Frumen Arwan 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Kamis, 17 Desember 1903, cuaca dingin dan mendung menyelimuti North Carolina, Amerika Serikat. Sekitar pukul 10:35 pagi hari itu, Wright bersaudara menerbangkan pesawat pertama mereka sejauh empat mil di wilayah bukit pasir Kitty Hawk, North Carolina. Pesawat yang diberi nama Wright Flyer itu melayang selama 12 detik sebelum kembali mendarat setelah mencapai ketinggian 37 meter. Itulah penerbangan pesawat pertama dalam sejarah. Kisah ini bukanlah dongeng. Ini adalah sebuah keajaiban. Kejeniusan tiada tara. Tahun 1903, tidak ada orang yang bermimpi tentang penerbangan manusia, kecuali Wright bersaudara. Betapa luar biasanya mereka membayangkan bagaimana pesawat akan bergerak di udara dan membuatnya dapat terbang. Tapi di balik itu semua, kisah ini menandai pentingnya imajinasi bagi manusia. Sayangnya, hari-hari ini imajinasi itu rupanya sedang mati. Terutama di sekolah-sekolah, meminjam istilah Nietzsche: “Fantasie ist tot! Die Fantasie bleibt tot! Und wir haben ihn getötet!” [Imajinasi sudah mati! Imajinasi tetap mati! Dan kita membunuhnya!] Lantas, apa yang membunuh imajinasi itu? Henry Barthes, seorang guru sekolah menengah dalam film Detachment (2011) mengatakan: “Bagaimana Anda bisa membayangkan sesuatu jika gambarnya selalu disediakan untuk Anda?” Inilah pokok masalahnya. Dalam sistem pendidikan kita, kemampuan berimajinasi mati karena siswa selalu diberikan informasi dan gambar yang telah jadi dalam bentuk buku teks, presentasi, dan materi pembelajaran yang sudah terstruktur dan matang. Akibatnya, siswa kurang terdorong untuk berpikir sendiri. Melalui tulisan ini penulis ingin menawarkan suatu model pembelajaran alternatif, yakni Model Pembelajaran Eksperiensial (Experiential Learning) berbasis Paradigma Pedagogi Ignatian (PPI)[1], yang mengarahkan siswa untuk mengembangkan imajinasinya dengan membayangkan, mengeksplorasi, dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Penulis mengambil contoh penerapan model pembelajaran ini dalam kegiatan Jambore Kelas X SMA Kanisius Jakarta yang diselenggarakan pada 16-19 April 2024 di Telaga Menjer, Wonosobo, Jawa Tengah. Model pembelajaran ini diharapkan bisa membangkitkan kembali imajinasi yang telah mati di ruang-ruang kelas itu. Imajinasi Telah Mati? Sepanjang peradaban manusia, imajinasi telah menjadi kemampuan yang membuatnya unggul dari spesies-spesies lain di muka bumi. Dengan imajinasinya manusia dapat bercerita dengan hebat, menggambarkan masa depan, membayangkan masa lalu, merenungkan berbagai persoalan moral, sampai pada menciptakan berbagai solusi untuk masalah yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Imajinasi tidak hanya menghasilkan fiksi dan buku anak-anak, tetapi juga tentang cara baru menjalani hidup. Imajinasi bahkan menantang norma, mendorong batasan, dan membantunya maju. Dalam konteks pendidikan, imajinasi memungkinkan siswa untuk berpikir di luar batasan yang ada, mengembangkan solusi kreatif, dan berinovasi. Imajinasi mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan, menjelajah kemungkinan baru, dan memahami materi pembelajaran secara lebih mendalam. Tanpa imajinasi, pembelajaran menjadi proses yang pasif, di mana siswa hanya menerima dan mengulang informasi tanpa pemahaman yang mendalam. Sayangnya, imajinasi telah banyak dikesampingkan di ruang-ruang kelas. Dalam sistem pendidikan kita, ada kecenderungan untuk memberikan informasi dan gambar yang telah jadi kepada siswa. Buku teks, presentasi, dan materi pembelajaran sering kali menyajikan konsep-konsep dalam bentuk yang sudah terstruktur dan matang. Meskipun pendekatan ini dapat membantu dalam menyampaikan informasi dengan efisien, hal ini juga dapat membatasi kemampuan siswa untuk berimajinasi. Ketika siswa selalu diberikan gambar dan konsep yang telah jadi, mereka