dawud Bachtiar Amil BAZNAS RI 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Hasan tutupoho Sekolah Cendekia BAZNAS pengabdi Pendidikan Muhammad Hasan Tutupoho, pria kelahiran kota Manise (Ambon) di timur waktu Indonesia itu banyak makan asam garam pengabdian dalam pendidikan. Di ujung barat hingga timur Indonesia pernah ia singgahi untuk misi luruhnya ikut mencerdaskan bangsa. Hasan- sapaan akrabnya, sedari kuliah sudah menampakan jiwa sosial dan aktivisnya, berkutat di BEM Fakultas Hukum dan Universitas Pattimura, terjun dakwah di LDK dan FSLDK Nasional, founder Forum Merah Putih serta banyak lagi aktivitas diluar kelas yang ia jalani untuk mengasah kemampuan dan menyalurkan visinya yakni perubahan untuk masyarakat berkemajuan. Perjalanan panjang dalam kancah masyarkat ia awali ketika mulai bergabung di Sekolah Guru Indonesia yang diadakan oleh salah satu lembaga filantropi. Hasan terbang jauh dari Ambon menuju Jawa tepatnya Bogor untuk mendapatkan pelatihan menjadi guru dan pengembang pendidikan di daerah tertinggal. Setelah tuntas menyelami pelatihan selama 6 bulan secara intensif ia dikirim untuk mengembangkan masyarakat di Lebak, Banten. “Saya ingin mengabdikan diri untuk pendidikan masyarakat tertinggal, inilah alasan saya terbang dari Ambon ke berbagai titik pengabdian”. Ungkapnya. Setahun mengabdi di Banten membuat keluh kesah masyarakat jelas terlihat olehnya. Satu pulau dengan ibu kota namun wajah tertinggal nyata terasa disana. Tepatnya 2012, Hasan masih melihat anak sekolah tak bersepatu, ruang kelas jauh dari kata layak, lusuh baju para siswa dan berbagai macam fasilitas yang kurang lekat adanya. “’Saya ingin menjadi seperti kakak’, kalimat itulah yang selalu menjadi motivasi saya bahwa saya harus berperan untuk kesuksesan anak-anak disana. Mereka memiliki semangat yang luar biasa dalam belajar” ungkapnya. Setelah program pengabdian di Lebak Banten usai, Hasan melanjutkan program untuk menjadi supervisi pendidikan dan guru teladan di Papua, tepatnya di Biak. Setahun lebih dirinya bersama guru asli dari Papua mengembangkan pendidikan dalam bungkus program Cemerlang Indonesiaku. “Saya cinta akan pendidikan, harus ada yang saya berikan untuk kemajuan pendidikan di negeri ini. Meski itu sedikit” 18 bulan di Papua mengajar dan memberikan training kepada guru disana membuat ia semakin tertantang dan ingin terus berbuat lebih dalam pendidikan, hingga di tahun 2015 ia memutuskan untuk menjadi fasilitator program School For Refugees di Langsa Nangroe Aceh Darussalam (NAD). School For Refugees merupakan sebuah program pendidikan untuk para pengungsi dari Rohingnya dan Bangladesh, Hasan bersama fasilitator dari berbagai negara mengembangkan model pendidikan yang terbaik untuk anak-anak di pengungsian. Selesai di NAD, pria kelahiran tahun 1986 tersebut terus melanjutkan jejak pengabdiannya, Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat menjadi titik perjalan selanjutnya. Berdakwah serta mengembangkan ekonomi dan pendidikan masyarakat menjadi tugasnya kali ini. “Berbaur bersama masyarakat dan memecahkan masalah yang ada disana menjadi tugas saya. Disana kami berhasil bersama membangun dramaga pertama swadaya masyarakat. Selain itu spiritual juga kami tingkatkan. Kita dakwah di perahu sambil memancing bersama masyarakat, dakwah sambil ke hutan bersama mereka dan dalam setiap aktivitas masyarakat”. Jelas Hasan. Setelah malang melintang dalam dunia pengabdian, di tahun 2017 hingga sekarang dirinya mantap mengabdikan diri di Sekolah Cendekia BAZNAS. Asam garam perjuangan dahulu ia curahkan untuk diteruskan di sekolah yang mendidik siswa dari 25 provinsi tersebut. “Saya berharap nantinya siswa ini dapat menjadi penyambung kembali pengabdian masyarakat khususnya dalam pendidikan di daerah masing-masing. Ini menjadi jalan alternatif lain bagi saya untuk terus bisa berkontribusi dalam pendidikan di seluruh Indonesia.”