fbpx

Carbon emissions, who to blame?

Globally, the rise of greenhouse gasses (GHG) emissions has affected the Earth’s rise in temperatures which unequivocally caused global warming. Many of us may wonder if the steep increase of GHG are usually caused by manufacture and industry sectors, but do you know that based on Climate Watch (2023) data, it showed that in the last 10 years (2013-2020) the main factor of GHG emissions in Indonesia caused by land-use change and forestry?

How do we link the land-use change and forestry factors in contributing to the rise of GHG emissions?

As the population escalates, so does the land demand in fulfilling the spatial needs for human settlements, commercial uses, and agriculture. The massive expansion of land demand caused an aggressive land-use change which is often depicted as the shifting of forest and other protected areas to be a built-up area to support human activities. This thrives pressure on forests and other natural habitats, closely related to deforestation and impacts the GHG emissions, biodiversity and the ecosystem. Based on (Minkkinen and Laine, 1998),  when forests are cleared for conversion to agriculture, a very large proportion of the aboveground biomass may be burned, releasing most of its carbon rapidly into the atmosphere. Deforestation releases carbon stored in soil and trees and removes carbon sinks at the same time.

Land changes that disrupt the balance of biodiversity will also cause a number of flora and fauna to lose their natural habitat. CO2 emissions to the atmosphere and carbon uptake by vegetation and soils are known as carbon fluxes. The balance between all of these fluxes determines whether the land is a net “source” of carbon or a net “sink”.

In Indonesia, the huge rise of carbon emission predominantly emerged in the 1980s while massive deforestation occurred to expand oil palm plantations and cropland. This was followed by several large emissions peaks starting in the late 1990s, caused by widespread peat fires used – on top of drainage – to convert peatlands into agricultural land. (Pearson)

Forestry sector policies and implementation will continue to be strengthened and improved in line with developments in forestry sector challenges and the impact of climate change. As part of the implementation of the nationally determined contribution (NDC), the Forest and Other Land Use (FOLU) sector is believed to be Indonesia’s primary sector in efforts to reduce greenhouse gas emissions. By strengthening policies, steps as well as implementation and evaluation in the forestry sector, the Government of the Republic of Indonesia has established a policy to reduce greenhouse gas emissions to control climate change with the National program “Indonesia’s FOLU Net Sink 2030” as stipulated in Presidential Regulation Number 98 In 2021, which has achieved net zero emissions in the forestry and land sector by 2030.

Indonesia set a target of 29% emission reduction through its own efforts and of 41% with international support. FOLU Net Sink 2030 outlines the following mitigation actions: Reducing deforestation rate on dry land forest ecosystems (mineral soil forests); Reducing deforestation rate on peatland and mangrove ecosystems; Establishing plantation forests; Managing forests in sustainable manners; Rehabilitating degraded land with rotation; Rehabilitating degraded land without rotation; Restoring peatlands and improving peat water management; Implementing mangrove rehabilitation and afforestation within post-mining areas. 

The article above is one of the national strategies carried out to reduce greenhouse gas emissions in the long term.

As an individual, how can we reduce GHG emissions?

In the graph above, one of the three largest sectors contributing to greenhouse gas emissions is agricultural activities. Based on U.S. Department of Agriculture, agricultural waste also exacerbates the climate change crisis with its significant greenhouse gas (GHG) footprint. Production, transportation, and handling of agric generate significant Carbon Dioxide (CO2) emissions and when food ends up in landfills, it generates methane, an even more potent greenhouse gas. The linking factor between food loss and waste (FLW) and climate change is increasingly recognized as important and so is the connection between climate change and agriculture and supply chain resiliency. We are increasingly seeing how extreme weather events are disruptive to both agriculture and supply chain resiliency.

Thus, through the SDG Leadership Program Batch 5 which focused on Circular Economy for SDG 12, we, as Technology 1 Team, are trying to provide a solution in handling agricultural waste in Indonesia through renewable energy called Econella Project. The project we are undertaking is utilizing lemongrass and clove waste in Pinrang Regency, South Sulawesi which will be used to make bio additive oil for decarbonization and fuel savings. Through this project, citronella and clove waste which have a low selling value or are even thrown away and combusted, can be an addition to farmers’ income by increasing the selling value of the processed waste. The concept adopted for this project is socio-preneur for business sustainability for farmer partners. Through collaboration with various private sectors, academics and government, citronella and clove waste processing implements renewable technology with the following scheme.

This project is expected to:  

  1. Reducing the generation of Greenhouse-Gases due to combustion of clove and lemongrass harvest waste as well as air pollution due to the use of non-renewable fuels 
  2. Reducing fuel costs for farmers to increase agricultural productivity 
  3. Increasing farmers’ income and capacity through renewable technology for processing agricultural waste 
  4. Optimizing engine performance and decarbonizing emissions which can reduce emissions such as carbon dioxide, sulfur dioxide and nitrogen monoxide from engine combustion

This project includes several principles in a circular economy that prioritize the use of renewable inputs, extending product life, and recovering waste produced. The circular economy points brought by the Econella project include reducing Greenhouse Gases (GHG) emissions, reducing waste, retaining materials in the production cycle for as long as possible and at the highest possible value, and focusing on renewable natural resources. By creating several circular economy activities, this project not only contributes to SDG Target 12: Responsible Consumption and Production, but also contributes to SDG Target 7: Clean and Affordable Energy and SDG 13: Climate Change.

