Christania Paruntu a public health practitioner 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Mewujudkan dunia yang damai, aman dan makmur merupakan salah satu ambisi yang ingin dicapai Sustainable Development Goals (SDGs). Langkah-langkah untuk mencapai ambisi tersebut lebih lanjut dirincikan pada indikator-indikator dalam tujuan 16 SDGs sebagai tahapan untuk mencapai perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh, termasuk pengurangan segala bentuk kekerasan secara signifikan. Dalam masa dekade aksi (decade of action) menuju tahun 2030 yang tinggal 8 tahun lagi, upaya untuk mengurangi angka kekerasan secara signifikan tidaklah mudah. Bahkan saat pandemi COVID-19 mulai merebak ke Indonesia sejak tahun 2020, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak cenderung meningkat, dan yang lebih memprihatinkan lagi, dari sebagian besar kasus kekerasan yang terjadi, pelakunya berasal dari lingkup keluarga atau orang terdekat korban.    Upaya pencegahan kasus kekerasan dapat melalui keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat namun menjadi unit yang paling penting bagi tumbuh kembang manusia. Keluarga dikenal sebagai “sekolah individu pertama” karena langkah-langkah awal dalam kehidupan individu didapatkan dalam keluarga, yang akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban suatu bangsa. Semakin buruk hubungan antar-individu dalam sebuah keluarga maka peluang terbentuknya individu-individu dengan moral rendah akan semakin tinggi bahkan cenderung membiasakan kejahatan. Sebaliknya, semakin baik hubungan antar-individu dalam sebuah keluarga maka akan membentuk individu-individu yang beradab dan keluarga yang ideal, sehingga dapat meminimalisir potensi terjadinya kejahatan termasuk segala bentuk kekerasan. Terwujudnya keluarga yang ideal dimulai dari kesiapan seorang laki-laki dan perempuan (calon pengantin) yang berkomitmen untuk menikah. Kesiapan calon pengantin yang dimaksud harus mencakup berbagai aspek seperti aspek keimanan terhadap Tuhan, aspek kesiapan mental dan raga aspek kestabilan ekonomi dan aspek-aspek lainnya bahkan termasuk aspek kesediaan kedua belah pihak untuk menikah tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Untuk mencapai sebuah kesiapan yang komprehensif dari aspek-aspek tersebut dapat ditempuh melalui pre-wedding courses.    Beberapa agama yang diakui oleh Indonesia sudah menerapkan secara internal metode pre-wedding courses atau kursus pra-nikah atau bimbingan sebelum nikah ini. pre-wedding courses kemudian mulai lebih dikenal lebih luas oleh masyarakat terlebih setelah kementerian agama mengeluarkan pedoman kursus pra-nikah. Namun, implementasi pre-wedding courses di Indonesia dominan dilakukan hanya untuk formalitas semata. Seperti dijalankan hanya beberapa hari menjelang pernikahan dilaksanakan atau dilaksanakan dari jauh-jauh hari namun hanya menekankan dari segi aspek pengetahuan saja. Padahal pengoptimalan pre-wedding courses sebelum pernikahan suci dilangsungkan seyogyanya dapat mengantisipasi kejadian yang tidak diingikan dalam keluarga. Ibarat membangun sebuah rumah, maka dibutuhkan fondasi yang kokoh sehingga rumah tersebut tidak akan goyah. Pre-wedding courses menjadi fondasi yang tepat untuk keluarga yang kokoh. Idealnya pre-wedding courses yang harus dilalui oleh calon pengantin harus mencakup tiga hal seperti Pshycology asessment, Physical Assesment dan Pembekalan Pengetahuan Tentang Dunia Rumah Tangga.    Pshycology assesment dilakukan untuk menganalisa sejauh mana calon pengantin siap membangun rumah tangga secara batiniah. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “dunia pacaran tidak mampu menyingkap topeng pasangan”, artinya saling mengenal lewat pacaran saja tidak cukup. Hal ini juga berlaku bagi calon pengantin yang memilih untuk tidak berpacaran melainkan langsung masuk ke jenjang pernikahan. Pshycology assesment akan dipandu oleh psikolog pernikahan atau pakar di bidang psikologi pernikahan untuk menganalisa karakter, sifat bahkan hal yang disukai atau tidak disukai oleh masing-masing calon pengantin untuk diketahui oleh masing-masing calon pengantin tentunya sebelum melakukan janji suci sehidup-semati. Misalnya, calon suami memiliki sifat yang tidak sabaran sehingga mau segalanya berjalan secara cepat sedangkan calon istri memiliki kebiasaan yang teliti sehingga segala hal yang dilakukan cenderung berjalan lambat atau contoh lain misalnya calon suami menginginkan seorang wanita yang kelak menjadi ibu rumah tangga dengan aktivitas terbatas pada mengurus keluarga setelah menikah sedangkan calon istri ingin menjadi wanita karir dan menginginkan suaminya memahami hal tersebut setelah menikah. Di tahapan inilah kedua belah harus saling mengetahui sifat dan kebiasaan masing-masing, bersepakat untuk saling memahami dan jika ada yang agak keberatan, harus mencari solusi bersama dan dapat dibimbing oleh pakar pernikahan untuk dapat diterapkan saat sudah menikah nanti, sehingga dapat meminimalisir konflik terjadi. Karena salah satu pemicu kekerasan terjadi di keluarga adalah ketidaksiapan psikologis dari suami atau istri atau bahkan keduanya yang menyebabkan kesalahpahaman, pertengkaran dan potensi besar berujung pada kekerasan.    