Arman Waruwu 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Pendahuluan Setiap anak berhak mendapat mendapatkan pendidikan berkualitas. Pendidikan utamanya membantu setiap anak mengenali dirinya, mengembangkan potensinya sehingga bisa bertahan hidup dengan berdampak bagi lingkungannya. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional pasal 3, tujuan pendidikan nasional ditargetkan untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan hal ini, maka sangat diperlukan memahami siapa saja pihak yang memberikan kontribusi paling besar dalam pendidikan seorang anak. Pendidikan didapatkan secara informal melalui orang tua (keluarga) dan secara formal melalui institusi pendidikan yakni sekolah. Orang tua menjadi pendidik utama setiap anak yang menghadirkan dukungan emosional, cinta kasih, menanamkan nilai-nilai sosial masyarakat dan bermitra dengan sekolah untuk membentuk dan melatih kepribadian anak dalam hal akademik, karakter dan keterampilan. Pola asuh orang tua memiliki pengaruh paling besar dalam pendidikan karakter, sedangkan guru di sekolah berperan menjadi fasilitator yang membentuk dan mengarahkan karakter dalam sudut pandang yang benar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, sinergitas orang tua dan guru tidak bisa tidak dilakukan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan karakter anak menjadi pribadi yang responsif, bertanggung jawab dan bermartabat. Akan tetapi, dewasa ini banyak isu demoralisasi remaja usia sekolah yang menunjukkan kemerosotan karakter. Bagian yang paling disorot adalah hilangnya rasa hormat kepada guru. Kasus ini pernah terjadi di daerah Barito Selatan, Kalimantan Tengah, seorang murid menantang gurunya berduel lantaran ditegur karena cara berpakaiannya yang tidak rapi (Rahayu, 2023). Kasus serupa terjadi di Demak, Jawa Tengah, seorang murid tega menganiaya guru sampai terluka diakibatkan kemarahan akibat tidak diizinkan mengikuti ulangan tengah semester berhubung syarat tugas mengikuti ulangan belum dikerjakan (Utami, 2013). Bagian lain adalah tindak pembulian di sekolah yang cukup tinggi. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah merilis data kasus bullying atau perundungan di sekolah tahun 2023. Sejak Januari hingga September, tercatat ada 23 kasus bullying. Dari 23 kasus tersebut, 50% terjadi di jenjang SMP, 23% di jenjang SD, 13,5% di jenjang SMA, dan 13,5% di jenjang SMK (Rosa, 2023). Analisis Masalah Demoralisasi murid merupakan salah satu permasalahan krusial yang dihadapi sekolah saat ini. Kurangnya rasa hormat kepada guru dan kecenderungan melakukan tindakan pembulian terhadap teman sebaya semakin marak terjadi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kurangnya perhatian dan kontrol dari orang tua sebagai pendidik utama. Pada era dewasa ini, orang tua lebih banyak memprioritaskan waktu dalam pekerjaan, lebih banyak menyibukkan diri dalam urusan rumah tangga sehingga melalaikan perhatian dalam bentuk dukungan emosional dan kasih sayang terhadap anak. Bagian yang lebih miris lagi, pendidikan anak sepenuhnya diserahkan di sekolah. Hal ini membuat anak merasa kurang dihargai dan dicintai dalam lingkungan keluarga sehingga mereka mencari perhatian dengan cara yang salah, seperti melakukan tindakan pembulian terhadap teman sebaya dan lain sebagainya. Data terbaru merilis bahwa terdapat 3 dampak buruk yang dihasilkan akibat menurunnya peran orang tua dalam keluarga yakni munculnya sikap individualisme, adanya jarak antara anak dan orang tua dikarenakan sibuk dengan dunianya masing-masing dan menurunnya