 


Secara global, emisi gas rumah kaca semakin bertambah yang menyebabkan suhu bumi terus meningkat dan berdampak pada pemanasan global atau global warming. Mungkin banyak dari kita yang menerka bahwa emisi gas rumah kaca banyak dihasilkan dari kegiatan manufaktur dan industri, namun tahukah kamu, menurut data dari Climate Watch (2023) menunjukkan bahwa total emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir (2013-2020) berasal dari perubahan guna lahan dan penggundulan hutan atau deforestasi?

Apa keterkaitan antara emisi gas rumah kaca dengan perubahan guna lahan dan deforestasi?

Seiring dengan meningkatnya populasi, kebutuhan akan lahan juga akan semakin meningkat mengingat bertambahnya ruang untuk aktivitas manusia, seperti peruntukan permukiman, komersil, maupun pertanian. Peningkatan pemanfaatan lahan yang masif mendorong adanya perubahan guna lahan dan salah satunya adalah pergeseran kawasan hutan dan kawasan lindung lainnya menjadi kawasan terbangun untuk menyokong aktivitas manusia. Perubahan guna lahan sangat erat kaitannya dengan deforestasi, dimana hal inilah yang mengganggu keseimbangan biodiversitas dan ekosistem yang menyebabkan kenaikan emisi gas rumah kaca. Menurut (Minkkinen and Laine, 1998), saat hutan dikonversi menjadi pertanian, sebagian besar biomassa di permukaan tanah akan terbakar sehingga melepaskan sebagian besar karbon ke atmosfer secara cepat. Deforestasi melepaskan karbon yang tersimpan dalam tanah dan pohon serta menghilangkan penyerap karbon dalam waktu yang bersamaan. 

Perubahan lahan yang menyebabkan terganggunya keseimbangan biodiversitas juga akan menyebabkan sejumlah flora dan fauna kehilangan habitat aslinya. Emisi CO2 ke atmosfer dan serapan karbon oleh tumbuh-tumbuhan dan tanah dikenal sebagai fluks karbon. Keseimbangan antara semua perubahan ini menentukan apakah lahan merupakan “sumber” karbon atau “penyerap” karbon.

Di Indonesia, peningkatan emisi karbon yang pesat terjadi pada tahun 1980an saat terjadi deforestasi besar-besaran untuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan lahan pertanian. Hal ini diikuti dengan peningkatan emisi besar-besaran sampai dengan tahun 1990an yang disebabkan karena meluasnya kebakaran lahan gambut yang dilakukan dalam rangka perubahan tata guna lahan menjadi lahan pertanian. (Pearson)

Kebijakan dan implementasi sektor kehutanan akan terus dimantapkan dan ditingkatkan sejalan dengan perkembangan tantangan sektor kehutanan dan dampak perubahan iklim. Sebagai bagian dari implementasi nationally determined contribution (NDC), sektor Forest and Other Land Use (FOLU) atau sektor kehutanan dan lahan, diyakini menjadi sektor andalan Indonesia di dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Dengan pemantapan kebijakan, langkah serta implementasi dan evaluasi bidang-bidang sektor kehutanan, maka Pemerintah RI telah menetapkan kebijakan dalam rangka pengurangan emisi Gas Rumah Kaca untuk mengendalikan perubahan iklim dengan program Nasional “Indonesia’s FOLU Net Sink 2030” sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, yang sudah mencapai net zero emission sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030. (“FOLU NET SINK”).

Indonesia akan menerapkan penurunan emisi melalui dua tahapan yaitu 29% melalui usaha sendiri dan 41% melalui asistensi internasional. Kegiatan mitigasi yang akan dilakukan hingga 2030 antara lain: mencegah deforestasi lahan mineral, mencegah deforestasi lahan gambut, mencegah degradasi hutan konsesi, pengelolaan hutan lestari, perizinan berusaha pemanfaatan hutan tanaman industri, rehabilitasi hutan tanpa rotasi, rehabilitasi hutan lahan dengan rotasi, pengelolaan tata air gambut, restorasi gambut, integrasi ternak, perkebunan dan kehutanan. 

Artikel diatas adalah salah satu strategi nasional yang dilakukan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca untuk jangka panjang.

Lalu, sebagai individu, apakah yang bisa kita lakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca?