Physical assesment bertujuan untuk menganalisa kesiapan calon pengantin secara lahiriah. Kesiapan fisik tidak kalah pentingnya dengan kesiapan mental, karena selain berpengaruh terhadap terhadap suami-istri, kesiapan fisik juga sangat menentukan kesehatan keturunan dari pernikahan tersebut. Maka, assesment ini juga bertujuan menganalisa kesiapan masing-masing pengantin untuk melanjutkan keturunan. Sebagian besar pasangan ketika menikah ingin mempunyai anak, namun sering tidak didukung oleh kesiapan fisik calon pengantin, misalnya masalah kemandulan yang cenderung jarang untuk dibahas sebelum pernikahan karena masih dianggap tabu dan tidak etis oleh Masyarakat Indonesia pada umumnya. Sayangnya pihak perempuan selalu disalahkan apabila pasangan suami istri tidak dianugerahi keturunan, padahal masalah kemandulan bisa diakibatkan oleh pihak laki-laki bukan hanya pihak perempuan saja. Persoalan ini tidak jarang dapat berujung pada kekerasan verbal maupun non-verbal terhadap perempuan. Maka assesment ini diperlukan sebelum pernikahan dilaksanakan, sehingga apabila terdeteksi potensi halangan untuk mendapat keturunan, kedua belah pihak harus memastikan siap dengan kondisi tersebut bahkan dapat bersama-sama memberikan pengertian kepada kedua belah pihak keluarga, guna meredam adanya konflik lain yang disebabkan oleh pihak keluarga masing-masing pengantin.    Aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah aspek pengetahuan, dalam hal ini pengetahuan tentang dunia rumah tangga. Selain permasalahan kesiapan psikologis dan kesiapan fisik, minimnya pengetahuan tentang dunia rumah tangga menjadi pemicu masalah yang cukup sering dalam hidup berkeluarga. Pengetahuan dapat mencakup pengetahuan manajemen finansial keluarga, pengetahuan manajemen konflik, termasuk pengetahuan menjadi orang tua atau biasa dikenal dengan istilah parenting. Kekerasan yang sering dilakukan oleh orang tua terhadap anak baik verbal maupun non-verbal seringkali terjadi bukan hanya karena ketidaksiapan psikologis namun karena minimnya pengetahuan orang tua mengenai teknik parenting yang baik. Keluarga sebagai unit utama dan pertama dalam tumbuh kembang individu, apa yang dialami anak di masa-masa tumbuh-kembangnya sangat mempengaruhi kematangan karakter dari anak. Anak yang sering menerima kekerasan sejak dini akan menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang wajar sampai dewasa dan bahkan dapat mengembangkan kejahatan tersebut menjadi kejahatan-kejahatan ekstreme dan kejahatan luar biasa. Maraknya bullying dilakukan anak bahkan orang dewasa sebagian besar berhubungan dengan parenting yang tidak tepat dari orang tua. Bullying sangat besar dampaknya bukan hanya bagi perundung namun orang yang dirundung berpotensi depresi, menyakiti diri sendiri atau bahkan melampiaskan depresinya kepada orang lain dan menjadi kejahatan baru.     Maka, mengingat pentingnya pre-wedding courses, pemerintah harus kembali mempertegas bahwasannya pre-wedding courses merupakan syarat mutlak bagi individu-individu yang ingin menikah. Perlu disahkannya peraturan setingkat Peraturan Pemerintah beserta turunannya dalam bentuk petunjuk teknis yang lebih detail termasuk pelibatan para pakar dan ahli di bidangnya untuk membimbing para calon pengantin. Dalam menjalani kehidupan berkeluarga tentunya konflik dan masalah tidak dapat dihindari, namun setidaknya pre-wedding courses dapat meminimalisir konflik ekstrem yang berujung pada kekerasan. Terwujudnya sebuah keluarga ideal yang tanpa kekerasan dan dapat melahirkan individu-individu yang cinta damai yang akan sangat mempengaruhi signifikansi penurunan angka kekerasan. Sehingga cita-cita untuk mewujudkan bangsa yang damai tanpa kekerasan dapat dimulai dari optimalisasi pre-wedding courses yang perlu ditempuh sebelum pernikahan dilaksanakan. Referensi :1. https://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-16/2. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211102142206-20-715544/kekerasan-terhadap-anak-meningkat-selama-pandemi3. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4103/komitmen-bersama-turunkan-angka-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak4. https://pacitan.kemenag.org/detailpost/bimbingan-perkawinan-pra-nikah-bagi-calon-pengantin
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More