Yakhin Maufa 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Rendahnya Kualitas Pendidikan; Salah Persepsi atau Salah Eksekusi Beberapa tahun lalu, Pemerintahan NTT terkhususnya di bagian pendidikan dikejutkan dengan pernyataan dari Mendikbud, Muhadjir Effendi menanggapi hasil survei Program for International Student Assesment (PISA) yang menempatkan kualitas pendidikan Indonesia pada peringkat terendah. Dilansir dari harian Kompas edisi 13/12/17, Survei yang dilakukan PISA pada tahun 2015 terhadap 540.000 siswa yang berusia 15 tahun di 72 negara, menempatkan indonesia pada peringkat ke-64 dalam bidang Matematika, peringkat ke-65 dalam bidang ilmu pengetahuan dan peringkat ke-66 dalam kategori membaca. Indonesia tertinggal jauh dari dua negara ASEAN lain yang ikut dalam survei yaitu Vietnam dan Singapura. Singapura menyapu bersih semua peringkat, sedangkan Vietnam berada pada peringkat ke-22 untuk bidang matematika, peringkat ke-8 untuk bidang ilmu pengetahuan dan peringkat ke-23 dalam kategori membaca.   Muhadjir Effendi berkomentar bahwa sampel yang dipakai PISA adalah siswa-siswi dari NTT. Pernyataan ini lantas membuat masyarakat NTT merasa tersinggung karena NTT dijadikan sebagai ikon kualitas pendidikan yang rendah. Melalui opininya yang dilansir harian harian Kompas edisi 13/12/17 Beni K. Harman, Anggota DPR-RI, mengatakan bahwa pernyataan pemerintah yang mengkambinghitamkan NTT sebagai penyebab rendahnya kualitas pendidikan adalah sebuah kesalahan cara pandang. Banyak faktor di luar SDM yang mempengaruhi rendahnya kualitas pendidikan.  Namun terlepas dari semua itu, rendahnya kualitas pendidikan di NTT memang sudah menjadi sorotan dari pemerintahan pusat sejak lama. Rendahnya kualitas pendidikan di NTT dapat dilihat dari beberapa indikator salah satunya adalah Indeks Pembangun Manusia (IPM). IPM sendiri adalah data yang menjelaskan bagaimana penduduk dapat memperoleh hasil pembangunan dan hak yang seharusnya diterima termaksud pendidikan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Indeks, sejak tahun 2010 hingga 2016 Pembangunan Manusia di NTT masih berada di peringkat ekor, bersaing bersama dua provinsi dari Papua. Di tahun 2010, IPM provinsi NTT berada pada peringkat ke-32 dengan presentase 52,31%, tahun 2011, 2012, 2013, 2014 naik satu tingkat ke peringkat 31 dengan presentase masing-masing 60,24% dan 60,81%, 61,68%, dan 62,26%. Di tahun 2015 dan 2016, turun lagi ke peringkat ke-32 dengan presentase 62,67% dan 63,13%. Dari data di atas dapat dilihat bahwa IPM provinsi NTT memang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya namun belum bisa mencapai presentase IPM nasional. Rendahnya IPM menjadi cerminan dari rendahnya kualitas pendidikan di NTT. Sindiran yang dikeluarkan Kemendikbud memang terdengar sangat argumentatif, tetapi pada kenyataanya kualitas pendidikan di NTT memang sangat rendah. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang memegang tanggung jawab pun menjadi objek yang paling disalahhkan. Pemerintah pusat dituding tidak merata dalam hal APBN karena dana APBN lebih dikonsentrasikan ke pulau Jawa. Dana APBN yang dikucurkan pun lebih banyak dialokasikan ke daerah. Pemerintah daerah NTT juga disalahkan karena hanya mengalokasikan 2,7% dana APBD untuk pendidikan. Namun jika kita melihat lebih luas lagi, pemerintah bukan hanya satu-satunya objek yang disalahkan. Semua elemen dalam sebuah pemerintahan memiliki porsi kesalahan masing-masing dalam masalah rendahnya kualitas pendidikan di NTT. Setiap elemen dalam sebuah pemerintahan pantas menjadi tersangka dalam masalah ini. Setiap elemen mempunyai porsi kesalahan masing-masing, termaksud masyarakat. Lantas dalam bagian manakah masyarakat menyumbang kesalahan? Masyarakat menyumbang kesalahan dalam hal persepsi mengenai pendidikan. Persepsi yang menentukan bagaimana suatu hal akan dieksekusi. Salah persepsi dari masyarakat menjadi biang kerok