I Made Agus Kusuma Jaya Mahasiswa 0shares Ketika Hutan Dianggap Sebatas Kumpulan Daun Hijau Read More Pariwisata merupakan kegiatan yang melibatkan banyak dimensi dan sektor. Selain dapat menggerakkan perkonomian, pariwisata juga dapat merubah tatanan sosial dan budaya, turut serta dalam pelestarian lingkungan. Di sisi lain pariwisata dipandang mengandung “tonic & toxic” yakni dapat berdampak positif dan negatif bagi kehidupan masyarakat. Sistem pengelolaan pariwisata yang baik diperlukan agar dapat memaksimalkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan (Baiquni, 2013). Pada era sebelum pandemi kita melihat banyak sekali kegiatan wisata yang dilakukan secara masif baik dari wisatawan mancanegara maupun domestik. Berdasarkan data dari kemenparekraf.go.id Indonesia sendiri mengalami jumlah kunjungan yang cukup banyak, sejumlah 16.108.600 kunjungan di tahun 2019, lalu pada 2020 berjumlah 4.052.923 kunjungan atau mengalami penurunan sebesar 74,84%. Pada masa – masa sebelum Pandemi Covid-19 terdapat banyak isu terkait jumlah kunjungan pada suatu daerah destinasi atau daya tarik wisata yang mengalami overtourism yang berdampak negatif kepada lingkungan diantaranya peningkatan konsumsi air yang dimana konsumsi di dominasi oleh wisatawan, jumlah sampah dan emisi yang di hasilkan dari kegiatan wisata. Lalu dampak terhadap masalah sosial terdapat dislokasi penduduk setempat, kekurangan lahan, kenaikan harga sewa dan barang (Saara, 2018). Selain itu overtorism dipercepat dengan adanya tren berwisata dari china yaitu mass tourism. Masalah yang ditimbulkan oleh pariwisata masal terutama berdampak terhadap lingkungan dan aspek sosial budaya. Selain itu wisata alternatif yaitu wisata alam seperti pendakian juga terdampak cukup parah karena kesadaran wisatawan yang kurang dalam mengelola sampahnya sendiri serta pihak destinasi yang masih belum mempunyai pengelolaan yang baik dalam mengatur wsiatawan dan manajemen sampah, karenanya di beberapa destinasi atau daya tarik wisata banyak ditemukan bahwa sampah – sampah yang di bawa oleh wisatawan berserakan di sekitar area wisata dan mencemari daya tarik wisata alam tersebut. Akibat banyaknya sampah ditemukan di gunung, terdapat satu kutipan dari seoran pendaki dari prancis bernama Remi Calbalchini yang telah mendaki 20 gunung di Indonesia, dia mengatakan “Anda tahu bagaimana saya tidak tersesat saat menemukan percabangan jalan? Saya lihat jejak sampahnya. Kalau jalan itu bersih dari sampah, bisa dipastikan saya salah jalan,” Kalimat yang disampaikan itu jelas memperlihatkan bagaimana keadaan wisata alam kususnya wsiata di gunung saat itu. Dan dengan adanya overtourism, banyak destinasi yang mengalami hal serupa berupa dampak negatif pada lingkungan dengan banyaknya limbah dan juga dampak sosial. Tapi apakah ada destinasi wisata yang awalnya mengalami overtourism dan akhirnya berkembang dengan baik dari segi pengelolaan? Tentunya ada, salah satu destinasi yang sempat mengalami overtourism yang parah tapi sudah mengalami perubahan yang sangat baik adalah Gunung Rinjani. Gunung Rinjani merupakan destinasi wisata di Lombok, yang dikelola oleh Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Gunung Rinjani memiliki puncak tertinggi di Lombok dan tertinggi ke 3 di indoneisa dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan air laut. Gunung Rinjani juga merupakan salah satu gunung yang ramai dikunjungi pada awalnya dan mengalami peningkatan setiap tahun di tahun 2012 sampai dengan 2016. Diamana wisman dan wisnus ke TNGR pada tahun 2016 adalah 93.018 orang. Akan tetapi jika melihat data 5 tahun terakhir, pada tahun 2016 adalah jumlah kunjungan tertinggi. Di tahun 2017 mengalami penuruan sebesar 11% dan pada tahun – tahun berikutnya mengalami penurunan yang cukup drastis karena bencana alam berupa gempa yang menimpa Lombok dan Covid – 19 (rinjaninationalpark.id, 