fbpx
Shutterstock/Bagaskara Lazuardi

Beragam negeriku, harmoni Indonesiaku

“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”; “Bhinneka Tunggal Ika” “Gotong Royong: Ringan sama dijinjing berat sama dipikul”

Setiap dari kita pasti tidak asing dengan istilah-istilah di atas. Kesemua istilah diatas menekankan pentingnya persatuan dan rasa kebersamaan walau berada dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, yaitu berbeda-beda suku, agama, dan latar belakang. Keragaman sosial membawa sebuah arti penting tidak semua perbedaan harus disamakan atau melebur menjadi satu, namun juga tak lantas membuat sebuah perpecahan melainkan saling melengkapi, menguatkan dan menyempurnakan. Istilah diatas tidak lagi terhenti sebatas sebuah untaian kata-kata indah namun perlu dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara mengenai keragaman sosial, beberapa langkah berperan menempuh terciptanya sinergi akan tujuan mewujudkan keharmonisan yang menyeluruh bagi masyarakat Indonesia.

Kembali melayangkan pandang pada kasus intoleransi agama di Indonesia yang cukup marak diberitakan, terlihat beberapa kasus penolakan pembangunan rumah ibadah, penistaan agama, pengeboman dan perusakan tempat ibadah, hingga berujung konflik perpecahan antar agama. Diluar konflik agama yang kasat mata, kehadiran teknologi turut mempengaruhi komunikasi antar manusia. Teknologi yang terbuka luas menghadirkan konflik baru seperti pengucapan ujaran kebencian (hatespeech), penyampaian berita bohong (hoaks), dan pandangan superior akan kaum minoritas yang dilakukan pada media sosial. Berbagai tindakan di atas sangat disayangkan, keterlibatan beberapa oknum membuka pandangan kita bahwa beberapa sikap diri perlu dilatih dan menjadi dasar dalam bertindak bagi setiap masyarakat Indonesia.

Pengendalian dan mawas diri menjadi prinsip dasar sikap manusia, bersumber dari internal atau dalam diri kita. Pengendalian diri atau disebut “penguasaan diri” dalam KBBI menyebutkan pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan (pengetahuan, kepandaian, dan sebagainya), sedangkan mawas diri diartikan sebagai melihat (memeriksa, mengoreksi) diri sendiri secara jujur: kita harus — agar kita jangan membuat kesalahan yang sama. Keduanya memiliki keterkaitan yang sama dimana manusia yang membawa pemahaman secara menyeluruh dan mendalam akan keberagaman, maka akan melihat perbedaan menggunakan akal sehat (diperoleh dari pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki), dan berakhir mewujudkan manusia yang selalu mawas diri akan perbuatan yang dilakukan. Mawas diri membuat setiap manusia menyadari sebab dan akibat dari setiap tindakan sehingga berperilaku hati-hati, toleran dan bijaksana menjadi kunci untuk menumbuhkan pribadi yang lebih baik di masa mendatang. Dicontohkan seseorang mendapatkan perilaku ujaran kebencian akan kelompok agama, etnis dan sebagainya mampu mengendalikan emosinya (tidak sumbu pendek) melainkan menanggapinya dengan bijaksana, mengutarakan pendapat dengan baik, menasehati dan membuat perdamaian di antara keduanya.

Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat Yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena sifatnya ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Selain itu, konsep agama apapun mengajarkan Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa yang paling mulia di antara makhluk ciptaan-Nya. Berdasarkan pemahaman diatas, maka sikap yang dapat diambil untuk menjaga hubungan sosial antar manusia dan menunjukkan manusia yang bermartabat mulia yaitu dengan memanusiakan manusia atau dalam bahasa jawa disebut “nguwongke uwong”. Dari sini kita belajar mengutamakan persatuan dan saling menghargai diatas perbedaan menunjukkan prinsip kemanusiaan yang akan mendorong manusia untuk bersikap humanis. Dapat dicontohkan dalam keadaan darurat seperti bencana alam, kesehatan, dan pandemi, manusia yang humanis akan mengulurkan tangannya untuk berbagi dan membantu sesama tanpa melihat orang yang dibantu berasal dari agama, suku, maupun latar belakang apapun. Kongregasi suster CB Yogyakarta yang memberikan dukungan pencegahan COVID-19 melalui penyediaan shelter Syantikara untuk melakukan isolasi mandiri dan Masjid Al Barokah melakukan pemberian tempat mengungsi pada korban kebakaran Jatinegara.

Melatih diri untuk berpikir secara jernih perlu dilakukan, manusia perlu melihat isu keberagaman ini dari berbagai sudut pandang. Memiliki pemikiran terbuka membawa kita untuk tidak mencerna informasi secara mentah yang tidak terpercaya bahkan berdasarkan opini subjektif seseorang atau kelompok orang dari agama, suku, etnis dan latar belakang lainnya.Masyarakat Indonesia perlu diingatkan kembali akan pentingnya melakukan pengecekan fakta dan mencerna informasi dengan lebih logis. Dapat dicontohkan ketika terdapat berita yang bersifat mengadu domba antar kelompok agama/suku/etnis, seseorang dapat kembali melihat siapa yang menerbitkan berita tersebut dan melakukan pengecekan fakta di pusat cek fakta yang tersedia dalam jaringan (online).

