Farras Zidane Diego Ali Farhan Mahasiswa Universitas Indonesia 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More Sudah lebih dari dua tahun sejak wabah Covid-19 merebak di seluruh dunia. Kerugian dahsyat yang disebabkan olehnya membuat umat manusia sadar seberapa tidak berdayanya mereka menghadapi bencana yang datang tanpa diundang. Sayangnya, pandemi Covid-19 tidak ada apa-apanya dibandingkan ancaman selanjutnya yang menanti umat manusia, yaitu pemanasan global dan perubahan iklim. Sudah banyak orang yang tahu jika kegiatan destruktif dan tidak bertanggung jawab manusia merupakan faktor terbesar penyebab malapetaka itu terjadi. Namun, siapa sangka trend fast fashion yang saat ini sedang melejit menjadi salah satu penyebabnya. Berusaha Fashionable yang Berujung Petaka: Ayo Berkenalan dengan Trend Fast Fashion Industri fashion tengah berada di masa kejayaan selama beberapa dekade ini. Globalisasi dan perilaku konsumtif masyarakat membuat mereka untuk terus berpakaian menarik dan kekinian. Apalagi, saat ini telah tersedia online shop di mana masyarakat dapat membeli atribut fashion tanpa perlu melangkah ke luar rumah. Ditambah, harganya yang murah membuat konsumen tergoda tanpa menyadari bahwa mereka telah memiliki segunung pakaian di rumah. Budaya fast fashion merupakan dalang di balik hal-hal itu. Fast fashion didefinisikan sebagai strategi bisnis yang menawarkan pakaian murah dan trendi di mana perputarannya sangat cepat berganti untuk memenuhi permintaan konsumen (Nadia dan Suhartini, 2020). Selain murah dan trendy, fast fashion pun memiliki ciri berupa penggunaan bahan baku dengan kualitas rendah dan tidak tahan lama (Utami, 2020). Beberapa brand yang menggunakan strategi bisnis fast fashion diantaranya, Zara, H&M, Uniqlo, Stradivarius, Forever 21, dan masih banyak lagi (The Sustainable Living Guide, 2022). Lalu, mengapa trend fast fashion ini dianggap sangat bermasalah? bukannya fashion dengan harga murah dan trendy merupakan hal yang baik? Kesejahteraan tenaga kerja, kesehatan masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup merupakan tiga sektor yang paling terdampak oleh trend ini. Perusahaan-perusahaan fast fashion seringkali melakukan kegiatan produksi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, India, Kamboja, dan Vietnam. Tujuan pemilihan negara-negara tersebut adalah mendapatkan tenaga kerja yang murah. Selain upah yang tidak layak, para tenaga kerja pun tidak mendapatkan keselamatan kerja. Bahkan, tidak sedikit pabrik fashion yang mempekerjakan anak di bawah umur. Kemudian, fast fashion pun berkontribusi terhadap berbagai kerusakan lingkungan, mulai dari pencemaran air dan tanah, penumpukan sampah, hingga pemanasan global. Bahkan dalam video dokumenter dari DW Documentary yang berjudul Fast Fashion – The Shady World of Cheap Clothing ditemukan fakta bahwa industri tekstil (fashion) merupakan pencemar terbesar kedua di dunia setelah industri minyak. Dalam proses produksi, aktivitas tidak ramah yang dilakukan adalah: 1) penggunaan air dalam jumlah banyak sehingga melepaskan CO2; 2) penggunaan bahan kimia berbahaya dan bahan-bahan tidak terbarukan; serta 4) dibutuhkannya energi dalam jumlah yang tidak sedikit (Shafie et al, 2021). Pasokan air yang besar sangatlah dibutuhkan dalam penanaman kapas sebagai bahan dari kain untuk pakaian. Hal itu saja sudah turut menyumbang 1.7 miliar ton CO2 ke atmosfer bumi. Tidak kalah merusak, proses pewarnaan tekstil dengan bahan kimia menyebabkan tercemarnya air. Proses pencelupan tekstil menjadikannya pencemar air terbesar nomor dua di dunia, setelah aktivitas pertanian. Pencemaran air di daerah Cigondewah, Bandung ditandai dengan berubah-ubahnya warna air sungai. Padahal, aliran sungai tersebut masih dimanfaatkan oleh warga sekitar dan menjadi tempat bermain oleh anak-anak. Hal ini membuat warga sekitar rentan terjangkit berbagai penyakit. Penumpukan limbah tekstil menjadi polemik lain yang ditimbulkan oleh trend fast fashion. Pada 2014, diperkirakan setiap tahunnya industri mode (fashion) menghasilkan limbah tekstil hingga 92 juta ton. Menurut Binet et al. (2018) angka limbah tekstil akan mencapai 148 ton seiring perkembangan pesat industri fashion hingga 2010. Mirisnya, limbah tersebut seringkali dibuang begitu