kurang terdorong untuk membayangkan, mengeksplorasi, dan menginterpretasikan informasi tersebut dengan cara mereka sendiri. Kondisi di atas diperparah dengan tingginya tingkat ketergantungan siswa terhadap internet. Ketergantungan yang tinggi terhadap internet membuat siswa terjebak dalam arus informasi yang terlalu banyak, yang dapat membatasi waktu dan kesempatan mereka untuk berpikir kritis dan berimajinasi. Konsumsi informasi secara pasif tanpa proses refleksi dapat menghambat kreativitas. Selain itu, dengan akses mudah ke jawaban dan solusi di internet, siswa menjadi terlalu bergantung pada informasi yang sudah tersedia dan kurang berusaha untuk menemukan atau menciptakan solusi sendiri. Ini dapat mengurangi kesempatan untuk melatih dan mengembangkan imajinasi. Membangkitkan Imajinasi Melalui PPI Model Pembelajaran Eksperiensial (Experiential Learning) berbasis PPI menawarkan jalan membangkitkan kembali imajinasi dalam proses belajar siswa. Penulis mengambil contoh penerapan model pembelajaran ini dalam kegiatan Jambore Kelas X SMA Kanisius Jakarta yang diselenggarakan pada 16-19 April 2024 di Telaga Menjer, Wonosobo, Jawa Tengah. PPI adalah pendekatan pendidikan yang dikembangkan oleh Serikat Yesuit berdasarkan ajaran Ignatius Loyola. Pendekatan ini berfokus pada pengembangan seluruh aspek pribadi siswa—kognitif, emosional, dan spiritual. PPI terdiri dari lima elemen utama, yaitu konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi. Paradigma ini mendorong siswa untuk memahami lingkungan mereka mereka (konteks), terlibat secara aktif dalam proses belajar (pengalaman), merenungkan apa yang telah dipelajari (refleksi), menerapkan pengetahuan dalam tindakan nyata (aksi), dan menilai perkembangan serta hasil belajar mereka (evaluasi). Mari kita melihat penerapan PPI ini dalam kegiatan Jambore Kelas X SMA Kanisius Jakarta. PPI dimulai dengan konteks. Dalam konteks kegiatan jambore, agar pengalaman-pengalaman siswa menjadi sebuah pengalaman yang berbuah dan produktif, guru perlu membiarkan pengalaman tersebut dibentuk dan didorong oleh kekhasan dan kompleksitas para siswa, dengan mempertimbangkan latar belakang dan keterampilan mereka, ruang dan waktu yang sedang mereka tempati, serta kondisi sosio-geo-politik di tempat mereka melaksanakan kegiatan jambore, yang mempunyai relevansi bagi pengajaran dan pembelajaran siswa. Konteks siswa akan terus berkembang dan oleh karena itu konteks tersebut harus terus dipertimbangkan. Siswa yang bersekolah di Jakarta menghadapi berbagai konteks dan latar belakang yang unik dibandingkan dengan siswa di daerah lain. Jakarta, sebagai ibu kota Indonesia, merupakan pusat kegiatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang sangat dinamis. Mereka juga berasal dari berbagai suku, agama, dan latar belakang ekonomi yang berbeda, sehingga mereka terbiasa dengan keragaman dan pluralitas dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, konteks Wonosobo sebagai lokasi jambore juga harus dipertimbangkan, terutama berkaitan dengan situasi sosio-geo-politiknya. Pemahaman mengenai konteks ini penting karena membantu guru memahami latar belakang dan kebutuhan siswa, dan menyesuaikan strategi pengajaran mereka sesuai dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi siswa. Bagi siswa sendiri ketika materi pembelajaran dikaitkan dengan pengalaman pribadi dan lingkungan siswa, mereka cenderung lebih terlibat dan termotivasi. Bagian selanjutnya adalah pengalaman atau mengalami. Di sini para siswa dilibatkan secara langsung dalam berbagai pengalaman dengan menggunakan seluruh indranya. Dalam kegiatan jambore ini mereka melakukan berbagai kegiatan, seperti tinggal dan berdinamika bersama warga masyarakat setempat, mengadakan kegiatan jelajah alam, berdinamika dalam games bersama kelompok, dan sebagainya. Setelah pengalaman berakhir, siswa