Yan Putra Timur Peneliti Waqf Center for Indonesian Development & Studies (WaCIDS) 0shares Menggali Potensi Intelektual demi Kesejahteraan Bangsa Masa Depan Read More Kemiskinan menjadi salah satu isu penting yang terjadi di setiap negara berkembang. Kemiskinan identik dengan ketimpangan sosial. Artinya, Pembangunan yang terjadi di suatu negara tidak dapat dirasakan oleh semua pihak sehingga muncullah idiom “Si kaya menjadi makin kaya, Si miskin menjadi makin miskin”. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial yang lebih besar, karena orang yang miskin tidak memiliki akses yang sama dengan orang yang kaya terhadap peluang dan sumber daya yang ada di kota. UNDP (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk mendapatkan pilihan-pilihan hidup. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 sebesar 9,36 atau sebanyak 25,90 juta orang. Di Indonesia, kemiskinan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan, tetapi juga di kota-kota besar. Kemiskinan di kota seringkali tersembunyi dan tidak terlihat seperti kemiskinan di pedesaan, namun faktanya, banyak orang yang tinggal di perkotaan yang hidup dalam keadaan miskin. Fakta yang menarin terjadi di kota Surabaya. Surabaya, sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan perekonomian yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, dimana nilai Produk Domestik Regional Bruto atau PRDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp655 Miliar dan PRDB atas harga konstan pada tahun 2022 mencapai Rp434 Milyar. Pertumbuhan ekonomi di Kota Surabaya yang mengalami tren positif tersebut berimplikasi positif pada jumlah penduduk miskin. Data Badan Pusat Statistik Kota Surabaya, (2022) menjelaskan bahwa angka kemiskinan di Kota Surabaya cenderung menurun. Jumlah penduduk miskin di Kota Surabaya pada tahun 2022 sebanyak 138.210 jiwa atau 4,72% dari total seluruh penduduk, Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dimana jumlah angka kemiskinan mencapai >5% dari total penduduk di Surabaya. Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di Kota Surabaya tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan. Hal ini terindikasi pada Indeks Gini di Kota Surabaya dimana pada 5 tahun terakhir mencapai nilai diatas 0,35. Indeks gini merupakan suatu ukuran kemerataan yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Apabila nilai indeks gini semakin mendekat angka 1, maka ketimpangan ekonomi yang terjadi di suatu wilayah semakin besar. Artinya, berkurangnya jumlah penduduk miskin hanya terjadi pada kelompok penduduk tertentu. Hal inilah yang membuat sekelompok anak muda yang tergabung di dalam kelompok Poverty 3, SDGs Academy Batch 4 membangun sebuah program Bernama BAMPI atau Beri Akses Mudah Pekerja Informal yang menjadikan Pasar Keputran sebagai locus utama kegiatan. BAMPI melihat bahwa Pasar Keputran yang merupakan melting pot berbagai pedagang di seluruh Jawa Timur memiliki potensi dari aspek pengembangan ekonomi yang sangat besar. Namun sayangnya, Sebagian besar pekerja informal yang mencari rejeki di Pasar Keputran didominasi oleh mereka yang belum memiliki kesempatan untuk mengenyam Pendidikan yang layak. Hal ini turut mempengaruhi kualitas literasi keuangan yang dimiliki oleh para pekerja informal di Pasar Keputran yang menyebabkan banyak dari mereka yang terlilit hutang, tidak dapat mengajukan pinjaman ke perbankan dan lain-lain. Oleh karena itu, BAMPI mencoba untuk menghadirkan sebuah program peningkatan literasi bagi para pekerja informal yang berada di Pasar Keputran. InsyaAllah….