saja di negara-negara berkembang. Penumpukan sampah ini tentu saja semakin memperkeruh keindahan bumi kita tercinta ini. Lebih jauh lagi, fast fashion pun memiliki andil dalam terjadinya pemanasan global. Saat ini, trend tersebut bertanggung jawab setidaknya atas 10% emisi gas secara global (Chanifathin dan Suhartini, 2020). Para ahli pun memperkirakan industri fashion menjadi penyebab peningkatan CO2 hingga 25% pada tahun 2050. Berkaca akan keadaan ini, maka tidak salah apabila trend fast fashion dapat dikatakan sebagai ancaman terhadap eksistensi bumi. Gebrakan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika fast fashion sebagai trend yang mengancam masa depan bumi? Circular & Sustainable Fashion sebagai Bentuk Penerapan Ekonomi Sirkular dalam Industri Fashion Trend fast fashion merupakan tantangan sekaligus problematika yang berusaha diatasi oleh negara-negara di seluruh dunia melalui program Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam tujuan SDGs ke-12 disebutkan bahwa pola produksi dan konsumsi harus dijamin dilaksanakan secara berkelanjutan. Sedangkan fast fashion sendiri merupakan contoh aktual akan aktivitas produksi dan konsumsi yang berlebihan. Di mana produsen menghasilkan produk secara masif dan cepat, sedangkan konsumen membeli dan membuang barang dengan enteng. Prinsip ekonomi sirkular merupakan salah satu solusi jitu yang saat ini tengah digelorakan untuk mencapai tujuan-tujuan SDGs, termasuk untuk mengatasi permasalahan fast fashion di atas. Ekonomi sirkular merupakan inovasi hijau untuk menggantikan sistem ekonomi tradisional yang memiliki siklus “membuat, menggunakan, membuang”.Tujuan dari prinsip ini adalah membangun ketahanan suatu produk agar dapat digunakan dalam waktu yang panjang.serta memperhatikan dampak lingkungan dalam proses produksinya. Penerapan ekonomi sirkular dalam industri fashion dikenal sebagai circular fashion dan sustainable fashion. Prinsip circular fashion dikenalkan oleh Yves Saint Laurents, seorang perancang busana Perancis yang dikatakan sebagai tokoh fashion terbesar pada abad ke-20. Circular Fashion merupakan produk yang dirancang, diproduksi, bersumber, dan dilengkapi tujuan untuk memperpanjang manfaat dari rantai produksi dan konsumsi untuk efisiensi penggunaan sumber daya. Selain proses produksi dan pemilihan bahan yang ramah lingkungan, prinsip ini pun turut memperhatikan kesejahteraan para pekerja yang sebelumnya dikesampingkan dalam trend fast fashion. Hal ini menunjukan bahwa circular fashion menaruh perhatian terhadap keadilan sosial bagi para pekerjanya. Sustainable fashion atau fashion berkelanjutan memiliki konsep dan tujuan yang sama dengan circular fashion. Selain mengurangi pencemaran lingkungan hidup, kedua prinsip ini pun mampu menghemat biaya di industri fashion dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa brand yang telah menerapkan prinsip sustainable fashion, diantaranya Imaji Studio, Pijakbumi, Kana Goods, Osem, Sejauh Mata Memandang, dan lain-lain. Keberadaan brand-brand ini menunjukan bahwa industri fashion telah mengarah pada upaya berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan circular dan sustainable fashion, diperlukan kerja sama antara produsen (industri fashion), konsumen (masyarakat umum, terutama generasi muda), pemerintah, dan institusi finansial (Bank). Berikut tiga upaya yang dapat dilakukan: Edukasi dan sosialisasi dampak negatif yang ditimbulkan trend fast fashion Fast fashion yang terus terjadi hingga saat ini terjadi karena belum banyak orang tahu berbagai malapetaka yang disebabkannya. Oleh sebab itu, edukasi dan sosialisasi akan berperan krusial dalam upaya mengatasi permasalahan fast fashion. Langkah ini dapat dikemas melalui media-media digital,baik dalam infografis, video TikTok, maupun poster. Anak muda sebagai generasi digital memiliki posisi signifikan dalam mengadvokasikan isu ini. Mereka pun dapat secara perlahan mengajarkan generasi yang lebih tua akan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan trend fast fashion. Dengan adanya kesadaran ini, banyak orang akan mulai menekan industri fashion untuk menjalankan aktivitasnya secara berkelanjutan. Mendorong penerapan 5 prinsip utama ekonomi sirkular (5R) dalam industri fashion Kelima prinsip utama