalnya aku tahu bahwa tidak boleh ada jadwal minum obat yang terlewat demi kelancaran pemulihan. Jika terjadi, maka masa tambahan pengobatan menjadi konsekuensi. Suatu hari aku pulang ke Jakarta. Tentu obat TB selalu bersama. Hanya satu minggu aku melerai rindu, kemudian harus kembali menuntut ilmu. Ketika di commuter line menuju Stasiun Pasar Senen, aku teringat bahwa saku jaket kananku pasti menggelembung karena ku letakkan obat disana. Hari itu, tidak sama sekali. Ia rata seperti permukaan kain bagian jaket lainnya. Jantungku berdetak dengan cepat. Tanganku merogoh segala saku yang ada. Dari jaket, menuju baju, rok, hingga saku tasku. Berusaha terus mengingat dimana terakhir aku letakkan pil mujarab itu. Aku berusaha berpikir cepat samnil bergumam dalam hati ‘bagaimana jika aku pulang lagi? Ah, tidak cukup waktu. Atau aku reschedule keretaku? Ayolah, harga tiket kereta tidak semurah beli nasi kucing, Bas’ Akhirnya aku menelpon Mama dengan tergesa. Ku ucapkan salam, kemudian “Mah, obat aku ketinggalan.” “Hah, masa?” kata Mamah. “Iya di udah ku cari tapi gak ada” jawabku. “Ya Allah kak, iya ini ada di atas kulkas” Mamah membalas. Aku terdiam, kemudian menghela napas. Di seberang sana, hening. Mungkin Mamah juga terdiam. Beberapa saat kemudian, orang kesayanganku ini menguatkan bicaranya. Beliau mengucap dengan bergetar, “Maafin Mamah ya Kak, ga perhatian sama kamu.” diikuti isak tangis berikutnya. Ah, bukan begitu. Ini jelas salahku, obatku adalah tanggung jawabku. Payah sekali hari itu, tidak teliti menyimpan obat, ditambah membuat mama menangis. Aku menenangkan beliau dengan cepat, mengatakan bahwa semua akan baik-bak saja, walaupun hatiku sudah abstrak sekali rasanya. Langkah yang aku ambil adalah segera menghubungi Ibu Ani, menceritakan kronologinya dan meminta solusi. Ketika itu waktu menunjukkan pukul 4 sore, tentu sudah lewat jam kerja. Hebatnya adalah Ibu Ani rela kembali ke Poli TB Puskesmas untuk menyiapkan obatku. Ah, rasanya haru sekali jika mengingat tragedi itu. Temanku juga tidak kalah baik, dia bersedia menjemput obatku padahal sudah sampai rumahnya di Nanggulan, Kulonprogo. Aku tidak tahu mengapa semesta begitu berpihak. Aku juga tidak tahu cara membalas kebaikan orang-orang atas segala kejadian. Aku hanya bisa bersyukur pernah berada dalam masa-masa itu. Masa-masa yang membelajarkan aku untuk menjadi manusia yang utuh. Manusia yang dapat menghargai dan memiliki jiwa melayani sepenuh hati. Enam bulan berlalu, aku purna dari masa pengobatanku. Di hari itu, Bu Ani masih dengan baju APD nya. Matanya yang bersinar diantara masker dan kerudung coklat kian memancar. Beliau mengucapkan ‘Baas, terimakasih sudah menjadi kuat. Selamat ya sekarang sudah sehat.’ Jabat erat dan tatapan hangat beliau meyempurnakan rasa bahagia ku. Terimakasih para petugas kesehatan, mendahulukan kepentingan umat adalah hal hebat. Terimakasih para pejuang kesehatan negeri, berdikari dengan maksimal adalah suatu hal yang mahal. Selamat melanjutkan segala amal mulia, peluk jauh dari aku mantan pasienmu.
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More