fbpx

Internalisasi Soft Skills pada Sistem Pendidikan Indonesia menggunakan CoSki21 Framework

Fresh graduate menempati tingkat pengangguran terbesar di Indonesia. Data BPS menunjukkan sejak tahun 2021, rata-rata 31,39% angkatan kerja yang menganggur berada dalam kelompok usia 20-24 tahun. Bahkan hingga Februari 2024, jumlah tersebut meningkat hingga 35,92%. Para alumni perguruan tinggi sulit mencari pekerjaan utamanya disebabkan oleh ketidakcocokan keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan pasar kerja, atau biasa disebut mismatch.

 

Untuk menjawab kondisi tersebut, pemerintah telah bergerak mereformasi dunia pendidikan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkan Kurikulum Merdeka sebagai standar Pendidikan di seluruh Indonesia melalui Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 untuk menekankan pembelajaran berbasis kompetensi guna menghadapi tantangan di masa depan. Selain itu, Komite Cipta Kerja yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian juga telah meluncurkan Program Kartu Prakerja pada tahun 2020 dengan tujuan meningkatkan kompetensi angkatan kerja, meningkatkan produktivitas dan daya saing angkatan kerja, serta mengembangkan kewirausahaan melalui pelatihan kerja.

Akan tetapi, implementasi pelatihan tersebut masih jauh dari harapan. Data BPS tahun 2022 menyebutkan hanya 12% angkatan kerja yang pernah setidaknya satu kali mengambil pelatihan kerja. Fasilitas yang disediakan pemerintah tidak mendapatkan atensi dari angkatan kerja. Lalu, bagaimana?


Konsep Proyek CoSki21

Gap terbesar antara dunia pendidikan dan lapangan pekerjaan bukan berada pada kemampuan teknis. Gap terbesar justru bermuara pada apa yang kita sebut sebagai soft skills. Kamus Oxford mendefinisikan soft skills sebagai atribut personal yang memungkinkannya berinteraksi secara efektif dan harmonis dengan orang lain. Perkembangan teknologi maupun spesialisasi industri saat ini tidak hanya bergantung pada intelektual seseorang, tetapi lebih fokus pada kualitas tim. Keberhasilan sebuah tim tidak didasari oleh hard skills anggotanya, tetapi lebih kepada koordinasi antar anggotanya. Hal ini yang melatarbelakangi Universitat Politècnica de València (UPV), bekerja sama dengan Uni Eropa, melihat soft skills sebagai kemampuan utama setiap individu, yang disebut sebagai core skills. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mempertemukan core skills yang dibutuhkan perusahaan dengan pendidikan melalui Proyek CoSki21.

Proyek tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi merupakan unsur terpenting yang harus dimiliki individu. Selain itu, disusul oleh kreativitas/inovasi, problem solving, kerja sama, kepemimpinan, self-management, berpikir kritis dan analitis, serta etika. Setelah itu, UPV menciptakan sebuah kerangka untuk menyederhanakan mekanisme pembelajaran core skills yang disebut sebagai Taxonomy of Soft Skills.

 Implementasi Taxonomy of Soft Skills dalam Sistem Pendidikan Indonesia

Sistem Pendidikan Indonesia saat ini belum mengutamakan soft skills sebagai suatu materi khusus yang berdiri sendiri. Kurikulum Merdeka yang saat ini berlaku di Indonesia melebur pengajaran soft skills ke dalam setiap mata pelajaran yang ada. Secara rinci, capain setiap mata pelajaran di Kurikulum Merdeka tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 008/H/KR/2022 tentang Capaian Pembelajaran pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah pada Kurikulum Merdeka. Sama halnya dengan sistem pendidikan di perguruan tinggi, setiap universitas masih meleburkan soft skills dalam setiap kegiatan kemahasiswaan, seperti melalui seminar, kegiatan lapangan, maupun unit kegiatan mahasiswa. Selain hanya melebur soft skills ke dalam pembelajaran substansi, belum dipaparkan langkah-langkah konkrit ketika capaian soft skills tidak sesuai target. Kondisi ini sangat menuntut kesadaran yang sangat tinggi untuk memperbaiki kondisi setiap peserta didik.

