fbpx
Skema Kearifan Tata Ruang Masyarakat Jawa Barat (Sunda) dengan Fungsinya

“GAKOJAMASI” EDUKASI MITIGASI BENCANA BERBASIS KEARIFAN LOKAL JAWA BARAT DI SMA

“GAKOJAMASI”

EDUKASI MITIGASI BENCANA BERBASIS KEARIFAN LOKAL

JAWA BARAT DI SMA

Oleh:  Rusmana

  1. Prawacana

Menurut laporan Bank Dunia yang bertajuk The Atlas of Sustainable Development Goals 2023, dalam delapan tahun terakhir ini merupakan periode terpanas yang pernah tercatat. Laporan penelitian iklim terbaru yang diterbitkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan bahwa atmosfer bumi, lautan, dan ekosistem sedang mengalami perubahan luas. Berdasarkan klasifikasi The International Disasters Database hal itu dapat memicu  bencana terkait iklim termasuk di Indonesia.

Di beberapa tempat, komunitas adat mampu mempertahankan “daya dukung” dan “daya lenting” lingkungan dari gempuran bencana (Alam maupun akibat ulah manusia) berbekal “kearifan local” yang dijadikan pegangan hidup mereka. Kearifan lokal bangsa Indonesia yang hingga saat ini masih dipelihara oleh masyarakat, berawal dari  tingginya potensi bencana yang memaksa nenek moyang kita untuk belajar bagaimana cara menghadapi atau memitigasi bencana hingga saat ini cara tersebut menjadi budaya terbalut aturan yang tidak tertulis namum diyakini kebermanfaatannya.

Merujuk uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa kita tidak mungkin mengelak dari bencana, yang dapat dilakukan adalah bagaimana kita belajar hidup berdampingan dengan bencana.  Irisan keduanya (belajar hidup dan wilayah rawan bencana) adalah mengedukasi (SDGs no. 4) proses mitigasi bencana yang salah satunya akibat perubahan iklim (SDGs no.13) memanfaatkan apa yang telah  leluhur kita wariskan dalam bentuk kearifan lokal melalui gerakan “3Re” yakni Reinventarisir, Revitalisasi dan Rekonstruksi. Gerakan ini kemudian dijabarkan lebih detail melalui langkah-langkah yang dinamai “GAKOJAMASI” akronim dari Galang (gali ulang), Kolang (koleksi ulang), Jalang (pelajari ulang), Malang (maknai ulang), dan Silang (rekonstruksi ulang).

Timbul pertanyaan, mengapa harus diimplementasikan pada anak SMA?. Mereka ini (yang sekarang duduk di bangku SMA) lima, sepuluh tahun ke depan menjadi pelaku utama, pengambil kebijakan dalam menentukan nasib dunia ini ke depan, dan perlu diingat merekalah nanti menjadi “bonus demografi” yang apabila kita bekali dengan beragam kearifan local positif, ,maka harapan kita tentang tata kelola dunia melalui tujuan pembanguanan yang berkelanjutan (SDGs)  akan terwujud.

  1. Mengenal Kearifan Lokal Jawa Barat dalam Tata Ruang

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menyajikan beberapa kearifan lokal masyarakat Jawa Barat (Sunda) berkaitan dengan pengelolaan tata ruang dihubungkan dengan kegiatan mitigasi bencana. Pada dasarnya mitigasi dilaksanakan untuk menghadapi berbagai jenis bencana, baik itu bencana alam (natural disaster) maupun bencana akibat ulah manusia (man-made disaster). Tujuan utama mitigasi adalah untuk mengurangi atau bahkan meniadakan risiko dan dampak bencana.

Dalam pengelolaan tata ruang dan zonasi penggunaan lahan, masyarakat Sunda  menurut Suganda (2006)  dapat dibedakan menjadi tiga kawasan. Kawasan suci, kawasan bersih dan kawasan kotor. Analogi kawasan suci ini adalah daerah yang dijadikan tempat konservasi ekologis bagi masyarakat. Kawasan bersih merupakan wilayah yang dieruntukkan bagi perumahan dan fasilitas pendukung lainnya. Kawasan kotor, kawasan ini memiliki banyak fungsi, selain sebagai tempat bebersih, juga tempat melakukan budi daya ikan, tanaman sayuran serta tempat mengolah padi menjadi beras dengan peralatan sederhana yang namanya lisung. (Iskandar,72:2009)

Penulis mencoba menyampaikan beberapa kearifan lokal masyarakat Sunda terkait tata ruang yang dibahas di atas. Adapun kearifan lokal yang dimaksud adalah buruan, imah panggung, sumur, pacilingan, balong dan talun. Dibahas satu persatu berdasarkan struktur dan fungsi-fungsi (sosial, ekologis dan mitigasi) serta pada bagian akhir pembahasan, penulis mencoba memberikan sumbang saran tentang implikasinya bagi pembelajaran di Sekolah Menengah Atas (SMA).

