fbpx
Pelajar Kampung Topeng Malang

AUTOMATISASI PENDIDIKAN BERKELANJUTAN MELALUI STRUKTURISASI KOLABORASI LINTAS GENERASI

Membangun bangsa artinya membangun manusia yang ada di dalamnya. Penting memang memandang bangsa sebagai kumpulan manusia yang berada di satu terotori yang sama dan menyepakati tujuan serta hukum yang sama. Sehingga filosofi pendidikan Indonesia menurut Ki Hajar Dewantara adalah “Memanusiakan manusia”, yang dapat dilihat dari 2 sudut pandang, yaitu sebagai proses dan sebagai hasil. Sebagai hasil, artinya dengan pendidikan diharapkan manusia-manusia di Indonesia dapat menjadi insan yang benar-benar berdaya, seluruh potensinya teropimalkan. Dan jika dilihat dengan sudut pandang proses, artinya manusia dididik dengan dasar humanis yang memperhatikan fitrah atau sifat-sifat bawaan yang melekat.

Sekarang pertanyaannya adalah, sudahkah pendidikan di Indonesia memandang pelajar sebagai manusia? Jika sudah, mengapa angka putus sekolah masih tinggi? Artinya ada fitrah atau sifat alami yang tidak terfasiliitasi melalui pendidikan.  Perhatian lainnya adalah ketidakmerataan pendidikan, yang menjadi bukti betapa tak adilnya pendidikan dalam memperlakukan manusia. Bukannya melebih-lebihkan, tapi apa yang bisa kita katakan ketika melihat anak-anak di kota sini mampu bermimpi begitu tinggi sementara di desa kecil sana, anak usia 7 tahun saja sudah takut bermimpi. Seakan tak ada pilihan bagi mereka selain melanjutkan siklus kemiskinan, karena memang mereka tidak mendapat pendidikan yang layak sehingga pikirannya tidak terbuka serta potensinya tak mampu teroptimalkan.

Tulisan ini akan membahas dan mengusulkan solusi dari 2 permasalahan besar tersebut; Angka putus sekolah yang tinggi dan ketidakmerataan pendidikan di Indonesia. Menyelesaikan keduanya secara langsung (direct) akan berdampak pada kualitas dan pendidikan yang berkelanjutan, lalu secara tidak langsung (undirect) akan berdampak pada poin SDG’s (1) Menghapus tingkat kemiskinan. (5) Kesetaraan gender. (8) Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Dan (10) Mengurangi ketimpangan.

 

Prinsip pendidikan Indonesia yang hilang

Badan Pusat Statistik menyatakan; 76% penyebab siswa putus sekolah adalah masalah ekonomi. 67% diantaranya karena orang tua tidak mampu membayar biaya sekolah dan 8,7% nya karena harus mencari nafkah sejak usia pelajar. Alasan lainnya adalah kondisi mental siswa seperti malas, tidak semangat belajar dan trauma akibat pembulian. Lalu ada juga penyebab kondisi keluarga seperti keharmonisan keluarga dan latar belakang pendidikan orang tua. Meski demikian sebenarnya ada celah untuk mencegah siswa putus sekolah, untuk memahami celah tersebut mari kita uraikan beberapa kondisi nyata di lapangan:

  1. Beberapa siswa SD memiliki rutinitas sore hari mengamen di pinggir jalan bersama kakak-kakak lingkungan rumahnya. Ketika ia akan naik ke SMP, kakak-kakak nya menyarankan, bahwa lebih baik mengamen saja sepanjang hari karena bisa mendapat uang untuk makan lebih banyak. Sementara sekolah, justru membuat pengeluaran. Apa yang kira-kira akan dilakukan oleh mayoritas anak pada kondisi tersebut? Andaikan tidak ada saran tersebut pun, bisa saja kesadaran muncul dengan sendirinya. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh lembaga/penggiat pendidikan pada masa pembentukan kesadaran ini?
  2. Beberapa keluarga menghadapi kesulitan berkali-kali dalam melakukan pembayaran ke sekolah, mulai dari uang seragam, kegiatan sekolah, peralatan belajar, peralatan kerja kelompok dan tugas. Seiring waktu orang tua merasa sudah tidak mampu membiayai sekolah anaknya lagi, dan mengatakan “Nak, maaf untuk sekolah kita stop dahulu karena uang mama sudah tidak cukup”. Kira-kira apa yang akan dikatakan oleh mayoritas anak pada kondisi tersebut? Jika anak menolak, apakah mereka bisa mengajukan solusi? Pada masa diskusi sebelum mengambil keputusan ini, apa yang bisa dilakukan oleh lembaga/penggiat pendidikan?

