fbpx
Diakses dari: upromise.com/articles/wp-content/uploads/sites/3/2021/12/AdobeStock_309134554-1024x683.jpeg

Circular Baby Fashion: Upaya Pembangunan Siklus Konsumsi & Produksi Berkelanjutan

Bagi kebanyakan pasangan yang telah berumah tangga, kehadiran anak adalah hal yang dinantikan. Segala upaya dilakukan agar mendapatkan momongan, mulai dari memperbaiki pola hidup sehat, rutin mengonsumsi suplemen, hingga terapi program hamil. Ketika satu dari sekian upaya yang telah dilakukan berhasil, tak henti-hentinya rasa syukur dipanjatkan. Suami dan istri akan senantiasa menjaga masa-masa kehamilan, mempersiapkan diri hingga waktu kelahiran buah hati tiba. Upaya yang paling sering dilakukan dalam mempersiapkan diri, selain fisik dan mental, adalah berbelanja pakaian bayi.

Di era digital seperti sekarang ini, marketplace menjadi pilihan untuk menjelajah berbagai macam online shop. Calon ibu akan disibukkan keluar masuk toko online untuk memilih produk dan membandingkan harga dari satu toko dengan toko lainnya. Bagi sebagian calon ibu lainnya, membeli pakaian secara langsung adalah hal yang tak terelakkan. “Ngga afdol kalau ngga pegang bajunya langsung” adalah alasan yang kerap disampaikan demi bisa melihat warna, motif, dan kualitas bahan yang digunakan.

Baik berbelanja online maupun langsung, keduanya menjadi aktivitas yang paling menyenangkan bagi calon ibu. Desain yang lucu nan menggemaskan dari produk ternama menjadi banyak incaran. Berbelanja pakaian sesuai dengan kebutuhan menjadi hal yang paling sulit untuk dilakukan, apalagi bila ada promo dan diskon yang begitu menggiurkan.

“Belinya jangan banyak-banyak, sebentar lagi juga udah ganti lagi. Kan nanti si adek cepet banget tumbuhnya. Sayang kalau pakainya cuma sebentar.” Pesan tersebut juga kerap diterima calon ibu ketika hendak berbelanja pakaian, tapi “mumpung” adalah keyword yang sering dijadikan pembenaran untuk memborong banyak pakaian bayi. “Mumpung lagi promo. Mumpung lagi diskon. Mumpung lagi lihat-lihat, banyak yang lucu-lucu nih, ih gemes..”

Alih-alih memenuhi kebutuhan, ketiadaan kontrol diri dalam berbelanja pakaian bayi dalam kondisi mumpung justru mengarah pada sikap pemborosan. Pakaian yang telah dibeli akan segera tergantikan dengan pakaian baru yang lebih besar, sesuai dengan pertumbuhan buah hati. Lalu, ke manakah perginya pakaian-pakaian lucu nan menggemaskan itu?

Masih ada beberapa orang tua yang memang berniat menyimpan pakaian-pakaian bayi mereka untuk digunakan kembali oleh anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Disimpannya kembali pakaian-pakaian bayi itu agar kelak tidak perlu membeli lagi. Sikap demikian, selain menekan biaya pengeluaran untuk keperluan bayi, sebenarnya juga memiliki benefit untuk lingkungan, yaitu terminimalisirnya sampah berupa buangan pakaian-pakaian bayi.

Hal yang biasa dilakukan berikutnya, selain menyimpan untuk kebutuhan keluarga sendiri adalah dengan memberikan kepada orang terdekat, seperti saudara, teman, ataupun tetangga. Hal itu dilakukan hanya bila kondisi pakaian masih layak, yaitu warna dan kualitas kainnya masih bagus. Akan tetapi, bila warna sudah luntur dan kualitas kain sudah tidak bagus lagi, orang tua akan lebih memilih untuk membuangnya.

Pembuangan pakaian bayi justru lebih memperburuk kondisi limbah tekstil. Pasalnya, mengutip dari Fibre2Fashion, ada sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil pada tahun 2020 yang dibuang ke tempat pembuangan sampah yang kemudian berakhir di lautan. Angka rerata juga menunjukkan bahwa konsumen membuang 60% pakaian hanya setahun setelah membelinya. Bila terus berlanjut, kemungkinan pada tahun 2050 limbah tekstil akan mencapai 300 juta ton. The End of The Trash pada Maret 2020 mencatat bahwa dari 57% sampah di Jakarta, sekira 8,2%-nya merupakan sampah tekstil.