ekonomi sirkular menurut Kementerian Perindustrian Republik Indonesia adalah Reduce, Reuse, Recycle, Recovery, dan Repair. Produsen merupakan pihak yang paling ditekankan dalam upaya ini. Namun, masyarakat atau konsumen pun harus turut menerapkannya. Produsen harus mengurangi eksploitasi masif material dari alam ataupun yang tidak berkelanjutan (reduce). Kemudian menggunakan berbagai material yang dapat digunakan kembali (reuse). Sedangkan daur ulang (recycle) dapat dilakukan dengan memanfaatkan kain-kain tidak terpakai untuk menjadi produk fashion baru. Konsumen sendiri dapat berperan dengan cara memperbaiki produk fashion selama bisa diperbaiki, tidak langsung membuangnya (repair). Setiap pihak harus mengawasi dan mengawal pelaksanaan prinsip 5R yang dilakukan oleh masing-masing pihak agar tujuan ekonomi sirkular dalam industri fashion dapat tercapai dengan optimal. Trend thrifting shop sebagai alternatif untuk menjadi fashionable tanpa merusak lingkungan Thrifting shop merupakan kebiasaan belanja baru yang tengah digandrungi anak muda saat ini, terutama anak muda Indonesia. Thrifting sendiri merupakan jual beli produk fashion bekas yang masih layak digunakan,. Harganya yang murah, kekinian, dan berasal dari brand terkemuka merupakan ciri khas dari trend ini. Biasanya, para penjual memperjualbelikan dagangannya dengan memanfaatkan sosial media agar mampu menjangkau anak muda. Trend ini mampu menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang ditimbulkan fast fashion. Hal ini karena limbah fashion akan berkurang karena siklusnya yang semakin panjang (digunakan kembali/reuse). Model pakaian yang biasanya dijual pun sangat kekinian sehingga membuat pemakainya semakin modis. World Environment Day pada tahun 2022 dirayakan secara miris dengan berbagai kabar buruk terkait kondisi buruk di bumi. Setiap ada berita kemajuan upaya pelestarian lingkungan pasti selalu disertai kabar buruk mengenai kerusakan lingkungan. Aktivitas destruktif seperti trend fast fashion menunjukan bahwa belum seluruh manusia sadar bahwa #OnlyOneEarth (bumi hanya satu). Semakin tersudutnya nasib bumi di masa depan mendorong lahirnya langkah-langkah penyelamatan dengan prinsip berkelanjutan, seperti ekonomi sirkular. Prinsip ini pun merupakan solusi jitu dalam mengatasi trend fast fashion sebagai industri yang mengancam masa depan bumi. Melalui circular dan sustainable fashion niscaya berbagai polemik yang ditimbulkan industri ini akan terselesaikan. Secara kolektif, produsen, konsumen, pemerintah, dan instansi finansial harus bahu membahu mewujudkannya. Apa artinya penampilan yang fashionable apabila dikenakan di atas lingkungan hidup yang rusak dan bumi terbakar. Sekarang, kita memiliki banyak pilihan untuk terlihat trendy dengan fashion tanpa harus mengancam masa depan bumi. Lagipula, pada akhirnya menyelamatkan bumi dari kehancuran merupakan kewajiban kita sebagai penghuninya. Mari melangkah secara bersama-sama menuju industri fashion berkelanjutan dalam rangka merayakan World Environment Day 2022! Referensi A.H. Kristianto dan J.P. Nadapdap. “Dinamika Sistem Ekonomi Sirkular Berbasis Masyarakat Metode Causal Loop Diagram Kota Bengkayang.” Sebatik 25 (2021) Diantari, Ni Kadek Yuni. “Tren New Normal pada Industri Fast Fashion di Indonesia: Adaptasi Fast Fashion di Masa Pandemi.” Bhumidevi: Journal of Fashion Design 1 (Juni 2021). Endrayana, Jihan Pramodhawardhani Mahadinastya dan Dian Retnasari. “Penerapan Sustainable Fashion dalam Menghadapi Dampak Negatif Fast Fashion.”Jurnal Prosiding Pendidikan Teknik Boga Busana FT UNY 16 (2021). Low Carbon Development Indonesia. “Mengenal Fesyen Sirkular, Siklus yang Mengubah Dinamika Dunia Mode.” https://lcdi-indonesia.id/2022/03/08/mengenal-fesyen-sirkular-siklus-yang-mengubah-dinamika-dunia-mode/. Diakses 2 Juni 2022. Muazimah, Ajriah. “Pengaruh Fast Fashion terhadap Budaya Konsumerisme dan Kerusakan Lingkungan di Indonesia”. JOM FISIP 7 (Juli-Desember 2020) Nidia, Chanifathin dan Ratna Suhartini. “Dampak Fast Fashion dan Peran Desainer dalam Menciptakan Sustainable Fashion.” e-Journal 9 (Agustus 2020). The Sustainable Living Guide. “A List of 41 Fast Fashion Brands To Avoid (2022).” https://thesustainablelivingguide.com/fast-fashion-brands/. Diakses 26 Juni 2022.