  1. Buruan (Halaman Rumah)

Buruan atau halaman depan rumah biasanya berupa tanah kosong yang memilki fungsi yang beragam. Dalam konteks masyarak Sunda, buruan berfungsi sebagai tempat interaksi sosial, tempat bermain anak-anak juga tempat berlangsungnya ritual hajatan. Dalam konteks ekologis, fungsi buruan sangatlah strategis, selain sebagai kawasan resapan air hujan, tempat budi daya tanaman obat-obatan (apotek hidup) juga tumbuhnya tanaman pagar yang berfungsi menahan debu atau partikel asap yang berasal dari luar lingkungan rumah sebagai polutan.

 

 

  1. Imah Panggung (Rumah Panggung)

Jika kita cermati, rumah panggung seperti pada gambar di atas mempunyai sejumlah fungsi, di antaranya : 1) Anti Banjir . Pada umumnya, rumah panggung dibangun di atas perairan, baik itu di atas laut, sungai, rawa-rawa, danau, maupun persawahan. Tujuannya yaitu agar seseorang bisa hidup di wilayah perairan dengan aman tanpa takut rumahnya terkena banjir. 2)  Aman terhadap binatang buas, bagi masyarakat yang tinggal di wilayah daratan, pembangunan rumah panggung bertujuan untuk menghindarkannya dari binatang buas. 3). Tahan Gempa, rumah panggung merupakan salah satu rumah yang tahan terhadap guncangan gempa. Hal ini disebabkan oleh penggunaan material kayu yang bersifat elastis sebagai bahan utama pembangun rumah. Sedangkan, batu hanya sebatas digunakan sebagai tiang penyangga rumah tersebut (tatapakan).

  1. Sumur

Fungsi utama dari sumur adalah sebagai sumber air bagi penghuni, juga tempat menampung air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah. Beberapa Fungsi sumur resapan, antara lain pengendali banjir, konservasi air tanah, serta   menekan laju erosi, dengan adanya penurunan aliran pcrmukaan maka laju erosi pun akan menurun. Apabila aliran permukaan menurun, tanah-tanah yang tergerus dan terhanyut pun akan berkurang. Dampaknya, aliran permukaan air hujan kecil dan erosi pun akan kecil.

 

  1. Pacilingan (Toilet)

Pacilingan atau toilet merupakan fasilitas  untuk membuang “hajat” bagi sebagian masyarakat pedesaan di wilayah Jawa Barat. Bangunan sederhana yang terbuat dari bilik (anyaman bambu), biasanya berada di atas kolam atau aliran sungai. Biasanya, pacilingan berdekatan dengan sumur dan fasilitas MCK lainnya, sehingga, pacilingan juga berperan dalam interaksi soaial masyarakat sambil menunggu giliran. Selain itu pacilingan juga berperan sebagai tempat berlangsungnya daur energi dan konservasi kesuburan tanah.

 

 

 

 

 

  1. Balong (Kolam Ikan)

Balong atau kolam merupakan ekosistem khas orang Sunda yang memilki banyak fungsi, seperti  penampungan air buangan dari pancuran atau pacilingan (lihat gambar pacilingan),  tempat memelihara bermacam ikan (Iskandar, 74:2009) yang sebagian besar menjadi sumber protein hewani bagi penghuni rumah dan lingkungan sekitar sekiranya hasil panen berlebih.

Di dalam balong terdapat beragam tumbuhan air yang berfungsi membantu penyaringan racun (limbah yang masuk) secara biologis, seperti tanaman eceng (Eichornia crassipes), kangkung (Ipomea aquatica), genjer (Limnocharis flava) dan tanaman aquatik lainnya.

  1. Talun (Kebun Campuran)

Talun adalah salah satu sistem agroforestry yang khas, ditanami dengan campuran tanaman tahunan/kayu (perennial) dan tanaman musiman (annual), dimana strukturnya menyerupai hutan. Fungsi ekologis, talun diposisikan sebagai tempat berlangsungnya interaksi beragam mahluk hidup dalam konteks relung atau nisianya masing-masing. Beragam tumbuhan yang biasanya  dikaitkan pula dengan kebutuhan sandang dan pangan masyarakat sekitar talun tersebut.

