ekahei 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More Pemberitaan dan informasi di media cyber akhir-akhir ini cukup membuat saya berada dalam pusaran emosi geram, sedih, kesal, marah yang tak menentu. Saya menutup mata pada kasus Novia Widyasari bukan karena tidak simpati, tapi lebih kepada menjaga kondisi emosi saya termasuk kasus lainnya yang terus terungkap dimana perempuan menjadi korban dan objektifikasi laki-laki. Pelecehanan seksual terhadap perempuan adalah permasalahan yang masih terus terjadi dan meningkat di tengah gencarnya upaya mewujudkan perberdayaan perempuan. Sebuah ironi yang menyeramkan bagi kami ; para perempuan. Permasalahan pelecehan seksual baik di ranah domestik maupun di ruang publik tak lepas dari dari bagaimana perempuan didefinisikan selama ini dalam ranah sosial masyarakat. Konstruksi perempuan tersebut yang membuat mereka sulit menemui ruang aman bagi perempuan untuk berbicara dengan leluasa terkait masalah pelecehan seksual. Tak heran para korban lebih banyak memilih untuk diam. “ Ka, percaya nggak kalau aku pernah ditawar ?” begitu seorang teman membuka sebuah percakapan. Dari mulutnya mengalirlah kronologi cerita kala sedang berdiri di pinggir jalan menunggu transportasi menuju kantor. Teman saya dihampiri oleh seorang bapak yang mengendarai motor. Singkat cerita si bapak menawarkan bayaran uang sejumlah satu juta kepada teman untuk ‘ngamar’. Tentu hal ini ditolak oleh teman saya dengan ekspresi wajah yang takut. Bapak itu terus memaksa dan mengatakan kata-kata yang tidak pantas. Dikatainlah bahwa teman saya sudah terbiasa ‘menjajakan diri’. Peristiwa ini meninggalkan bekas sebagai pengalaman buruk di benaknya. “ Terus aku ceritakan ke teman kantor. Dan, malah aku dikatain, ‘kayak gini tadi pakaianmu’ begitu temanku nanggapin. Kan sedih Ka,” tutur teman saya. Saya melongo sesaat kemudian melampiaskan ekspresi kekesalan terhadap cerita pengalaman si teman ini dengan ragam umpatan pada saat itu. Perempuan kerap kali dijadikan sebagai sumber dari kesalahan apa yang menyebabkan mereka mengalami peristiwa yang mengerikan tersebut. Entah disalahkan karena pakaian mereka atau tingkah mereka yang dinilai gemulai sehingga mengundang nafsu laki-laki. Padahal sejatinya dalam diri setiap individu ada kontrol diri termasuk dalam diri laki-laki yang membuat mereka tidak melakukan perbuatan bejat tersebut. Sayangnya, konstruksi diri mereka yang selalu dianggap sebagai subjektifikasi dalam dunia ini, dan memiliki kuasa atas diri perempuan membuat semudah ini bersikap semena-mena terhadap perempuan. Itu kenapa upaya menciptakan ruang aman dengan cara mengubah sudut pandang adalah salah satu yang harus diupayakan dalam membebaskan diri dari permasalahan yang kerap dihadapkan oleh perempuan. Penanaman perempuan harus bersifat lemah lembut dalam budaya masyarakat sementara laki-laki harus kuat bukanlah sesuatu kebiasaan yang harus dipertahankan. Namun, bagaimana mendidik anak perempuan dan laki-laki untuk saling menghargai satu sama lain sebagai makhluk sosial. Menciptakan Ruang Berbicara Bagi Perempuan Banyak kasus pelecehan yang dialami oleh perempuan dan mereka memilih untuk diam ; terperangkap dalam trauma psikis yang sulit diatasi. Bukan karena mereka bodoh atau tidak memiliki akal sehat, justru karena mereka berpikir membuat mereka memilih diam. Pasalnya, lingkungan masyarakatlah yang membuat mereka pada akhirnya berada dalam pilihan mengunci mulut. Kasus Novi mungkin bisa saja dianggap sebagai aib dan menghujat Novi dengan ragam kalimat – kalimat yang menusukan hati. Tidak saja berhenti pada hujatan, kerap kali korban pelecehan disalahkan karena tidak bisa menjaga diri, dan ketika melapor khawatir akan mendapatkan konsekuensi negatif dan meragukan proses hukum – bagaimana pun realitasnya regulasi di Indonesia masih bias terkait permasalahan ini. Perempuan korban dari permasalahan ini menjadikan ‘keluarga’ sebagai tameng yang merupakan salah satu landasan kenapa kebanyakan dari mereka diam. Dari kecil sebagai anak perempuan kita sudah dididik untuk menjaga nama baik keluarga dan mendahului orang lain daripada diri sendiri – saya yang tumbuh dalam matrilineal namun berada dalam budaya patriarki, saya merasakan bagaimana beban ganda sebagai anak perempuan — Perempuan dituntut bersikap sopan santun, sementara laki-laki diberi kewajaran setiap kali melakukan kesalahan, “Ah, namanya laki-laki. Nggak pa-pa nakal sesekali ini mah.”, coba aja kalau perempuan. Segala nasehat dan hujatan akan mampir secara bersamaan. “Kamu itu perempuan bla bla bla …” Stigma-stigma negatif yang beredar tentang pelecehan seksual yang dialami oleh para korban membuat mereka terkadang ketika bercerita di sosial media memilih menggunakan akun anonim – Jika pun berbicara dengan lugas undang-undang ITE menghantui mereka pastinya ; karena dianggap akan mencemar nama baik pelaku. Ironis, ketika mengadu pun tidak dianggap serius sebagaimana peristiwa yang dialami oleh keluarga korban pemerkosaan di Rokan Hulu Riau baru-baru ini, korban malah dikatakan “Lonte”. Upaya mengubahkan cara pandang bagaimana mendefinisikan gender bahwa perempuan dan laki-laki dapat berada sebagai subjek yang bebas atas diri mereka adalah yang harus mulai dilakukan dalam lingkungan masyarakat saat ini. Didiklah anak laki-laki bagaimana mereka harus berperan menghargai perempuan dan bagaimana perempuan didefinisikan layaknya pribadi yang memiliki makna atas diri mereka. Perubahan cara pandang juga diiringi dengan menciptakan ruang bicara yang aman dan nyaman bagi korban pelecehan seksual. Jangan ada yang melabelkan : Oh wajarlah pakaianmu mengoda bla ..bla.. bla, atau wajarlah kamunya yang centil … dan kalimat lainnya yang menyalahkan perempuan. Tapi, prioritaskan korban dalam simpatimu untuk membuat mereka tidak terperangkap pada trauma psikis yang berlarut. Hindari pertanyaan yang menyudutkan perempuan, dengarkan cerita mereka serta beri dukungan dengan baik. Saya menghindari bicara regulasi karena sepanjang menjadi warga sipil negara ini membuat saya sulit untuk percaya adanya ketegasan undang-undang terhadap kasus yang menimpa perempuan. Tapi, saya yakin dengan menciptakan ruang aman dan nyaman untuk berbicara bagi korban akan dapat mengasah sisi humanis yang saling membahu dan mengengam erat untuk membebaskan diri dari masalah tersebut. Bersama-sama mencari solusi yang lebih baik yang kelak dapat menciptakan regulasi di pemerintahan bagi mewujudkan ruang aman dan nyaman bagi perempuan.