fbpx
Dokumentasi pribadi

Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan Siswa Kelas X Kolese Kanisius melalui Studi Kasus Perubahan dan Pelestarian Lingkungan.

Sebuah metafora 

“Teman-teman, mengapa Thanos sangat bersemangat mengumpulkan Infinity Stones?”. 

Pertanyaan pembuka ini selalu disambut dengan riuh oleh para Kanisian (siswa Kolese Kanisius, begitu kami menyebutnya). Berbagai jawaban muncul dan kami mulai menerka-nerka dalam diskusi, apa tujuan utama Thanos menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan batu-batu yang tak terbatas kekuatannya itu. Pada akhirnya, diskusi kami selalu berakhir dengan  kesimpulan bahwa meski cara yang dipilih tidaklah tepat, keinginan Thanos untuk mengurangi populasi semesta memiliki dasar keprihatinan yang nyata: agar tercipta keseimbangan populasi dengan sumber daya alam yang ada. Ia memiliki pengalaman buruk dengan apa yang terjadi di planet asalnya yaitu Titan, ketika populasi planet mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Situasi itu berakhir dengan kerusakan lingkungan parah yang berujung pada peperangan untuk memperebutkan sumber daya yang tersisa. Situasi tragis ini tidak perlu terjadi, menurut Thanos, jika warga Titan tidak menggunakan sumber dayanya secara berlebihan.  

Diskusi pembuka pelajaran di atas diilhami oleh film Avengers : Infinity Wars, sebuah metafora dampak kerusakan lingkungan yang dinarasikan secara apik oleh Christopher Markus dan Stephen McFeely. Pertanyaan selanjutnya yang kemudian muncul: apakah kerusakan lingkungan bisa sedemikian berdampak pada makhluk hidup yang tinggal di dalamnya atau apakah itu hanyalah imajinasi scriptwriters semata?  

Kisah senada yang terjadi di planet kita  

Kisah Pulau Paskah atau Rapa Nui di Samudra Pasifik merupakan sebuah catatan sejarah yang disebut oleh Jared Diamond sebagai ecocide atau bunuh diri ekologis. Melalui bukunya yang berjudul Collapse, Diamond menuliskan bahwa penggunaan sumber daya alam yang melebihi daya dukung lingkungan menyebabkan perubahan ekosistem Pulau Paskah yang awalnya hutan menjadi tanah tandus yang miskin unsur hara. Ironisnya, penggunaan sumber daya alam yang berlebih tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan populasi yang semakin membesar, tetapi juga untuk membuat moai (patung khas Pulau Paskah).  Moai merupakan tanda kejayaan sebuah klan. Semakin banyak dan besar moai yang dibuat, menandakan semakin jayanya supremasi klan pembuatnya.  

Sumber: https://www.smithsonianmag.com/

Saat ditemukan oleh penjelajah Eropa, moai yang menjadi saksi kemakmuran dan kekuasaan telah diabaikan oleh masyarakatnya sendiri. Bagaimana bisa masyarakat yang mampu membuat mahakarya seperti moai berakhir menjadi kelompok kecil? Pertanyaan ini kemudian terjawab seiring berbagai penelitian yang terjadi kemudian. Dikonfirmasi oleh ahli arkeologi, klimatologi, ahli sejarah, paleontologi dan palinologi, masyarakat Pulau Paskah tidak sengaja menghancurkan sumber daya lingkungan yang diandalkan oleh masyarakat mereka (Diamond, 2005: 5). Kerusakan lingkungan mulai terjadi ketika Pulau Paskah yang sebenarnya rapuh dan sumber dayanya terbatas serta lokasinya jauh dari pulau lain, mulai mengalami overpopulasi dan eksploitasi sumber daya. Penggundulan hutan terjadi secara masif karena hutan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian sementara kayunya digunakan untuk kremasi serta memindahkan moai dari tengah pulau ke tepi pantai. Situasi ini diperparah dengan curah hujan rendah serta angin laut yang mengikis lapisan topsoil yang tidak terlindungi oleh pohon sehingga mengurangi kesuburan tanah. Produksi pangan yang menurun di saat populasi sedang naik memicu kelangkaan pangan yang diikuti dengan perang antarklan untuk memperebutkan sumber daya alam yang tersisa. Jika direnungkan, kisah Pulau Paskah masa lalu mirip dengan yang digambarkan dalam film Avengers: Infinity Wars bukan?  

