Dwi Handriyani 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More Pekan awal di bulan Desember 2021 ini, masyarakat digegerkan dengan pemberitaan mahasiswi yang bunuh diri di dekat makam almarhum ayahnya di Kota Malang. Peristiwa ini menjadi trending topic di jagat dunia maya, setelah muncul postingan akun @belawz atau Sugarbaby di Twitter, yang diunggah ulang akun Instagram @Lambeturah_official. Dalam thread itu, ada kutipan chat dari mendiang NWR ke AN (sahabatnya) yang dibeberkan. Cuitan akun ini pun ramai diperbincangkan hingga muncul dugaan bahwa kematian NWR lantaran depresi dengan sikap pacarnya seorang anggota Polri berinisial RB dan orang tua RB yang tidak mau bertanggung jawab terhadap kehamilannya dan pemaksaan pengguguran kandungan NWR. Dari hasil penelusuran media online diketahui bahwa Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo mengungkapkan, RB sudah diamankan di Polres Mojokerto Kabupaten (5/12/2021). Slamet menceritakan, hasil dari penemuan mayat korban ditemukan adanya bekas minuman yang bercampur potasium. Sedangkan, kata dia, hasil dari visum luar yang dilakukan oleh Puskesmas Suko pada 2 Desember 2021 tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan. “Korban dan anggota Polri ini sudah berkenalan sejak Oktober 2019. Pada saat itu sedang nonton bareng distro baju yang ada di Malang. Keduanya pun akhirnya berkenalan dan bertukar nomor handphone hingga terjadi hubungan (berpacaran),” ucapnya. Slamet juga mengungkapkan, NWR dan RB kemudian hubungan layaknya suami-istri yang terjadi mulai 2020 hingga 2021, yang dilakukan di Malang yang dilakukan di kos maupun di hotel, serta melakukan aborsi bersama yang mana dilakukan pada Maret tahun 2020 dan Agustus 2021. Peristiwa ini mengingatkan kita bahayanya seks yang tidak aman dan tidak bertanggung jawab pula dari pasangan muda yang belum menikah. Ancaman penyakit menular, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) hingga melakukan tindakan aborsi illegal yang berbahaya, menjadi pelajaran bahwa pentingnya pendidikan seks sejak dini. Ketidaksetaraan gender di dalam penggunaan alat kontrasepsi Kerapkali perempuan menjadi korban dari pelampiasan hasrat seksual yang tinggi tanpa edukasi yang memadai. Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya hubungan seksual di luar pernikahan sudah cukup lumrah di kalangan anak muda. Perilaku seksual remaja yang berisiko dilaporkan dari Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 bahwa secara nasional kebanyakan remaja perempuan dan laki-laki mengaku saat berpacaran melakukan aktivitas berpegangan tangan (64% dan 75%), berpelukan (17% dan 33%), cium bibir (30% dan 50%), dan meraba/diraba (5% dan 22%). Selain itu, 8% laki-laki dan 2% perempuan melaporkan telah melakukan hubungan seksual (Kemenkes RI, 2017). Perilaku ini akan berdampak terjadinya kasus kehamilan tidak diinginkan, penyakit kelamin menular, HIV/AIDS, serta aspek psikologi dan sosial lainya (Kasim, 2014 di dalam Umaroh dan Karjoso, Prepotif Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol.5 No.1, April 2021). Senada dengan SDKI 2017, data Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (SKAP-KKBPK) 2019 menunjukkan 31% remaja rentang umur 15-17 tahun pertama kali melakukan hubungan seksual. Dapat dikatakan bahwa kejadian NWR dan RB sebagai bentuk gambaran dari persoalan seks yang tidak aman dan tidak bertanggung jawab yang berujung terjadinya KTD. Data SKAP 2019 juga menunjukkan 17,5 % KTD terjadi di Indonesia. Hal ini bisa dideskripsikan persoalan KB dan penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia seringkali atau bahkan selalu menitikberatkan kepada kaum perempuan. Di sisi lain, mirisnya data SDKI 2017 menggambarkan rendahnya partisipasi laki-laki di dalam program KB karena jumlah laki-laki menggunakan alat kontrasepsi berupa kondom hanya sebesar 2,5% dan vasektomi sebesar 0,2%. Penyebabnya menurut Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, karena secara teknis medis, pilihan untuk kontrasepsi pria hanya kondom dan vasektomi. Sedangkan, vasektomi begitu dihindari oleh kaum pria lantaran dua sebab yakni harus menjalani operasi medis dan secara keyakinan kalau disteril ini akan menghentikan