 

 

  1. Kearifan Lokal sebagai Upaya Mitigasi Bencana serta Implikasinya dalam Pembelajaran di Sekolah Menengah Atas (SMA)

Setelah kita mengetahui beragam kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai media mitigasi  bencana, bagaimana kelanjutan atau implikasinya bagi pembelajaran di SMA?. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis mencoba merumuskan langkah-langkah sebagai upaya menyebarluaskan informasi kearifan lokal yang kita miliki untuk kemudian dijadikan materi kajian dalam pembelajaran di SMA. Adapun langkah tersebut meliputi tiga tahapan, tahap reinventaris, revitalisasi dan rekonstruksi.

Dalam tahap reinventarisir, langkah pertama yang dilakukan adalah menggali ulang nilai-nilai kearifan lokal yang ada dan berkembang di masyarakat melalui kajian mendalam melibatkan para ahli, praktisi dan tokoh masyarakat adat serta pemerintahan setempat, bertujuan memperoleh informasi tentang kearifan lokal yang masih ada ataupun yang sudah ditinggalkan oleh masyarakatnya. Pada tahapan ini, inventarisir sebanyak-banyaknya kearifan local bernilai positif serta kelompokkan berdasarkan kepentingan dan kriteria yang telah ditentukan. Tahapan berikutnya, yakni mengoleksi ulang nilai-nilai kearifan lokal tersebut untuk dapat dipetakan manfaat dan kegunaannya dalam konteks mitigasi bencana.

Langkah berikutnya, melakukan revitalisasi nilai-nilai yang diperoleh melalui tahapan pelajari ulang dan  integrasikan ulang. Dalam tahapan ini, informasi kearifan lokal yang diperoleh dikaji kebermanfaatan, kepraktisan dan kemungkinan pemanfaatannya pada masa sekarang, sehingga dari tahap ini, diperoleh informasi lebih akurat dan spesifik serta kemungkinan operasional di lapangan terkait proses mitigasi bencana. Pada tahapan berikutnya, maknai ulang, informasi yang telah kita peroleh sebelumnya dirasionalisasikan dalam kontek kekinian dan disesuai dengan perkembangan psikologis anak, sehingga mudah dimengerti dan dilaksanakan. Libatkan pula kondisi kejiwaan yang memungkinan nilai kearifan local diterima serta adaptif terhadap kondisi kekinian tanpa meninggalkan esensi kearifan local tersebut.

Proses berikutnya merekonstruksi ulang, melalui tahapan pengintegrasikan konsep atau nilai kearifan  lokal ke dalam muatan kurikulum khususnya SMA yang berlaku melalui proses linierisasi dengan Capaian Pembelajaran (CP). Misalnya fungsi ekologis balong atau kolam dalam proses daur materi dan daur energi serta menjadi daerah tangkapan air pada musim hujan guna mencegah banjir, sangat linier dengan CP.IPA di kelas X yang berbunyi  “menganalisis data perubahan lingkungan dan dampak  perubahan tersebut bagi kehidupan”. Dengan demikian marteri mitigasi bencana yang berbasis kearifan lokal dapat dijadikan materi/ suplemen  CP tersebut, bahkan dapat dijadikan pendekatan pembelajaran berbasis proyek (PJBl) yang merupakan salah satu ciri kurikulum Merdeka secara kolaboratif.

  1. Simpulan

Sebagai khasanah budaya, kearifan lokal dapat dijadikan media mengedukasi masyarakat dalam proses mitigasi bencana, termasuk kearifan lokal masyarakat Jawa Barat yang sebagian besar di huni oleh suku Sunda. Buruan, imah panggung, sumur,pacilingan, balong dan talun merupakan sebagian kecil dari kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana termasuk bencana akibat terjadinya perubahan iklmi seperti banjir, kekringan, dan lain sebagainya melalui kajian fungsi sosial, fungsi ekologis dan fungsi mitigasinya.

Sebagai implikasi dari kajian kearifan lokal masyarakat Jawa Barat dalam pembelajaran  di SMA dapat dilakukan melalui tiga tahapan yakiti reinvetarisir, revitalisasi dan rekonstruksi yang secara lengkap ke tiga tahapan tersebut meliputi langkah gali ulang (galang), koleksi ulang (kolang), pelajari ulang (jalang), maknai ulang (malang), integrasi ulang (silang) dan menginternalisasikannya dalam pembelajaran.

 

Rujukan:

Iskandar, Johan. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelajutan. PSMIL-Unpad: Bandung

Suganda, H. 2006. Kampung Naga Mempertahankan Tradisi. Kiblat Baru Utama: Bandung