Studi kasus perubahan dan pelestarian lingkungan 

Kita cenderung kurang peduli terhadap kerusakan lingkungan ketika yang terdapat dalam lingkungan itu adalah milik bersama. Situasi ini disebut oleh Diamond sebagai tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the common). Dalam kasus Pulau Paskah, hutan dianggap sebagai sumber daya alam milik bersama yang tidak terbatas. Asumsi ini menyebabkan penduduk pulau bersama–sama memanen sumber daya hutan secara berlebihan.   Berkaca dari sejarah tersebut, jika kita tidak ingin mengalami tragedi yang sama, diperlukan sebuah langkah untuk menanamkan kesadaran diri kita saat ini, terutama kesadaran bahwa sumber daya alam dan lingkungan yang tidak dikelola dengan bijaksana akan berdampak pada keseluruhan makhluk hidup termasuk manusia di dalamnya. 

Kembali ke proses pembelajaran di Kolese Kanisius, salah satu langkah yang diharapkan bisa memunculkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan bagi siswa yang terletak di kota, adalah dengan melakukan studi kasus dari berbagai peristiwa kerusakan serta pelestarian lingkungan. Melalui studi kasus, siswa tidak sekadar menghafal cerita namun juga diarahkan untuk lebih melihat pola kejadian dan mengambil makna dari berbagai peristiwa. Barangkali, ada pelajaran praktis yang bisa kita ambil untuk tidak mengulang sejarah perih yang sama.  

Kasus yang dipelajari para Kanisian adalah peristiwa kerusakan lingkungan yang senada dengan pulau Paskah. Dari masa lalu, kasus yang dipelajari adalah hilangnya peradaban Anazazi dan suku Maya akibat kesalahan pengelolaan lahan pertanian. Sementara itu sebagai contoh kasus aktual, siswa diajak menganalisis kerusakan tanah di Australia karena benua yang kering nan miskin unsur hara tersebut dikelola dengan gaya peternakan Eropa. Dari negeri kita, kasus yang dibahas diambil dari film dokumenter Pulau Plastik yang menarasikan Indonesia sebagai tempat pembuangan sampah plastik dari luar negeri yang akhirnya berdampak pada pencemaran tanah di Jawa Timur. Tak hanya soal kerusakan, ada pula studi kasus yang memunculkan optimisme bahwa pelestarian bisa dilakukan dari skala yang kecil hingga besar.  Referensi yang diambil adalah film Kiss the Ground. Film tersebut mengulas upaya sekelompok orang untuk mengurangi laju global warming melalui langkah yang sederhana yaitu menjaga kehidupan mikroorganisme tanah. Setelah melakukan penelusuran dari berbagai sumber, Kanisian saling bergantian mempresentasikan hasil studi kasus yang mereka lakukan.  

 

Refleksi para Kanisian   

Refleksi para Kanisian diperoleh dari form refleksi yang diisi setelah pembelajaran selesai. Pertanyaan refleksi meliputi: 1) Hal apa yang berkesan dari proses studi kasus kerusakan lingkungan dan 2) Kesadaran apa yang muncul setelah mempelajari kasus perubahan dan pelestarian lingkungan? Diharapkan melalui refleksi,  siswa dapat mengendapkan pelajaran yang dipelajari serta mengambil makna dari setiap peristiwa. Bagian tulisan terkait refleksi ini adalah narasi rangkuman hasil refleksi 52 orang Kanisian.

Studi kasus hilangnya peradaban Pulau Paskah, suku Anazazi dan suku Maya, menyadarkan Kanisian bahwa manusia membutuhkan lingkungan dan tidak bisa hidup tanpa alam. Pembelajaran ini memberikan pengingat bahwa tindakan pengabaian kecil yang terus berulang akan berdampak dengan cara yang tidak terduga pada lingkungan, misalnya pada rusaknya tanah karena hilangnya tutupan hutan.  Sejarah kerusakan lingkungan memiliki pola: eksploitasi sumber daya dipadu dengan overpopulasi manusia menyebabkan kepunahan massal di berbagai peradaban. Meskipun diandaikan berkembang seiring waktu, manusia nyatanya cenderung mengulang kesalahan yang sama terkait lingkungan seperti eksploitasi sumber daya alam yang terjadi di Australia saat ini. Jangan sampai manusia baru sadar ketika kerusakan sudah tampak masif dan terlambat ditangani. Dalam refleksinya, seorang siswa menuliskan demikian,

Manusia dapat berakhir karena adanya perang demi sumber daya yang tersisa. Kita pastinya tidak mau bumi sebagai rumah kita satu-satunya hancur lebur seperti planet asal Thanos.”