Belum lagi dari segi bahan yang digunakan. Pakaian bayi yang berbahan katun membutuhkan air yang jumlahnya tidak sedikit. Industri tekstil merupakan konsumen air terbesar kedua di dunia. Dibutuhkan sekitar 700 galon air untuk menghasilkan satu kemeja katun (atau setara dengan 3 sampai 4 pakaian bayi). Jumlah tersebut cukup untuk satu orang minum setidaknya delapan cangkir per hari selama tiga setengah tahun. Hal itu terjadi karena pakaian berbahan katun terbuat dari tanaman yang sangat intensif air, yaitu kapas.

Proses pencelupan kain oleh industri tekstil merupakan pencemaran air terbesar kedua di dunia sebab air sisa proses pencelupan sering dibuang ke parit atau sungai. Nexus3Foundation bahkan mencatat ada 1.000 pabrik garmen yang membuang berbagai bahan kimia beracun dari produknya ke Sungai Citarum.

Polusi air tidak hanya terjadi saat proses produksi oleh produsen. Konsumen juga memiliki andil yang cukup besar. Hal ini terjadi pada proses pencucian pakaian. Proses pencucian pakaian akan melepaskan 500.000 ton serat mikro ke laut setiap tahun, setara dengan 50 miliar botol plastik. Kebanyakan dari serat tersebut adalah polyester, plastik yang ditemukan di sekitar 60% pakaian. Memproduksi polyester sama dengan melepas emisi karbon dua sampai tiga kali lebih banyak daripada kapas, dan poliester tidak terurai di laut (Johnsen, 2020). Pada tahun 2017, International Union for Conservation of Nature (IUCN) melaporkan bahwa sekitar 35% mikroplastik (potongan plastik yang sangat kecil dan tidak pernah bisa terurai) yang ada di laut berasal dari pencucian tekstil sintetis seperti polyester. Bahan polyester tidak hanya ada di pakaian orang dewasa. Saat ini, polyester yang dikombinasikan dengan katun pun juga kerap digunakan untuk bahan pakaian bayi. Kombinasi keduanya dianggap memiliki tingkat perawatan yang mudah dan dari segi harga lebih murah dibandingkan dengan pakaian berbahan katun 100% (Riskita, 2022). Conca (2015) mengatakan bahwa industri pakaian jadi menyumbang 10% dari emisi karbon global dan tetap menjadi pencemar industri terbesar kedua setelah minyak.

Data penelitian di atas telah menunjukkan kepada kita semua bahwa produksi dan konsumsi terhadap pakaian bayi yang tidak terkontrol membawa dampak yang sama seriusnya dengan produksi dan konsumsi pakaian remaja maupun orang dewasa. Sebagai makhluk yang berilmu dan berakal, mencari solusi atas permasalahan lingkungan adalah hal mutlak. Perubahan perilaku adalah tindakan pertama yang harus dilakukan. Cara pandang yang berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan saat hendak berbelanja pakaian bayi semestinya diarahkan pada sebuah kebutuhan dan kecukupan.

Mereset ulang cara pandang dan kesadaran merupakan upaya yang dapat dilakukan secara internal, yaitu oleh masing-masing orang dalam dirinya sendiri. Meski tidak semua orang mau dan mampu mengontrol dirinya dalam berbelanja pakaian bayi, upaya eksternal tetap dapat dilakukan. Salah satunya dengan pengelolaan pakaian bayi dengan menerapkan sistem ekonomi sirkular.

Sistem ekonomi sirkular dalam dunia fashion atau disebut dengan circular fashion merupakan pemanfaatan pakaian, alas kaki, dan aksesoris yang sudah jarang atau tidak dipakai lagi untuk digunakan sebagai bahan pembuatan produk baru. Beall (2020) mengatakan bahwa daur ulang pakaian memang membantu mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Akan tetapi, tidak semua pakaian dapat didaurulang. Penurunan kualitas bahan adalah penyebabnya, sehingga pakaian dengan kualitas buruk hanya akan dirobek, lalu digunakan sebagai lap pembersih dan isian untuk kasur atau jok mobil. Itulah mengapa, input yang dipilih untuk didaur ulang haruslah memiliki kualitas yang baik dan aman. Barulah produk dapat digunakan serta dirawat kembali, sehingga tidak pernah berakhir sebagai limbah.