Dari kedua contoh kondisi tersebut, sebenarnya selalu ada celah untuk mencegah seorang siswa putus sekolah, yaitu memfasilitasi kebutuhan dan kekhawatiran siswa serta orang tua sebelum keputusan diambil oleh mereka. 2 capaian utama dari kegiatan fasilitasi ini adalah; 1) Siswa merasa aman untuk melanjutkan pendidikan. 2) Siswa dan orang tua mendapatkan informasi dan akses untuk mengatasi persoalan mereka. Praktik dari konsep ini akan dijelaskan pada bagian tiga, “Strukturisasi komunikasi lintas generasi”.

Konsep ini diperkuat oleh prinsip kehidupan dan pendidikan Indonesia yang mulai memudar, yaitu gotong royong dan makna dalam dari “Tut Wuri Handayani” (Arti: Di belakang memberi dorongan). Jika semboyan tersebut dimaknai lebih dalam dan dipadukan dengan nilai gotong royong, sebenarnya tugas mendorong siswa/i dari belakang bukan saja tanggung jawab guru, melainkan tanggung jawab masyarakat terkhusus yang peduli pada pendidikan. Hal ini serasi dengan semboyan di masyarakat sunda, “Silih asah, asih, asuh” yang artinya saling mempertajam daya sebagai manusia, mengasihi dan mengasuh atau menjaga satu sama lain.

Memperhatikan prinsip pendidikan yang perlahan hilang ini menjadi penting, karena bagaimana mungkin bangsa Indonesia yang memiliki karakter, sifat, latar belakang, fungsi dan tujuan yang khas (disingkat; jati diri bangsa) justru diminta mengadopsi pendidikan dari Amerika, Jepang, Finlandia ataupun negara referensi pendidikan lainnya, yang masing-masing dari mereka memiliki jati diri yang khas pula.

 

Keadilan pendidikan dan pendidikan berkelanjutan

Pada rapat anggaran antara DPR dan KEMENDIKBUD, Bu Anita (Anggota DPR) menyatakan; sebenarnya anggaran pendidikan sudah sesuai yaitu 20% dari APBN dengan tujuan meratakan pendidikan, namun nyatanya daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) justru semakin tertinggal. Di saat digital platform terus berkembang sementara pembangunan daerah 3T terabaikan karena skandal-skandal dalam kedinasan, di saat itulah ketimpangan semakin meningkat.

Kesulitan membangun pendidikan pada daerah 3T utamanya disebabkan kondisi geografis. Daerah 3T umumnya jauh dari pusat kota, memiliki tipografi perbukitan atau dipisahkan oleh lautan, dan akses transportasi yang sulit. Sehingga berpengaruh pada pembangunan gedung, jaringan internet dan peningkatan kualitas guru melalui pelatihan atau kunjungan dinas. Selain membutuhkan anggaran yang besar, membangun pendidikan di daerah 3T juga memerlukan waktu yang tak sebentar. Kondisi ini semakin rumit dengan adanya skandal dalam pemerintahan.

Namun meski tanpa banyak gedung dan akses internet, sebenarnya jika mengikuti filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, daerah 3T tetap dapat memiliki daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif) dan daya karsa (konatif) yang tak kalah dengan daerah non-3T. Bahkan mereka tetap dapat memiliki 4 kompetensi abad 21 yang dikenal 4C (Critical Thinking, Creativity, Communication and Collaboration), sekaligus literasi dan numerasi yang sudah menjadi bagian diantaranya.

Mengambil referensi dari NGO (Non-Governmental Organization) milik Dewan Penasehat BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) Bu Tri Mumpuni yang bernama IBEKA, mereka memiliki program bernama Patriot Desa. Dalam program tersebut IBEKA mendidik 100 pemuda di setiap angkatannya untuk menjadi agen perubahan yang hadir di wilayah 3T selama 1 tahun penuh. Disana patriot-patriot muda berbaur dengan masyarakat, mendapatan kepercayaan masyarakat lalu membangun perekonomian, fasilitas dan pola pikir masyarakat. Alhasil beberapa daerah mampu membangun pembangkit listrik tanpa bantuan alat berat, mengandalkan gotong royong dan kemampuan daya akal mereka. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya, setiap daerah memiliki potensi 4C yang dapat dipantik.