Pada grafik diatas, tiga sektor terbesar penyumbang emisi gas rumah kaca salah satunya adalah dari aktivitas pertanian. Menurut U.S Department of Agriculture, limbah pertanian dapat menyebabkan perubahan iklim akibat dari jejak gas rumah kaca (GHG footprints). Produksi, transportasi, dan penanganan pangan menghasilkan emisi Karbon Dioksida (CO2) yang signifikan dan ketika makanan berakhir di tempat pembuangan sampah, hal tersebut menghasilkan metana, gas rumah kaca yang bahkan lebih kuat. Hubungan antara hilangnya dan terbuangnya pangan dengan perubahan iklim semakin diakui sebagai hal yang penting, demikian pula hubungan antara perubahan iklim dan pertanian serta ketahanan rantai pasokan. Kita semakin sering melihat betapa peristiwa cuaca ekstrem mengganggu ketahanan pertanian dan rantai pasokan. (Buzby)

Dengan demikian, melalui SDG Leadership Program Angkatan 5 yang menangkat tema Ekonomi Sirkular untuk SDG 12 yaitu konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, kami selaku Tim Teknologi 1 mencoba memberikan solusi untuk penanganan limbah pertanian di Indonesia melalui energi terbarukan yang bernama Project Econella. Project yang kami angkat yaitu pengolahan limbah sereh dan cengkeh di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan yang akan dimanfaatkan menjadi minyak bioaditif untuk dekarbonisasi dan penghematan bahan bakar. 

Melalui project ini, limbah sereh dan cengkeh yang memiliki nilai jual rendah atau bahkan dibuang dan dibakar begitu saja, bisa menjadi salah satu penambahan penghasilan petani melalui peningkatan nilai jual limbah yang telah diolah. Konsep yang diadopsi untuk project ini adalah sociopreneur untuk keberlanjutan usaha kepada mitra petani. Melalui kerjasama dengan berbagai pihak swasta, akademisi dan pemerintah, pengolahan limbah sereh dan cengkeh mengimplementasikan teknologi terbarukan dengan skema sebagai berikut. 

Project ini diharapkan dapat: 

  1. Mengurangi timbulan Gas Rumah Kaca akibat pembakaran limbah sisa panen cengkeh dan sereh serta polusi udara akibat penggunaan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan 
  2. Menekan biaya pengeluaran penggunaan BBM untuk petani sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian 
  3. Meningkatkan pendapatan dan kapasitas petani melalui teknologi terbarukan untuk pengolahan limbah hasil pertanian 
  4. Mengoptimalkan performa mesin serta dekarbonisasi emisi yang dapat mereduksi emisi seperti karbon dioksida, sulfur dioksida, dan nitrogen monoksida dari pembakaran mesin 

Project ini mencakup prinsip-prinsip dalam ekonomi sirkular yang memprioritaskan penggunaan input terbarukan, memperpanjang usia pakai produk, serta melakukan pemulihan produk samping dan limbah yang dihasilkan. Poin ekonomi sirkular yang dibawa oleh program Econella meliputi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca, mengurangi limbah, mempertahankan material dalam siklus produksi selama mungkin dan nilai setinggi mungkin, serta fokus kepada sumber daya alam terbarukan. Dengan terciptanya beberapa kegiatan ekonomi sirkular, project ini tidak hanya berkontribusi pada Target SDG 12: Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab, namun juga berkontribusi pada Target SDG 7: Energi Bersih dan Terjangkau dan SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim.

  

Citations:
Boyle, Rob, and Muhammad Sharif. “Understanding Land Use, Land-Use Change And Forestry (LULUCF).” Emission Index, 12 December 2023, https://www.emission-index.com/climate-change/land-use-change-forestry-impacts. Accessed 17 February 2024.
Buzby, Jean. “Food Waste and its Links to Greenhouse Gases and Climate Change.” USDA, 24 January 2022, https://www.usda.gov/media/blog/2022/01/24/food-waste-and-its-links-greenhouse-gases-and-climate-change. Accessed 17 February 2024.
Douglas, Leah. “How food and agriculture contribute to climate change.” Reuters, 2 December 2023, https://www.reuters.com/business/environment/factbox-how-food-agriculture-contribute-climate-change-2023-12-02/. Accessed 17 February 2024.
“FOLU NET SINK.” Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, https://www.menlhk.go.id/program/folu-net-sink/. Accessed 17 February 2024.
“Land Use, Land-Use Change and Forestry.” Land Use, Land-Use Change and Forestry, https://archive.ipcc.ch/ipccreports/sres/land_use/index.php?idp=33. Accessed 17 February 2024.
Pearson, Tom. “Guest post: How land use drives CO2 emissions around the world.” Carbon Brief, 25 April 2023, https://www.carbonbrief.org/guest-post-how-land-use-drives-co2-emissions-around-the-world/. Accessed 17 February 2024.
Yrjälä, Kim, et al. “Agricultural waste streams as resource in circular economy for biochar production towards carbon neutrality.” Environmental Science & Health, vol. 26, 2022, https://doi.org/10.1016/j.coesh.2022.100339.