keturunan sama sekali. “Masalah laki-laki soal mindset, di Indonesia ini secara public image yang ada dipemikiran keluarga, KB itu tugasnya perempuan. Ini yang harus selalu diubah. Seolah-olah pola pikirnya KB dan kontrasepsi itu adalah perempuan. Beberapa memang (memiliki) kekhawatiran, itu contoh seperti vasektomi. Kenapa begitu? Karena mereka pendapatnya masih salah, kalau divasektomi vitalitasnya menurun, dan ada istri khawatir kalau suaminya divasektomi. Pola pikir seperti itu yang masih mewarnai pemikiran-pemikiran,” tutur mantan Bupati Kulon Progo ini (sumber: voaindonesia.com, 11/5/2020). Menantangnya ruang aman kesehatan reproduksi perempuan Pengalaman pribadi, persoalan memilih dan menggunakan alat KB yang aman dan tepat juga pernah dirasakan. Bagaimana akhirnya, di usia saya menjelang 40 tahun, kami sepakat memilih tubektomi sebagai program KB pasca melahirkan anak ketiga. Masih teringat pengalaman kegalauan saya menggunakan berbagai alat kontrasepsi untuk program KB pada anak pertama dan kedua. Pada anak pertama, percobaan menggunaan IUD sebanyak 3x hingga 3x pula minta dilepas oleh dokter kandungan dan kebidanan karena ketidaknyamanan dengan gangguan kesakitan di pinggang serta flek selama 1,5 bulan. Selain itu, percobaan KB dengan suntik 1 bulan dan 3 bulan juga dilakukan, namun karena persoalan menstruasi menjadi tidak teratur, bahkan tidak mengalami mengalami menstruasi selama 5 bulan dan badan terasa lebih lemas, akhirnya dihentikan. Suami pun turut mencoba alat kontrasepsi berupa kondom, namun lagi-lagi persoalan kenyamanan dan gangguan kesehatan pada saya yang mengakibatkan flek, hingga KB Kalender dengan coitus interuptus dilakukan kami selama program KB pada anak pertama dan kedua. Qadarullah, ‘KB alamiah’ ternyata gagal dan anak ketiga menjadi hadiah Tuhan yang tidak disangka-sangka. Meskipun pembicaraan program KB merupakan kesepakatan saya dan suami, akan tetapi permasalahan KB dan penggunaan alat kontrasepsi memang lebih dibebankan kepada perempuan seperti yang saya alami dan pemikiran suami persis yang dikatakan Kepala BKKBN terkait KB pada laki-laki. Masa pandemi COVID-19 ini pun menambah kendala di dalam program KB. Sebagaimana disebutkan Hasto Wardoyo bahwa, menurut data BKKBN, angka kelahiran nasional pada Januari 2021 meningkat sekitar tiga ratus ribu. “Ibu-ibu yang melahirkan pada bulan ini mengandung anaknya mulai hamil di antara Maret dan April pada masa pandemi, lalu karena memang mau tidak mau, dalam masa pandemi orang-orang takut untuk memasang alat kontrasepsi,” kata Kepala BKKBN (sumber: infopublik.id, 23/1/2021). Hal tersebut, padahal menjadi sasaran global 3 di dalam tujuan global 3 (menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia) yang termaktub di dalam Perpres Nomor 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagai payung hukum implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia, untuk menjamin akses universal terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk keluarga berencana, informasi dan pendidikan, dan integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional pada tahun 2030. Beruntunglah saya, melahirkan anak ketiga sebulan sebelum dinyatakan pandemi COVID-19 dengan pemakaian kontrasepsi pasca persalinan jangka panjang menggunakan metode tubektomi. Cukup 3 anak saja, hehe. Bagi saya, pilah-pilih alat kontrasepsi dan program KB yang aman dan tepat adalah sebuah proses panjang yang penuh analisis dan pertimbangan kesehatan. Apalagi peristiwa NWR dan RB menyadarkan saya untuk tidak ragu mengedukasi seks aman dan bertanggung jawab kepada ketiga anak. Pendidikan seks sejak dini telah kami edukasi kepada anak-anak yang disesuaikan dengan usia, pengetahuan, dan pemahaman anak-anak. Seks aman dilakukan dengan pasangan tetap, tidak berganti-ganti pasangan, yang berarti bagaimana penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah penyakit menular serta kehamilan. Dan, seks yang bertanggung jawab, dimana kepada anak laki-laki diajarkan untuk tidak menganggap seks dan perempuan sebagai mainan, dicicipi kemudian sengaja ditinggalkan. Lalu, kepada anak perempuan diajarkan agar tidak gampang membuka ‘selangkangannya’ (Hasanuddin Abdurakhman, 2021).