Dengan konteks limbah pakaian bayi, sistem ekonomi sirkular yang sangat mungkin dilakukan adalah dengan menerapkan konsep sewa pakaian. Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Denmark. Awalnya, perusahaan akan memproduksi pakaian bayi dalam jumlah tertentu. Pelanggan akan dikenakan biaya bulanan untuk berlangganan. Dalam waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, pelanggan akan mendapat 20 setel pakaian. Seiring pertumbuhan bayi, pelanggan dapat menukar pakaian lama dengan pakaian baru sesuai dengan kebutuhan buah hati mereka. Dalam proses penukaran pakaian tersebut, perusahaan akan memeriksa kualitas (keutuhan/kelengkapan) pakaian. Pakaian yang masih bagus akan di-laundry secara professional untuk digunakan oleh pelanggan lainnya. Untuk pakaian yang sudah ada kecacatan, perusahaan dapat memberi aksen/ motif baru, dan mengubah model tetapi masih menggunakan bahan yang sama.

Sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan poin ke-12, yaitu konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, konsep sewa pakaian bayi memiliki potensi besar dalam menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Penerapan konsep sewa pakaian bayi akan menekan biaya produksi jauh lebih besar. Perusahaan hanya akan berfokus pada kualitas bukan kuantitas produk, kualitas laundry dan perawatan pakaian bayi juga terjaga. Hal ini berpengaruh pada panjangnya masa pakai produk. Di samping itu, pelanggan juga sangat diuntungkan dengan terjaminnya kualitas pada pakaian yang dikenakan anak mereka.

Peran sistem ekonomi sirkular yang diusung dalam konsep penyewaan pakaian bayi (circular baby fashion) memberikan keuntungan jangka panjang. Dengan keuntungan jangka panjang yang ditawarkan, pelanggan tidak perlu menghabiskan waktu untuk berbelanja pakaian terus menerus dan merapikannya bila sudah tidak terpakai lagi. Sistem ini akan membangun siklus konsumsi dan produksi yang terkontrol, terarah, dan bertanggung jawab. Tidak hanya produsen dan konsumen yang diuntungkan, kebaikan juga diterima oleh lingkungan. Limbah yang dihasilkan oleh industri akan sangat minim dibandingkan dengan industri yang hanya memproduksi tanpa mempertimbangkan kualitas dan keberlanjutan produk. Bila konsep sistem penyewaan pakaian bayi benar-benar diterapkan secara massal, apakah promo dan diskon tetap menggiurkan?

Referensi:

Beall, Abigail. 2020. Why Clothes are So Hard to Recycle. Diakses dari https://www.bbc.com/future/article/20200710-why-clothes-are-so-hard-to-recycle

Conca, James. 2015. Making Climate Change Fashionable – The Garment Industry Takes On Global Warming. Diakses dari https://www.forbes.com/sites/james conca/2015/12/03/making-climate-change-fashionable-the-garment-industry-takes-on-global-warming/?sh=68e3c41d79e4

Johnsen, Morgan McFall. 2020. These Facts Show How Unsustainable The Fashion Industry is. Diakses dari https://www.weforum.org/agenda/2020/01/fashion-industry-carbon-unsustainable-environment-pollution/

Riskita, Amelia. 2022. Ini 9 Bahan Kaos Terbaik untuk Anak dan Bayi, Jangan Salah Pilih!. Diakses dari https://www.orami.co.id/magazine/bahan-kaos-terbaik-untuk-anak

https://edgexpo.com/fashion-industry-waste-statistics/

https://thinkconscious.id/en/not-plastic-textile-waste-is-the-biggest-contributor-towas te-in-indonesia/

https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/getting-pregnant/in-depth/how-togetpregnant/ar-20047611#:~:text=The%20highest%20pregnancy%20rates%20occur,the%20end%20of%20your%20period.