Taxonomy of Soft Skills hadir sebagai silabus pembelajaran soft skills bagi siswa secara garis besar. Rancangan pembelajaran ini terbagi menjadi 5 (lima) tingkatan, yaitu: (i) personal self-improvement; (ii) personal relationships; (iii) personal interrelations: working with persons; (iv) leadership management; dan (v) personal branding. Kehadiran Taxonomy of Soft Skills dalam Sistem Pendidikan Indonesia merupakan salah satu langkah konkrit mewujudkan target 4.7 dari SDG keempat: Pendidikan berkualitas, yaitu memastikan pendidikan mengakomodir usaha untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan dan menjawab tantangan dari sistem pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang ada terkait kecekatan dalam beradaptasi mengikuti perkembangan zaman yang pada akhirnya meningkatkan Human Capital Index (HCI), khususnya terkait dengan pengetahuan dan keterampilan.

  1. Personal self-improvement – Semua berawal dari diri sendiri

Tingkatan pertama dari Taxonomy of Soft Skills adalah kemampuan untuk dapat berkomunikasi dengan diri sendiri. Level ini menitikberatkan pentingnya memahami dan mencintai diri sendiri sebagai sebuah pribadi melalui introspeksi diri. Soft skills yang termasuk dalam level ini adalah daya tahan, kreativitas, semua jenis pemikiran (seperti berpikir kritis dan terapan), keteraturan dan kualitas, berorientasi tujuan, inisiatif, dan tanggung jawab. Dalam penerapannya di Indonesia, personal self-improvement harus dimulai sedini mungkin sebagai gerbang pertama dari soft skills. Pembelajar efektif dapat dilakukan secara bertingkat sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Sebagai contoh, untuk kemampuan berpikir kritis, ketika SD dapat didorong untuk selalu mempertanyakan segala hal dengan 1 (satu) pertanyaan “kenapa” atau why. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, jumlah why yang ditanyakan semakin beranak, hingga target akhir ketika mahasiswa bisa mencapai 5 Whys Method, seperti yang dikemukakan oleh Sakichi Toyoda dalam mencari akar permasalahan dari suatu hal.

  1. Personal relationships – Pengertian satu sama lain

Setelah memantapkan komunikasi dengan diri sendiri, tingkatan selanjutnya adalah membangun relasi dengan orang lain secara pribadi. Level ini menitikberatkan pentingnya empati dan peduli, yang didukung dengan ketegasan, berorientasi sesama, dan komitmen. Setelah belajar mencintai diri sendiri, siswa akan diarahkan untuk mulai mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri. Fondasi untuk mencapai hubungan personal yang baik adalah mendengarkan. Untuk murid SD, dapat diawali dengan mendengarkan percakapan dari sebuah cerita atau buku, kemudian menceritakan kembali dengan bahasanya sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, dapat dilatih dengan mendengarkan percakapan substansi yang lebih kompleks dan meng-elevate jawaban dengan menyisipkan opini pribadi yang objektif. Dengan semakin dewasanya pemikiran dan semakin matangnya hubungan personal yang dimiliki, kedekatan dan toleransi akan semakin terbangun sehingga produktivitas meningkat pada akhirnya.

