Teti Kristiajiningsih Mahasiswa 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More Sudah berapa kali kita mendengar berita kekerasan seksual? Sudah berapa banyak korban diantaranya adalah kaum perempuan? Mari kita lihat kebelakang, beberapa cerita tentang korban. Pertama, tentu kita masih ingat bagaimana kasus mahasiswi Universitas Brawijaya yang meregang nyawa di dekat makam ayahnya. Dia adalah Novia Widyasari. Namanya sempat menjadi perbincangan begitu banyak orang karena kisahnya yang menyayat hati. Novia ditemukan meninggal bunuh diri setelah masa sulit yang dia lalui. Dia adalah korban dari kita semua yang tuli. Jauh sebelum dirinya tinggal nama, Novia begitu keras memperjuangkan hidupnya. Setelah menjadi korban eksploitasi seksual, dipaksa aborsi, dan diacuhkan sana-sini, akhirnya Novia menyerah pada situasi. Selanjutnya mengenai kasus pencabulan santri. Dua hari lalu, kasus ini menjadi perbincangan dan menambah daftar baru kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Pimpinan pondok pesantren diketahui melakukan tindak pencabulan terhadap belasan santri. Fakta menyedihkan lainnya, ada sembilan bayi yang dilahirkan dan beberapa yang lain masih berada dalam kandungan. Lalu pertanyaannya sekarang, mau sampai kapan? Mau sampai kapan kita mendapat berita duka akibat dari perbuatan manusia yang tampaknya lebih pantas disandingkan dengan hewan. Mereka yang tidak memiliki nurani bisa dipastikan lebih dari ini. Bukan hanya pelaku dari korban Novia ataupun pelaku dari korban para santri. Di luar sana, mungkin jauh lebih banyak pelaku dari korban yang memilih bungkam. Lebih banyak pelaku dari kisah yang belum tersebar luas di sosial media. Mengapa kasus semacam ini terus terjadi lagi dan lagi? Karena terlalu banyak manusia yang membuka mata namun menutup telinga. Sebelum kisah seperti Novia terjadi, sebelum terungkapnya kasus perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ada begitu banyak perempuan yang bersuara namun diabaikan, ada perempuan yang bercerita namun berakhir kecewa, ada perempuan yang berjuang kemudian lelah, perempuan yang akhirnya menutup rapat kisah pilunya karena kita semua menolak menerima. Sebab apa? Banyak dari kita, bisa jadi saya atau mungkin kalian semua yang tidak cukup mengerti terhadap situasi yang sedang terjadi. Pada perempuan yang menjadi korban dan seperti apa posisi yang sedang mereka alami. Cerita perempuan atas pengalaman buruk yang menimpanya, seharusnya sangat berharga. Tetapi sayang, hanya sebagian mau mendengar dan sebagian lagi tetap tuli. Hingga akhirnya cerita perempuan semakin samar dan tidak mudah kita dengar. Perempuan lalu berakhir dengan keputusan memilih diam karena si tuli yang mengecewakan. Oleh karena itu, bagaimana jika kita coba untuk dengar perempuan. Melihat saja hanya akan membuat kita menjadi pengamat yang mungkin tampak cerdas namun tak punya hati, menganalisis kesana kemari tanpa tahu bagaimana suara perempuan terkait dirinya sendiri. Akan tetapi, jika kita mau mendengar perempuan tanpa menghakimi mungkin kita akan lebih layak disebut manusia. Dengar perempuan boleh jadi menambah simpati dan empati terhadap situasi kondisi yang sedang mereka alami. Sebab setelah mendapat kejahatan, perempuan butuh ruang aman. Letaknya adalah pada diri kita yang mau mendengar mereka. Mendengar apapun yang diutarakan dan menjadi sebaik-baiknya tempat untuk mereka bercerita. Dengan demikian, setidaknya kita telah mengambil langkah pertama demi kebaikan para korban perempuan kedepannya. Tentu hal ini tidaklah cukup, tapi mendengar perempuan saat mereka membutuhkan, bukanlah hal sulit yang juga tidak mudah dilakukan. Coba saja tengok sosial media, temukan berapa banyak manusia yang masih tuli. Narasi dan suara korban dikesampingkan lalu berlagak seperti Tuhan. Mudah sekali menilai, meringkas, atau menarik kesimpulan terhadap situasi yang bahkan tidak melibatkan mereka di dalamnya. Sedangkan cerita asli versi korban sendiri tidak lebih dulu dipahami. Meskipun memang banyak yang bersimpati dan memberi dukungan, tapi bukankah jumlahnya tidak jauh berbeda dengan mereka yang menutup telinga? Dengan mereka yang seperti seakan tahu segalanya? Jadi sekali lagi, dengar perempuan. Lebih baik jika tidak menunggu banyak korban lagi yang berbicara. Dengar aspirasi perempuan atas apa yang terjadi terhadap sesamanya. Mereka mengerti karena sama-sama mengalami. Menjadi kelompok yang rentan terhadap kekerasan, perlakuan tidak menyenangkan, dan beragam ketidakadilan. Tidak bisa di pungkiri, kebebasan perempuan masih berada dalam sangkar. Kalaupun mencoba keluar, hanya sunyi yang mereka dapatkan. Mencoba bebas bersuara saja tidak mudah, apalagi mereka yang mencoba memaksa bersuara tapi tidak ada yang bisa menangkapnya. Mendengar perempuan tanpa menunggu menjadi korban, dapat mendorong terciptanya kepercayaan dalam mewujudkan ruang aman bagi perempuan. Melibatkannya dalam diskusi kebijakan terkait perempuan, akan membawa dampak dan perubahan besar. Mendengar perempuan mengutarakan keresahan, akan meningkatkan kesadaran serta pencegahan. Memberi perhatian pada cerita para korban perempuan, dapat menyediakan lebih luas ruang aman bagi mereka. Di lingkungan sekitar maupun ruang digital, perempuan perlu didengarkan. Itulah sebabnya suara perempuan amat berharga, sehingga perlu telinga untuk lamat-lamat mendengarkannya. Coba dengar perempuan, sebelum lebih dulu bersuara. Referensi CNN Indonesia. (2021, Desember 6). Komnas Perempuan: Novia Widiasari Alami Kekerasan dalam Pacaran. Retrieved from: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211206193746-12-730633/komnas-perempuan-novia-widyasari-alami-kekerasan-dalam-pacaran CNN Indonesia. (2021, Desember 9). Fakta-Fakta Kasus Pencabulan oleh Pimpinan Ponpes di Bandung. Retrieved from: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211209073239-12-731785/fakta-fakta-kasus-pencabulan-oleh-pimpinan-ponpes-di-bandung