Sayangnya program ini berjalan dengan sangat independen tanpa sorotan dari pemerintah. Namun tentu akan menjadi sesuatu yang sangat besar dampaknya jika metode tersebut bisa dipraktekkan secara masif, terstruktur dan dibawa kr dalam konteks pembangunan pendidikan. Dimana patriot-patriot yang dikirim melakukan pembangunan pendidikan berbasis kearifan lokal, dengan membawa kecakapan-kecakapan moderen yang perlu diakulturasi dengan pendidikan khas setiap daerah.

Konsep tersebut merupakan alternatif sembari menunggu pembangunan internet dan bangunan sekolah dibangun oleh pemerintah. Karena meski keterampilan 4C dapat diwujudkan melalui konsep ini, tidak dengan keterampilan teknologi informasi yang membutuhkan internet dan fasilitas yang memadai.

 

Solusi: Strukturisasi kolaborasi lintas generasi

Dari 2 konsep yang sudah dibahas, kita mengetahui bahwa Indonesia memiliki nilai dan jati diri berupa gotong royong. Kita juga mengetahui pentingnya kehadiran sosok-sosok pemuda yang mampu mendorong pembangunan di tengah masyarakat, terkhusus dalam bidang pendidikan.

Kurikulum merdeka, filosofi pendidikan Indonesia, karakteristik orang Indonesia yang senang menolong dan budaya setiap daerah yang nyatanya mendidik kompetensi khas pada generasi muda, menjadi kekuatan dan peluang untuk mewujudkan pendidikan berkelanjutan yang adil dan berjati diri Indonesia. Sekarang tinggal bagaimana rekomendasi praktiknya?

Terdapat 2 opsi dalam menjalankan praktek ini, yaitu melibatkan pemerintah sebagai pemangku kebijakan, atau independen tanpa kebijakan pemerintah. Mari berfokus terlebih dahulu terhadap opsi tanpa melibatkan pemerintah dan berfokus pada penggiat pendidikan.

Praktek ini bernama “Sturkturisasi kolaborasi lintas generasi”, yaitu membentuk komunitas berisi pelajar lintas usia, lintas kualitas pendidikan dan lintas daerah untuk menjadi relawan ‘pahlawan bangsa’, yang hadir di tengah pelajar berusia di bawahnya untuk memfasilitasi. Praktek ini secara sederhana dapat digambarkan dalam langkah-langkah berikut:

  1. Komunitas dibentuk, dengan penggiat pendidikan sebagai pengurus utamanya
  2. Komunitas membagi fokus kepengurusannya per daerah
  3. Pengurus setiap daerah, mengumpulkan relawan ‘pahlawan bangsa’, yang dibuka bagi pelajar SMP, SMA, kuliah dan yang sudah lulus selama masih berada di bawah usia 30 tahun
  4. ‘Pahlawan bangsa’ dibekali keterampilan menjadi fasilitator dan informasi beasiswa serta kebijakan pemerintah atau peluang dana dari swasta yang dapat diinformasi kepada pelajar dalam dampingan (PDD)
  5. ‘Pahlawan bangsa’ turun menjadi fasilitator mendampingi pelajar dalam dampingan (PDD) yang telah dipetakan melalui sekolah berdasarkan kriteria yang ada, salah satunya memiliki kendala dalam sekolah baik berupa dana, keluarga ataupun ketidaknyamanan lainnya.
  6. Pahlawan bangsa berusia di atas 18 tahun dan telas lulus SMA, boleh mengikuti seleksi untuk dikirim ke daerah 3T, dengan melakukan pembekalan selama 6 bulan terlebih dahulu untuk membangun pendidikan berbasis kearifan lokal dan akulturasi kompetensi moderen.

Setelah langkah utama tersebut dijalankan, diharapkan dengan sendirinya tercipta suatu komunikasi informal, seperti pembentukan grup media sosial yang menjamin komunikasi berkelanjutan. Dengan tingkat dampak dan kepuasan yang dirasakan oleh relawan ‘pahlawan bangsa’ dan PDD, tentu akan terjadi praktik secara siklik, dimana PDD berkeinginan menjadi pahlawan bangsa selanjutnya. Artinya hal ini menjadi automatisasi pendidikan berkelanjutan.

Di sisi lain, opsi melibatkan pemerintah memiliki jaminan keberlanjutan yang lebih baik. Pemerintah dapat memberi kebijakan berupa perlunya setiap sekolah di jenjang SMP, SMA dan kuliah menunjuk siswa/i untuk disiapkan menjadi relawan pahlawan bangsa.