  1. Personal interrelations: working with people – Bersatu kita teguh

Level ini merupakan akumulasi dari tingkatan sebelumnya untuk membangun komunikasi dengan pribadi dalam jumlah yang banyak, atau dalam tim. Jika empati menjadi kunci utama di tingkatan kedua, maka akumulasi untuk mengakomodir empati kepada banyak individu dalam waktu yang bersamaan membutuhkan kemampuan fleksibilitas dan manajemen perubahan sehingga dapat menghasilkan kerja sama antar anggota tim yang baik. Sejak dini, peserta didik dapat dibekali sikap saling menghormati antar anggota tim, mulai dari pembagian kewajiban hingga penyampaian hasil kerja. Memiliki pandangan bahwa setiap personal unik dan setara sangat diutamakan agar tidak terjadi ketidakadilan dalam tim yang merugikan unsur tertentu. Perkembangan kurikulum dapat dilakukan dengan meningkatkan kompleksitas masalah yang harus dipecahkan serta mengikutsertakan unsur hambatan dalam tim, seperti keterbatasan waktu atau ketidaktersediaan informasi.

  1. Leadership management – Berorientasi tujuan

Tingkat ini adalah yang tertinggi dari seluruh soft skill yang dipelajari. Setelah memahami diri sendiri dan rekan setim, pada level ini peserta didik dituntut untuk mencapai target tertentu atas suatu hal. Disinilah jiwa kepemimpinan diasah. Kemampuan perencanaan, manajemen, pengambilan keputusan, dan evaluasi menjadi pilar utama yang akan membentuk peserta didik menjadi pemimpin di akhir pendidikan yang siap terjun ke masyarakat. Sejak SD, siswa diajak untuk dapat membiasakan hal yang benar, bukan membenarkan kebiasaan. Memegang teguh kebenaran akan menjadikan siswa seorang pemimpin dimanapun ia berada. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, kepemimpinan yang diajarkan harus semakin realistis dengan keadaan masyarakat dan lingkungan sekitar.

  1. Personal branding – Suarakan kepada dunia

Level ini merupakan pendukung dari seluruh tingkatan yang ada. Kemampuan yang dipelajari adalah membangun relasi dengan orang asing, yang sama sekali tidak ada hubungan sebelumnya. Caranya melalui menunjukkan siapa jati diri kepada media sosial dalam konteks positif, bisa melalui hasil pembelajaran yang diperoleh, prestasi ketika bersekolah, ataupun forum diskusi untuk bertukar pendapat. Branding harus dapat dibedakan dengan “pamer”. Pengetahuan dasar yang perlu dimiliki adalah tahu apa yang boleh dan tidak boleh disebarkan di media tertentu dengan tujuan tertentu, karena beda media bisa saja beda peruntukkannya. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, harapannya personal branding yang dilakukan semakin vertikal, tidak hanya horizontal.


Tenaga kerja bintang 5 sangat mungkin dibentuk. Pendidikan soft skills sejak dini pada akhirnya meningkatkan kualitas SDM atau pasokan tenaga kerja. Beberapa hasil studi menunjukkan korelasi positif antara peningkatan soft skills terhadap produktivitas, seperti yang dilakukan oleh Rio atau maupun Emily dan Karol. Efek dominonya, tingkat produksi akan bertumbuh seiring dengan peningkatan produktivitas, melalui Fungsi Produksi Cobb Douglass yang melihat tenaga kerja sebagai salah satu modal (input) untuk menghasilkan suatu produk (output). Peningkatan produksi tersebut pada akhirnya menggerakan perekonomian dan mengakibatkan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Implementasi CoSki21 dalam Sistem Pendidikan Indonesia menjadi jawaban untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dari akarnya, yakni sejak pendidikan dasar. Pemerintah perlu memformulasikan dan menitikberatkan kurikulum tidak hanya pada hard skills, tetapi juga soft skills. Kemampuan tersebut tidak boleh lagi dicampur aduk atau dianggap pelengkap dalam proses pembelajaran. Keseriusan tersebut juga akan berdampak pada perubahan cara mengajar guru, sarana dan prasarana pendukung, serta kebijakan instansi dalam merancang silabus pembelajaran. Yang paling penting, peserta didik harus selalu mengosongkan gelasnya untuk terus belajar karena pendekatan mempelajari soft skills berbeda dengan akademik.