2021). Bagaimana dengan limbah yang di hasilkan ? Rata – rata sampah yang dihasilkan oleh seorang pendaki selama kegiatan pendakian adalah 2 Kg, apabila angka ini dikali dengan jumlah pengunjung TNGR pada tahun 2016 yang berjumlah 93.018 orang, maka perkiraan sampah yang dihasilkan dalam satu tahun adalah 186.036 Kg (Maiser Syaputra, 2019). Dan di Rinjani sendiri saat itu belum adanya sistem pengelolaan sampah yang baik dan persoalan ini sempat menjadi trending di media sosial pada tahun 2016 karena banyaknya foto dan temuan lansung dari pengelola yang menunjukan sampah yang di buang sembarangan di sekitar gunung (tribunnews.com, 2016). Dengan adanya kritik yang terus disampaikan media dan masyarakat terkait masalah lingkungan dan bencana alam serta Covid – 19 yang terjadi di Rinjani memicu kesadaran dari pihak pengelola bahwa diperlukan pengelolaan yang jelas terkait jumlah kunjungan dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Aturan tersebut di buat saat tahun 2018 oleh pengelola TNGR yang mengeluarkan Standar Oprasional (SOP) dalam pengelolaan yang berfokus pada pendakian dan pada tahun 2020 melakukan penyesuaian terhadap protokol kesehatan, dengan tujuan untuk meminimalkan resiko bagi para pendaki dan dampak negatif terhadap kelestarian ekosistem. Nama aturan atau SOP tersebut yaitu “KEPUTUSAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NOMOR: SK. /D3 /T.39/TU/KSA/07/2020”. Saat di buka kembali pada 22 Agustus 2020 setelah diperbolehkannya pendakian dilaksanakan pada pendemi Covid 19. Gunung Rinjani mendapatkan keluhan terkait jumlah kunjungan hanya di perbolehkan 30% oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal tersebut dikatakan terlalu sedikit karena antusiasnya masyarakat untuk melakukan pendakian dan sering terjadinya Full Booking (lombokpost.jawapos.com, 2020). Ada juga aturan yang dikatakan terlalu kaku, aturan tersebut yang terkait dengan jumlah hari untuk melakukan pendakian hanya diperbolehkan 2 hari 1 malam dan aturan ini dikatakan yang menyebabkan banyaknya pendaki yang masuk daftar hitam saat implementasinya. (travel.kompas.com, 2020). Setelah beberapa bulan atuaran tersebut dilaksanakan pihak pengelola mendengarkan semua keluhan dari para pendaki dan membuat aturan baru yaitu penambahan kuota pendakian dan durasi pendakian. Terkait durasi pendakian di tambah, yang awalnya 2 hari 1 malam menjadi 3 hari 2 malam. Lalu terkait kuota pendaki, yang dimana untuk kuota awal 30% menjadi 50% kuota pengunjung per hari dan jumlah total 50% adalah 250 pendaki per hari. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dari dampak ekonomi dan keberlansungan lingkungan, jika angka kunjungan tersebut ideal, maka akan sangat baik jika tetap dijaga dengan ketat dan dipublikasikan serta memberikan rekomendasi tata kelola kepada pengelola kawasan gunung lainnya di Indonesia agar semua memiliki arah kebijakan terhadap lingkungan dan kunjungan yang terkelola dengan baik. Menurut saya langkah dalam membatas jumlah kunjungan dengan jumlah yang ideal merupakan hal yang baik untuk dilakukan kedepannya. Banyak destinasi wisata lupa akan hal pengelolaan lingkungan dan hanya berfokus pada keuntungan ekonomi saja, padahal ada banyak faktor yang harus di perhatikan salah satunya adalah nilai eksternalitas dari dampak lingkungan suatu aktifitas wisata. Karena itu kita harus melihat bagaimana nilai eksternalitas dari suatu aktifitas kita. Seperti halnya rinjani di awal – awal memang mendapatkan jumlah kunjungan yang besar tapi nilai eksternalitasnya tidak di hitung dan akhirnya sampah sudah mencemari lingkungan dan berakhir melakukan pembersihan besar – besaran dan lainnya, yang dimana hal ini bisa dicegah dari awal dengan melakukan research terkait berapakah jumlah kunjungan yang ideal dan bagaimana pengelolaan sampah yang baik. Selain itu Covid – 19 sangat memberikan kita pembelajaran