Surya Arafah Mahasiswa 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More Saya akan memulai tulisan ini dengan sabda bijak yang terlihat anggun nan indah tapi bermakna patriarki “Laki-laki dilihat dari masa depannya sementara perempuan dilihat dari masa lalunya”, kutipan ini seperti hantu yang menyeramkan bagi perempuan dan membuatnya ketakutan membuka lembaran baru untuk masa depan yang lebih cerah. Ironis memang. Permasalahan pelecehan seksual atau pelecehan terhadap perempuan di Indonesia belum bisa diselesaikan secara maksimal. Hal ini ditunjukkan oleh maraknya pelecehan di akhir-akhir ini, seperti yang dirasakan oleh mahasiswa di Universitas Riau yang mengalami pelecehan dari dosen pembimbing skripsinya, pemerkosaan yang terjadi pada NW oleh pacarnya dan tidak mendapat perlindungan yang baik dari pelindung hukum, dihapusnya nama salah satu mahasiswa Universitas Sriwijaya yang melaporkan dosennya yang telah melakukan pelecehan terhadapnya dan banyak lagi peristiwa pelecehan yang terjadi pada kehidupan perempuan. Ini hanya provokasi awal saya terkait dengan pelecehan yang dirasakan oleh kebanyakan perempuan di Indonesia. Berkaca dari data Komnas Perempuan, jumlah pelaporan kekerasan seksual terhadap perempuan sangat tinggi. Pada tahun 2020 terdapat 2.945 laporan yang tercatat, sementara selama 9 tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada 45.069 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Dengan banyaknya berita yang tersebar, kasus kekerasan seksual ternyata bisa terjadi dan bahkan menggunung es di lingkungan perguruan tinggi. Tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman dan mendapatkan perlindungan justru paling rawan terjadi kekerasan seksual. Lebih-lebih ketika kita berkaca dari salah satu mahasiswa Universitas Riau yang mengaku mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya, ia dicium pipi dan keningnya oleh pelaku saat bimbingan skripsi. Dalam perjalanan hidup saya memang belum pernah mengalami pelecehan yang ditujukan langsung kepada saya. Namun, dalam lingkungan hidup saya masih banyak pelecehan yang dirasakan oleh perempuan, baik itu datang dari keluarga, teman dan masyarakat pada umumnya. Bahkan secara spesifik dalam lingkungan kampus yang katanya tempat kesadaran moral dan tempat peradaban itu diciptakan, masih sering terjadi pelecehan yang ditujukan pada perempuan. Melihat maraknya pelecehan terhadap perempuan yang terus terjadi di dunia kampus, saya dan staf di Menteri Pemberdayaan Perempuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Mataram (Unram) menghadirkan program untuk menciptakan ruang aman bagi mahasiswa/i Universitas Mataram. Secara singkat saya akan menjelaskan dulu Universitas Mataram merupakan kampus yang terletak di salah satu kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu Kota Mataram. Nama program yang menjadi titik fokus dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan BEM Unram 2021 ini diambil dari Bahasa Sasak “Bale Aduan” yang memiliki arti “Rumah tempat mengadu”. Bale Aduan menjadi wadah atau tempat yang disediakan oleh BEM Unram untuk mahasiswa/i yang mendapatkan perlakuan kekerasan di lingkungan kampus, baik itu kekerasan secara verbal, non verbal, lebih-lebih kekerasan seksual. Dampak dari pelecehan yang didapat sangat banyak bagi korban, mulai dari kesehatan fisik, psikis dan bahkan bisa menghancurkan masa depan dan hidup korban. Berangkat dari kekhawatiran dan kesadaran akan hal itu, saya selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan BEM UNRAM 2021 merasa Program Bale Aduan ini harus ada dan menjadi program turun temurun setiap tahunnya