harmonisasi keluarga (Pratiwi, Maulana, & Ismail, 2023). Menurut Glasser (2013) terdapat lima kebutuhan dasar manusia yakni bertahan hidup, kasih sayang dan rasa diterima, penguasaan, kebebasan dan kesenangan. Setiap murid di sekolah akan menunjukkan perilaku yang mencondongkan diri untuk memenuhi kebutuhan dasar ini sehingga bukan suatu kebetulan apabila demoralisasi menjadi marak terjadi. Melihat hal ini, kerja sama yang baik antara guru dan orang tua menjadi sangat penting untuk membangun pendidikan karakter dan mendorong inklusi sosial. Sinergitas ini dapat diwujudkan melalui beberapa langkah, antara lain:  Visitasi/kunjungan Guru ke Rumah Murid Kunjungan rumah atau visitasi antara sekolah dengan orang tua murid merupakan langkah strategis untuk membangun komunikasi dan kepercayaan antara keduanya. Dengan saling mengenal lingkungan rumah dan keluarga murid, guru mendapatkan informasi utuh tentang latar belakang dan kondisi murid di rumah. Kunjungan rumah juga menjadi kesempatan yang baik untuk mengingatkan tugas serta tanggung jawab orang tua untuk perkembangan dan keefektifan belajar murid di sekolah. Manfaat lainnya adalah guru dan orang tua lebih leluasa mendiskusikan perkembangan belajar dan perilaku serta bertukar ide untuk menciptakan solusi konkrit yang membangun dan mendukung pendidikan anak. Kunjungan rumah juga menjadi kesempatan untuk mengevaluasi secara langsung pengajaran yang diterima anak dari sekolah. Dengan demikian, terdapat hubungan timbal balik yang saling mendukung dan terjalinnya keberlanjutan pendidikan di rumah dan di sekolah. Melibatkan Orang Tua dalam Hasil Karya Murid Salah satu kegiatan yang melibatkan orang tua menilai dan menyaksikan hasil belajar anak dalam bentuk karya portofolio adalah student led conference (SLC). Kegiatan ini mengundang orang tua dari setiap anak untuk berperan sebagai audiens yang mendengar dan memberikan umpan balik, sedangkan murid berperan sebagai presenter. Kegiatan SLC dapat dikatakan sebagai perayaan proses belajar murid yang menunjukkan tanggung jawab terhadap pembelajaran yang telah diterima dan evaluasi terhadap hasil belajar. Secara tidak langsung keterlibatan orang tua terhadap proses belajar anak menunjukkan kepedulian, perhatian, dukungan, dan cinta kasih yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan belajar. Mengundang Orang Tua dalam Workshop Memahami Psikologi Anak Dikarenakan disibukkan dengan berbagai pekerjaan, sering kali orang tua terbawa suasana dengan masalah pekerjaan yang berdampak pada anak. Kesibukan ini pada akhirnya mengalihkan perhatian sekaligus mengabaikan kondisi kebutuhan ataupun orientasi perkembangan emosi anak berdasarkan umur dan lingkungannya. Beberapa peran orang tua dalam perkembangan emosi anak menjadi sangat penting. Sikap orang tua berperan untuk menuntun, mengawasi, mengontrol, mendisiplinkan dan menetapkan batasan yang diinginkan. Sikap orang tua juga menerima, memahami, menghargai dan mendukung apa yang menjadi kebutuhan, keinginan ataupun harapan anak. Peran-peran tersebut seharusnya selaras dilakukan di rumah dan di sekolah sehingga pendidikan yang didapatkan menjadi terarah dan tentunya akan mengikis sikap demoralisasi. Namun, ketidakidealan yang diharapkan menjadi kondisi nyata yang harus dihadapi. Oleh karenanya keterlibatan orang tua dalam kegiatan workshop tentang perkembangan psikologi anak di sekolah menjadi penting untuk keberlanjutan pendidikan karakter dan juga inklusi sosial murid. SDGs 10: Mengatasi Ketimpangan dalam Pendidikan SDGs 10 menekankan tentang pengurangan ketimpangan