Kesadaran akan dampak tindakan sehari–hari juga muncul dalam hasil refleksi. Melalui film Kiss The Ground dan Pulau Plastik, siswa diingatkan bahwa untuk menjaga keberlangsungan kehidupan, manusia harus berubah dari langkah kecil, misalnya dengan lebih bijaksana dalam memakai sumber daya serta bertindak secara nyata. Tantangannya adalah bahwa  aksi konkret untuk merawat lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab manusia dalam menjaga bumi kita bersama, seperti halnya setiap tindakan kita yang merusak lingkungan, sangat jarang langsung terlihat dampaknya secara instan.

 Pendidikan yang menumbuhkan kesadaran

Studi kasus yang dilakukan di kelas X Kolese Kanisius menjadi pengingat bagi Kanisian dan juga saya sebagai guru. Perubahan dan pelestarian lingkungan bukanlah sekadar materi  yang harus dihafal namun juga soal kesadaran, yakni kesadaran bahwa sekian milyar orang menggantungkan hidupnya dalam planet yang sama yang sedang mengalami kerusakan di sana-sini. Bumi rusak karena pengabaian yang bersifat akumulatif dan oleh karena itu penanganannya pun memerlukan kesadaran kolektif.  

Upaya global sudah dilakukan untuk menjaga agar kehidupan kita lebih baik dan berkelanjutan. Upaya tersebut salah satunya tampak dalam 17 tujuan SDGs yang dicanangkan oleh PBB dan kemudian dijabarkan dalam berbagai program di berbagai negara. Dalam konteks ini, menurut saya studi kasus sebagai sebuah cara belajar merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan SDGs nomor 4 yaitu pendidikan yang berkualitas. Lebih jauh, proses belajar ini dapat menyasar target 4-7 yaitu pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan gaya hidup berkelanjutan. Ketika siswa menemukan sendiri pola kerusakan lingkungan serta dampak yang ditimbulkan, pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang lebih mendalam dibandingkan dengan penjelasan teoritis di kelas. Agaknya, jauh lebih mudah mengarahkan generasi muda untuk menjalani gaya hidup berkelanjutan yang hemat sumber daya jika mereka sudah dibekali pemahaman bahwa setiap tindakan pasti akan berdampak pada bumi dan akhirnya akan kembali ke manusia sendiri. 

Proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan bisa dikaitkan dengan tujuan SDGs lain seperti penanganan perubahan iklim, perawatan ekosistem laut dan darat, ataupun tujuan-tujuan lainnya. Aksi nyata untuk mencapai SDGs mungkin akan terasa dampaknya jika berangkat dari kesadaran bahwa kita hanya hidup di satu planet kecil yang harus dijaga bersama. Kesadaran banyak orang, dalam hal ini terutama generasi muda, perlu semakin banyak dimunculkan seperti yang telah diupayakan dalam proses pendidikan terkait lingkungan pada siswa kelas X Kolese Kanisius. Sebagai penutup, berikut adalah refleksi seorang Kanisian yang cukup meneguhkan: “Manusia yang terdidik haruslah bijak dalam menggunakan sumber daya alam agar tidak merusak kehidupan manusia.”

Bumi adalah panggung sangat kecil di area kosmis yang sangat luas.

Planet kita adalah titik sendirian di luasnya kegelapan kosmos yang melingkupinya. Dalam ketidakberartian kita dalam keluasan alam semesta, tidak ada tanda-tanda bahwa dari tempat lain akan datang pertolongan yang akan menyelamatkan kita dari diri kita sendiri.

(Sagan, 1994: 6).

Referensi :    

Diamond, J. 2005. Collapse. Jakarta: KPG.

Sagan, C. 1994. Pale Blue Dot : Memandang Masa Depan Manusia di Antariksa. Jakarta:  KPG.

https.://sdgs.bappenas.go.id/17-goals/goal/4