Lantas bagaimana ketiga sikap tersebut dapat ditumbuhkan?

Dianalogikan terdapat suatu peristiwa dimana air bersih yang terpengaruh oleh air kotor apabila keduanya dipertemukan maka akan menghasilkan air yang keruh. Kemudian kehadiran tablet klorin mampu menjernihkan air yang keruh menjadi jernih kembali. Hal ini menunjukkan lingkungan dimana manusia terbentuk akan mempengaruhi sikap manusia dalam berpikir dan bertindak. Sama halnya dengan isu keberagaman, maka sikap-sikap pengendalian diri, mawas diri, humanis dan berpikir terbuka perlu dibentuk dari lingkungan terdekat manusia seperti pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan komunitas.

Pendidikan keluarga dimulai dari pemberian pemahaman inklusif kepada anak-anak, bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat semua manusia memiliki perbedaan yang mutlak dibawa sejak lahir dan manusia tidak dapat mengubahnya. Dilahirkan dalam suku Jawa, suku Sunda, suku Batak, etnis Tionghoa, etnis Arab dan sebagainya membawa sikap, sifat dan adat istiadat yang melekat di dalamnya. Menunjukkan manusia diciptakan unik dan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Keluarga perlu mengajarkan pemikiran terbuka akan perbedaan, memberikan kesempatan anak untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan yang berbeda darinya, tidak menanamkan stereotip maupun ujaran buruk akan kelompok agama, suku, dan latar belakang lainnya. Dicontohkan keluarga bapak A dari suku Sunda mengajarkan anak-anaknya untuk berteman dan memiliki rasa berbagi baik itu kepada teman sesama suku Sunda maupun dari luar suku dan etnis lainnya.

Pendidikan sekolah membutuhkan adaptasi pengajaran yang lebih inklusif dan interaktif bagi siswa. Pengajaran terkait keberagaman, seperti pendidikan Pancasila dan etika tidak lagi sekedar teori dan ujian di kelas, namun dapat mengusung implementasi dan praktik di masyarakat. Sebagai contoh, seorang guru mata pelajaran Pancasila meminta murid untuk mengimplementasikan sila ke-3 persatuan Indonesia dengan mengunjungi destinasi wisata yang berkaitan dengan agama untuk menyadarkan bahwa Indonesia tidak hanya terdiri dari satu agama, melainkan berbagai agama dengan tujuan yang sama yaitu kebaikan terhadap sesama dan menyembah Tuhan yang Maha Esa.  Melakukan kunjungan kepada teman-teman difabel dan kurang beruntung juga mewujudkan kesadaran akan menghargai mereka, membantu dan menerima kehadiran mereka dalam lingkungan masyarakat. Contoh lainnya seorang guru etika memberikan studi kasus sederhana yang dipecahkan secara berkelompok (kelompok terdiri dari berbagai latar belakang suku, agama dan budaya) sehingga menghasilkan keputusan bersama yang mengakomodasi kepentingan dari berbagai sudut pandang serta mengajarkan musyawarah di tengah perbedaan.

Pendidikan komunitas dapat dimulai dengan membentuk organisasi seperti OSIS, komunitas lintas agama, komunitas lintas budaya, dan etnis. Tujuan diadakannya komunitas ini guna meningkatkan interaksi dan komunikasi antar anggota yang memiliki perbedaan. Membangun komunitas yang anggotanya beragam juga mampu membiasakan diri seseorang untuk hidup dalam keberagaman guna mencapai tujuan yang sama.

Melalui sikap diri dan langkah-langkah tersebut saya yakin istilah beragam negeriku, harmoni Indonesiaku (menjaga keharmonisan masyarakat Indonesia yang berbeda suku, agama dan latar belakang) mampu terwujud dan menjadi tujuan mulia bagi sesama.

REFERENSI

Huda, M. (2021, Juli 20). Banyak Warga Tak Dapat Tempat Isoman, Asrama Syantikara Yogyakarta Dijadikan Selter Pasien Isolasi. Retrieved from Jogja Tribunnews: https://jogja.tribunnews.com/2021/07/20/banyak-warga-tak-dapat-tempat-isoman-asrama-syantikara-yogyakarta-dijadikan-selter-pasien-isolasi

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (n.d.). Pengertian Kendali. Retrieved from Kamus versi online/daring (dalam jaringan): https://kbbi.web.id/kendali

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (n.d.). Pengertian Mawas Diri. Retrieved from Kamus versi online/daring (dalam jaringan): https://kbbi.web.id/mawas%20diri

Kompasiana. (2017, Mei 27). Manusia Makhluk Mulia. Retrieved from https://www.kompasiana.com/khiya/592950fdf196730937163af5/manusia-makhluk-mulia

Prof. Dr. Endang Nurhayati, M. H. (2015, Mei 2015). PENGUATAN KEARIFAN LOKAL JAWA MENUJU FBS YANG AKADEMIS HUMANIS DAN PROFESIONAL. Retrieved from uny.ac.id: https://www.uny.ac.id/fokus-kita/prof-dr-endang-nurhayati-mhum

Satria, J. N. (2019, September 21). Korban Kebakaran di Jatinegara Mengungsi di Tenda dan Masjid. Retrieved from News Detik: https://news.detik.com/berita/d-4715706/korban-kebakaran-di-jatinegara-mengungsi-di-tenda-dan-masjid