bahwa overtousim atau mass tourism tidaklah menjadi target yang ideal, karena jika melihat nilai eksternalitasnya banyak resiko yang didapat dari kegiatan wisata yang overtourism salah satunya penyebaran virus. Mengutip dari buku Bumi Yang Tak Dapat Dihuni karya David Wallace-Wells mengatakan bahwa banyak kemungkinan virus – virus lain berdatangan karena dampak dari pemanasan global, dan tentu virus saat ini sangat cepat menyebar karena besarnya arus globalisasi dan perjalanan wisata di dunia. Terlebih lagi penyakit atau virus yang ada sekarang mengalami evolusi lanjutan karena pemanasan global. Maka dari itu pengelolaan lingkungan tidak hanya dalam lingkup destinasi seperti kawasan Taman Nasional tapi juga Kabupaten, provinsi dan juga nasional. Contoh salah satu negara yang berhasil dalam melakukan pengelolaan jumlah kunjungan yang ideal tapi juga mendapatkan dampak ekonomi yang sesuai atau bisa dikatakan tinggi adalah negara Bhutan. Di Bhutan Wisatawan yang berkunjung diwajibkan menggunakan biro perjalanan dan wisatawan dikenai biaya minimum 200 dolar As (sekitar Rp 2,8 juta) per malam. Penggunaan biro perjalanan berhasil mengatur wisatawan individual dan dengan diterapkannya kebijakan “paket minimum harian”, Bhutan berhasil memaksimalkan pendapatan dari sektor pariwisata. walau jumlah kunjungan rendah, pendapatan yang dihasilkan justru meningkat, ditambah pengalaman yang dirasakan wisatawan menjadi lebih berkualitas. Dengan melihat contoh tersebut aturan terkait pengelolaan jumlah kunjungan harus dikaji dan diimplementasikan segera. Selain itu memperbaiki sudut pandang dan arah kebijakan dari berlomba – lomba memperbanyak jumlah kunjungan wisatawan agar tidak kalah dari negara tetangga, tapi memiliki sudut pandang pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan secara lingkungan dan juga ekonomi. Selain itu dengan jumlah kunjungan yang di batasi juga dapat meminimalisir terhadap dampak lingkungan yaitu konsumsi air yang dimana konsumsi di dominasi oleh wisatawan, jumlah sampah dan emisi yang di hasilkan dari kegiatan wisata. Serta meminimalisir masalah sosial yaitu dislokasi penduduk setempat, kekurangan lahan, kenaikan harga sewa dan barang yang juga berkaitan dengan SDG (Sustainable Development Goals). Referensi : Baiquni, M., 2013, Tantangan dan Strategi Pengembangan Pemberdayaan Destinasi Pariwisata, Konferensi Nasional Destination Management Organization. Gunungrinjani Nationalpark. (2020, 13 November). Peningkatan Kuota dan Penambahan Waktu Kunjungan Wisata Pendakian di Taman Nasional Gunung Rinjani. dari https://www.instagram.com/p/CHhearulUaF/ Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2021, 2 September). Statistik Wisatawan Mancanegara. dari https://kemenparekraf.go.id/statistik-wisatawan-mancanegara. Lombokpost.jawapos.com. (2020, 10 November). kuota pendakian ke gunung rinjani diusulkan naik 75 persen. Dari https://lombokpost.jawapos.com/ntb/10/11/2020/kuota-pendakian-ke-gunung-rinjani-diusulkan-naik-75-persen Rinjaninationalpark.id. (2021, 2 Februari). Pengunjung Taman Nasional Gunung Rinjani Tahun 2020. Dari https://www.rinjaninationalpark.id/detail/pengunjung-taman-nasional-gunung-rinjani-tahun-2020 Taiminen, Saara. 2018. The negative impacts of overtourism on tourism destination from environmental and socio-cultural perspectives. International Business. Travel.kompas.com. (2017, 4 Juni ). Bule Ini Mendaki 21 Gunung di Indonesia Dalam Sebulan. Dari https://travel.kompas.com/read/2017/06/04/031000827/bule.ini.mendaki.21.gunung.di.indonesia.dalam.sebulan?page=all Travel.kompas.com. (2020, 6 November). Pendakian Rinjani 2 hari 1 malam dirasa kaku ini tanggapan TNGR. Dari https://travel.kompas.com/read/2020/11/06/100100427/pendakian-rinjani-2-hari-1-malam-dirasa-kaku-ini-tanggapan-tngr?page=all Wells, David Wallace. 2019. Bumi Yang Tak Dapat Dihuni. Jakarta: PT. Gramedia.