dari masalah rendahnya kualitas pendidikan di NTT. Masyarakat NTT mungkin telah mengerti mengapa pendidikan sangat penting. Namun apakah persepsi masyarakat mengenai pendidikan itu sudah benar sesuai pengertian pendidikan yang sejatinya? Atau apakah persepsi mengenai pendidikan itu benar namun eksekusinya salah? Faktor seperti kurangnya alokasi dana APBN atau APBD dan fasilitas hanyalah hal teknis yang menjadi pendukung dalam pendidikan. Persepsi mengenai pendidikan lah yang paling penting. Persepsi yang benar membawa pada semangat untuk mencapai suatu tujuan. Demikian juga mengenai pendidikan, persepsi yang benar lah, yang membawa semangat belajar. Jika semangat belajar dimiliki setiap siswa-siswi, maka dengan sendirinya, kualitas pendidikan dapat didongkrak naik. George R. Knight seorang profesor, pendidik, dan sejarahwan dari Universitas Andrews, Michigan AS dalam bukunya Filsafat pendidikan menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses seumur hidup yang dapat terjadi dalam berbagai konteks dan keadaan yang tidak terbatas oleh sekolah, kurikulum, maupun metode yang digunakan oleh sekolah. Proses yang dimaksud dari seorang George R. Knight disini adalah proses dari tidak tahu menjadi tahu. Walaupun tidak terbatas oleh sekolah, kurikulum, maupun metode, George R. Knight menegaskan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang didalamnya membutuhkan kontrol oleh orang lain supaya mencapai tujuannya. Pada intinya, pengertian pendidikan yang disampaikan oleh George R. Knight tidak hanya terbatas pada sekolah dan hal teknis lainya, namun pendidikan berpusat pada proses dan tujuan yang jelas yang harus dicapai yaitu dari tidak tahu menjadi tahu. Persepsi seperti inilah yang belum dimiliki masyarakat di NTT. Masyarakat hanya memahami pendidikan sebagai media atau alat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, bahkan lebih buruk dari itu, masyarakat memahami pendidikan sebagai penentu strata dalam masyarakat. Semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi juga strata dalam masyarakat. Orang tua berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku kuliah hanya untuk terlihat hebat di dalam masyarakat tanpa melihat apakah pendidikan tersebut dapat membawa perubahan bagi anaknya ataupun lingkungan sekitar. Persepi lain yang lebih buruk lagi adalah pendidikan hanya sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pekerjaan yang membutuhkan gelar sarjana seperti PNS dianggap lebih bergengsi dibandingkan pekerjaan lain. Hal ini menyebabkan jurusan kuliah seperti perawat dan guru lebih dipilih. Data BPS NTT menunjukan jumlah mahasiswa FKIP di Undana selalu mendominasi, pada 2016 sebanyak 10.553 orang dari total 26.758 mahasiswa di semua fakultas. Begitupun di Politeknik Kesehatan Kupang, mahasiswa jurusan keperawatan sebesar 1.104 orang diikuti jurusan kebidanan sebesar 465 mahasiswi. Angka ini kemungkinan meningkat dalam dua tahun terakhir. Jumlah mahasiswa dan lulusan yang banyak ini tidak bisa ditampung melihat jumlah lapangan kerja yang kurang.  Persepsi seperti ini yang membuat masyarakat hanya terpaku pada pendidikan formal di sekolah. Sehingga jika kualitas pendidikan buruk maka yang disalahkan adalah hal-hal teknis seperti fasilitas pendidikan dan lain-lain. Masyarakat sudah seharusnya mengembalikan persepsi mengenai pendidikan kepada pengertian pendidikan sebenarnya. Pendidikan yang merupakan sebuah proses yang tidak terbatas oleh apapun dengan tujuan menjadi tahu. Tugas yang berat berada di tangan pendidik maupun tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk mengembalikan persepsi masyarakat mengenai pendidikan. Melalui persepsi yang benar mengenai pendidikan dapat membantu untuk memperbaiki wajah pendidikan di NTT. Referensi  Harian Kompas Edisi 13 Desember 2017  Knight, G. R. (2009). Filsafat dan Pendidikan: Sebuah Pendahuluan dan perspektif Kristen. Jakarta. UPH Press.