dalam dan antar negara, termasuk ketimpangan dalam pendidikan. Demoralisasi remaja menciptakan kelompok-kelompok eksklusivitas di sekolah dalam bentuk blok atau geng yang menghambat kolaborasi atau kerja sama antar murid. Hal ini merupakan bentuk manifestasi ketimpangan pendidikan. Murid yang dilabel nakal akan berkelompok dengan sesama murid yang sefrekuensi dan demikian juga peserta didik yang memiliki prestasi akan membentuk kelompok ataupun menjauhi kelompok yang bertolak belakang dengan dirinya. Hal ini dapat memperparah ketimpangan sosial antar murid dan kolaborasi menjadi sulit terjadi. Dengan sinergitas terjadi, peran guru di sekolah dan orang tua di rumah mampu memecahkan masalah ini. Di rumah, orang tua berperan memberikan ruang diskusi bagi anak sambil menanamkan nilai sikap yang seharusnya, sedangkan di sekolah anak diarahkan untuk merefleksikan tindakannya dan memikirkan solusi untuk menghentikan perilaku yang merugikan dan berfokus pada kolaborasi pembelajaran. SDGs 16: Menciptakan Masyarakat Damai dan Inklusif SDGs 16 bertujuan untuk mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan untuk semua, dan membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan. Kelompok-kelompok eksklusivitas di lingkungan murid dapat menghambat terciptanya masyarakat yang damai dan inklusif. Sinergitas guru dan orang tua dalam membangun pendidikan karakter dan mendorong inklusi sosial dapat membantu mengatasi permasalahan ini dengan menumbuhkan rasa toleransi, saling menghormati, dan menerima perbedaan antar individu baik di sekolah maupun di rumah. Kesimpulan Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sinergitas ataupun kolaborasi antara guru dan orang tua dalam pendidikan karakter anak sangat penting. Pendidikan karakter di rumah menjadi fondasi yang mengajarkan nilai yang akan berpengaruh dalam seluruh aspek kehidupan peserta didik terutama karakternya. Dukungan dan motivasi orang tua sangat dibutuhkan anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangan belajarnya menjadi manusia yang berkualitas. Peran guru dalam sebagai fasilitator menjadi penunjang yang mengarahkan karakter sesuai dengan nilai-nilai budaya dan profil pelajar pancasila. Kolaborasi guru dan orang tua yang intens dan berkelanjutan mampu memenuhi kebutuhan dasar peserta didik sehingga mengatasi masalah eksklusivitas yang menyebabkan ketimpangan sosial antar murid di sekolah. Referensi Glasser, W. (2013). Take Charge of Your Life: How to Get What You Need with Choice-Theory Psychology. Britania Raya: iUniverse. Pratiwi, N., Maulana, N. A., & Ismail, A. Z. (2023). Dinamika interaksi keluarga dalam era digital: Implikasi terhadap hubungan orang tua-anak. Socio Politica, Vol. 13(No. 2), 77~86. doi:http://dx.doi.org/10.15575/socio-politica.v13i2.26319 Rahayu, R. (2023, Oktober 28). Kronologi siswa SMA tantang guru berkelahi berujung dikeluarkan dari sekolah. Retrieved from detik.com: https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7006820/kronologi-siswa-sma-tantang-guru-berkelahi-berujung-dikeluarkan-dari-sekolah Rosa, N. (2023, Oktober 3). Data kasus bullying di sekolah, FSGI: 50% di jenjang SMP. Retrieved from deti.com: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6962155/data-kasus-bullying-di-sekolah-fsgi-50-di-jenjang-smp Utami, K. D. (2013, September 28). Murid aniaya guru di Demak, indikasi perlunya fasilitas konseling di sekolah. Retrieved from Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/09/28/penganiayaan-guru-diharapkan-jadi-titik-balik-evaluasi-fasilitas-konseling-di-sekolah Â