di BEM. Bale Aduan hadir sebagai bentuk rangkulan tangan kami terhadap sesama perempuan Indonesia khususnya mahasiswa/i Universitas Mataram. Menjadi pendengar pertama dan utama, dan tentunya akan mengupayakan solusi terbaik bagi korban yang melapor. Di Bale Aduan sendiri ada tiga fasilitas yang kami sediakan, antara lain fasilitas kesehatan, bantuan hukum dan psikologis. Untuk bantuan kesehatan, BEM Unram telah bekerja sama dengan pihak Klinik Unram dan Rumah Sakit Unram untuk menunjang bantuan kesehatan untuk korban yang melapor. Fasilitas hukum kami bersinergi dengan pihak BKBH laboratorium fakultas hukum yang ada di Universitas Mataram. Terakhir, untuk fasilitas psikologis, kami pun dibantu langsung oleh pihak psikiater handal yang ada di Rumah Sakit Universitas Mataram. Bahkan pihak birokrasi kampus sangat mendukung berjalannya program ini sebagai bentuk pengawalan dan pemenuhan hak-hak korban pelecehan yang ada di lingkungan kampus. Prosedur pelaporan di Bale Aduan sebagai berikut: Pelapor menghubungi pihak Bale Aduan Pelapor yang bukan korban dapat mengajukan pelaporan dengan persetujuan korban Pihak Bale Aduan akan menghubungi korban dan meminta pertemuan Pihak Bale Aduan akan menanyakan kebutuhan korban setelah mendengar pengakuan korban Pihak Bale Aduan akan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait sesuai dengan kebutuhan dalam penanganan korban Selama proses penanganan, korban akan selalu didampingi oleh tim Bale Aduan sampai proses penanganan berakhir Data dan identitas korban/pelapor akan dijamin kerahasiaannya. Selama saya menjalankan program ini, perihal yang paling dibutuhkan pertama kali adalah mereka ingin didengarkan, mereka ingin dirangkul dan dilindungi, lebih khusus keluarga, bukan malah mengutuk bahwa mereka yang bersalah. Hal ini menjadi penting mengingat kebiasaan masyarakat Indonesia sangat mudah memandang sebelah mata korban pelecehan seksual, bahkan tidak jarang korban dijauhi akibat dianggap tidak suci lagi. Hal seperti inilah yang mengajak saya untuk memahami dan merenungi, bahwa uluran tangan dan dukungan kita sesama perempuan sangat penting dan bahkan berdampak besar bagi korban, dengan begitu mereka merasa bahwa dirinya masih berharga dan hidup harus terus berlanjut, bangkit, bangkit, dan bangkit karena harapan itu masih ada. Selama menjalankan program ini ada tiga responden yang melaporkan diri dan dua melanjutkan sampai ke pendampingan. Setelah pendampingan dilakukan, mereka merasa dirinya kembali membaik walaupun tidak 100%, tetapi setidaknya rasa trauma bisa diatasi. Pengalaman saya menangani pelaporan menjadikan menjadi pribadi yang empati dan merasakan bagaimana kita harus memahami kondisi mereka sehingga kita tidak mudah mengutuknya. Saya berharap kita harus mampu membangun kesadaran antara laki-laki dan perempuan. Ketika kesadaran itu sudah ada dan tumbuh subur di setiap hati kita, maka tidak ada kata tidak mungkin. Dengan demikian kasus-kasus pelecehan akan bisa kita atasi bersama-sama, hal harus adanya kolaborasi dan sinergi antara laki-laki dan perempuan. Tentunya semua stakeholder pun harus terus bergandengan tangan untuk mendorong perubahan dan perbaikan bagi bangsa dan negara kita, karena ini adalah masalah bangsa, masalah kita secara bersama. Sekecil apa pun persentase kontribusi kita, itu lebih baik dibandingkan hanya menjadi penonton atau ikut-ikut mencaci maki tidak jelas. Bukan saatnya laki-laki dan perempuan berkompetisi tapi saatnya berkolaborasi untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan. #HidupPerempuan #CiptakanRuangAmanPerempuan #berandainspirasi #16haktp #HentikanKBG #orangetheworld