kemudian terlibat dalam proses refleksi. Para siswa diminta untuk melakukan refleksi atas pengalaman dan semua reaksi yang ditimbulkannya selama jambore. Melalui proses refleksi siswa diharapkan mampu mengidentifikasi dan memahami makna serta implikasi dari pengalaman-pengalaman yang mereka alami, mengaitkan pengetahuan baru dengan nilai-nilai pribadi mereka, meningkatkan kesadaran diri tentang bagaimana pengalaman jambore memengaruhi pandangan mereka tentang diri sendiri dan dunia sekitar, dan memotivasi mereka untuk mengambil tindakan nyata yang positif berdasarkan pemahaman dan nilai yang mereka peroleh. Tahap selanjutnya adalah aksi. Refleksi yang telah dilakukan dimaksudkan untuk mengarah pada tindakan. Secara khusus, diharapkan bahwa pengalaman selama jambore akan mengarahkan siswa untuk mengambil tindakan, besar dan kecil, untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang, dan khususnya mereka yang paling membutuhkan. Dalam jambore kali ini, sebagai bentuk aksi setelah mengikuti kegiatan jambore siswa diminta membuat video dokumenter, film pendek, lagu, video klip, podcast, produk dari bahan alam, art work, maket, komik, dsb., yang bisa menggambarkan hubungan mereka dengan alam dan bagaimana mereka memandang alam itu sendiri. Tahap paling akhir adalah evaluasi, di mana para siswa saling memberikan masukan mengenai masing-maasing produk yang mereka buat. Selain itu, penting untuk juga melihat hubungan antara guru (teacher), pelajar (learner) dan kebenaran (truth) dalam PPI. Diagram di atas menggambarkan hubungan itu. Dalam hubungan ini, peran utama guru adalah memfasilitasi tumbuhnya hubungan pelajar dengan kebenaran. Kebenaran yang dimaksud di sini adalah mengenai mata pelajaran yang dipelajari di bawah bimbingan guru. Akan tetapi, yang khas dalam hubungan ini adalah bahwa guru tidak berperan sebagai pengajar yang serba tahu, yang kemudian dengan kemahatahuannya itu memberikan ilmunya kepada siswa. Tugas guru di sini adalah menciptakan kondisi, meletakan landasan dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk terus-menerus berinteraksi dari pengalamannya, refleksi dan tindakan yang terjadi. Dengan model hubungan ini, guru dituntut untuk menjadi fasilitator yang mendukung eksplorasi dan kreativitas siswa sehingga terciptalah keseimbangan antara pemberian informasi dan ruang bagi siswa untuk berimajinasi dan berpikir kritis. Imajinasi Tidak Mati! Kita Membangkitkannya! Melalui pendekatan holistik ini, PPI tidak hanya mengembangkan aspek kognitif siswa, tetapi juga menumbuhkan kemampuan imajinatif yang esensial dalam menghadapi tantangan dan kompleksitas dunia modern. Jika kita mendorong siswa yang pandai dalam matematika untuk menjadi imajinatif, mereka pasti bisa menggunakan algoritma untuk menciptakan berbagai penemuan baru. Jika kita mendorong siswa yang pandai dalam biologi untuk berimajinasi, mereka pasti bisa mengembangkan sumber bahan bakar baru yang berkelanjutan. Jika kita mendorong siswa yang mahir ekonomi untuk berpikir imajinatif, mereka pasti bisa menciptakan model bisnis baru yang ramah masyarakat. Kemampuan-kemampuan brilian itu sudah ada pada siswa, tugas guru adalah membantu memaksimalkannya. Itulah pentingnya kemampuan berimajinasi itu. Semoga saja ia tidak mati di ruang-ruang kelas, juga di masyarakat, juga di negara kita. Daftar Pustaka Jesuit Institute. Ignatian Pedagogy: An abridged version of the document on teaching and learning in a Jesuit school. London: Jesuit Institute, 2014. Mauri, A.J., Figueiredo, J.D., & Rashford, N.S. “Ignatian Pedagogy in the Strategy Classroom: Experience, Reflection and Action Towards Better Managerial Decisions”, dalam Journal of Jesuits Business Education, 6 (1), (2015): 77-100. Storm, Roger, dkk. Learning to Fly: The Wright Brothers’ Adventure. Ohio: NASA, 2003. [1] Selanjutnya disingkat PPI.