Ni Made Inna Dariwardani Statistisi 0shares MENYULUT ENERGI HIJAU DARI EMAS CAIR: PERAN STRATEGIS KELAPA SAWIT DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Read More Pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini bisa dikatakan sebagai shock terbesar industri pariwisata modern. UNWTO (2020) memperkirakan industri pariwisata dunia mengalami penurunan lebih dari 70 persen pada tahun 2020 yang membawa industri ini berada pada level terendah dalam 30 tahun terakhir. Di Indonesia sendiri, pukulan terhadap industri pariwisata pun sangat berarti, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kunjungan wisatawan mancanegara anjlok hampir 75 persen di tahun 2020, pun Tingkat Penghunian Kamar (TPK) pada Hotel Bintang turun hampir 40 persen pada tahun 2020. Diperkirakan potensi ekonomi yang hilang akibat pandemi dari sektor pariwisata sebesar Rp. 200, 92 Triliun pada tahun 2020 sehingga membuat kontribusi sektor ini pada Pendapatan Domestik Bruto (PDB) turun sedalam 53,29 persen (Purba, Fathiah, dan Steven, 2021). Sinyal pemulihan ekonomi Indonesia mulai terlihat pada paruh pertama tahun 2021 ini. Data pertumbuhan ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada triwulan 2 tahun 2021 ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen (year on year). Meskipun pertumbuhan yang relatif tinggi ini secara teknis penghitungan disebabkan oleh low base effect yaitu kondisi Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun drastis di triwulan yang sama tahun sebelumnya (2020 – masa awal Pandemi Covid-19), namun kinerja ekonomi yang sudah mulai membaik ini setidaknya bisa menjadi langkah awal percepatan pemulihan ekonomi kedepannya. Pun idikator lainnya menunjukkan sinyal positif dibanding tahun 2020 seperti turunnya angka pengangguran dan kemiskinan. Namun demikian, jika ditilik lebih dalam data petumbuhan ekonomi triwulan 2 tahun 2021 yang dirilis BPS, pemulihan ekonomi tampaknya belum menunjukkan perbaikan yang signifikan setidaknya pada dua lapangan usaha yaitu Transportasi dan Pergudangan serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum. Jika dibandingkan dengan masa sebelum pandemi (triwulan 2 tahun 2019) kedua lapangan usaha ini masih terkontraksi masing masing 13,43 persen dan 5,13 persen. Bahkan industri Angkutan Udara menjadi yang terparah dengan kontraksi lebih dari setengahnya (53,06 persen) atau bisa dikatakan pandemi telah membuat output industri ini berkurang lebih dari setengahnya (perbandingan PDB harga konstan industri angkutan udara triwulan 2 2021 terhadap hal yang sama di triwulan 2 2019). Dengan cara yang sama tercatat penurunan output industri Penyediaan Akomodasi juga masih tinggi yaitu sebesar 18,95 persen dibanding masa sebelum Pandemi Covid-19. Tidak bisa dipungkiri pembatasan sosial yang dilakukan guna mencegah penularan Virus Covid-19 merupakan penyebab terseoknya kedua industri ini yang mana keduanya identik dengan industri pariwisata. Maka tidaklah salah prediksi sejumlah pihak yang menyebutkan pariwisata-lah menjadi yang terakhir pulih selama dan pasca pandemi covid-19 (post covid-19). Terkait upaya pemulihan Industri Pariwisata Nasional diperlukan sebuah kerangka kebijakan yang komprehensif dan terarah. Penelitian yang dilakukan oleh Sharma, G.D., Thomas, A., & Paul, J. (2021) berjudul Reviving tourism industry post-COVID-19: A resilience-based framework menghasilkan sebuah kerangka kebijakan pemulihan pariwisata yang diberi nama resilience-based framework. Dalam kerangka ini, Pandemi Covid-19 dipandang sebagai sebuah tantangan global dan industri pariwisata harus mampu melakukan adaptasi dengan keadaan atau krisis ini (Resilience). Dalam kerangka kebijakan ini, terdapat setidaknya empat faktor yang membuat Industri Pariwisata menjadi resilience dalam konteks pemulihan ekonomi di masa maupun pasca Pandemi Covid-19 yaitu respon pemerintah, inovasi teknologi, kepemilikan lokal, dan kepercayaan konsumen dan pelaku pariwisata. Faktor pertama adalah Respon Pemerintah (Governments’ response) yang merupakan faktor krusial dalam upaya penyelamatan semua industri tak terkecuali pariwisata. Hampir semua pemerintahan di dunia ini pun memberikan stimulus kebijakan untuk penyelamatan industri pariwisata. Indonesia sendiri bahkan sudah menggelontorkan hampir 3,3 Triliun Rupiah pada tahun 2020 guna pemulihan pariwisata nasional melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan akan dilanjutkan pada tahun 2021 sebesar 2 Triliun Rupiah untuk Gerakan Bangga Berwisata di Indonesia, juga diberikan stimulus sebesar 400 Milyar Rupiah untuk program terkait pemberdayaan UMKM dan sektor pariwisata lokal. Faktor selanjutnya adalah Inovasi Teknologi yang akan menjadikan pariwisata sebagai industri yang lebih fleksibel. Digitalisasi pariwisata khususnya pada masa Pandemi Covid-19 harus sesegera mungkin dilakukan. Salah satu program digitalisasi pariwisata di Indonesia yang diluncurkan oleh Menparekraf pada Bulan Maret 2021 lalu adalah peluncuran Go Mandalika, yang merupakan platform digital pariwisata (e-tourism) yang digagas oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah. Barangkali platform – platform digital seperti ini telah dimiliki banyak daerah maupun objek wisata, hanya perlu diintegrasikan menjadi suatu sistem e-tourism secara nasional. Disamping itu, pengembangan pariwisata dengan memanfaatkan Big Data juga perlu ditingkatkan baik itu untuk kepentingan perencanaan, inovasi, sampai promosi pariwisata. Faktor ketiga adalah Kepemilikan Lokal (Local belongingness) sebagai “penyelamat” industri pariwisata ditengah pembatasan antar wilayah guna mencegah penularan Virus Covid-19. Wisatawan domestik diharapkan bisa menjadi pangsa pasar yang menjanjikan saat ini mengingat belum ada tanda – tanda akan dibukanya kedatangan wisatawan mancanegara. Namun demikian kedepannya diharapkan segera terealisasikan mekanisme travel bubble atau travel corridor untuk wisatawan mancanegara. Tentu saja mekanisme travel corridor hanya bisa dilakukan jika antar negara memiliki keterikatan yang muncul karena adanya perasaan memiliki terhadap daerah tujuan wisata sehingga mau tidak mau unsur local belongingness menjadi persyaratan untuk bangkitnya industri pariwisata ini. Faktor terakhir adalah Kepercayaan Konsumen dan Pelaku Pariwisata (consumer and employee confidence). Pandemi telah mengubah persepsi masyarakat terhadap industri pariwisata, salah satunya terkait layanan dan produk-nya. Kini, konsumen pariwisata akan lebih concern terhadap aspek kesehatan dan keselamatan dari layanan dan produk yang ditawarkan industri ini. Sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability) misalnya, akan mempengaruhi keputusan konsumen untuk memilih akomodasi maupun destinasi yang akan mereka kunjungi. Dari sisi supply, para pelaku pariwisata juga harus didorong untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dengan menyesuaikan business process maupun Standard Operational Procedure (SOP) usaha pariwisata yang mereka miliki termasuk meningkatkan kapasitas sumber daya manuasianya. Dalam resilience-based framework, Pandemi Covid-19 ini tidak hanya dipandang sebagai tantangan bagi industri pariwisata, namun juga sebagai peluang untuk bertransformasi, yaitu proses memulai kembali (restarting), mengatur ulang (organizing), dan mengasimilasi industri pariwisata sesuai dengan standar dan aturan terbaru yang diperlukan untuk menghidupkan kembali industri ini. Pada era post Covid-19 nantinya, industri pariwisata diharapkan mampu menjawab tantangan global. Karena setelah melewati fase resilience, industri pariwisata selanjutnya diharapkan mampu bertransformasi menjadi sebuah industri yang bersifat berkelanjutan (sustainable), mampu memberi kesejahteraan pada masyarakat luas (well being of society), mampu memitigasi perubahan iklim, dan melibatkan masyarakat lokal sebagai sentra perubahan. Pariwisata berkelanjutan dalam konteks resilience-based framework menekankan bahwa pasca pandemi nanti, industri ini harus bisa bertransformasi meninggalkan “sisi gelap” pariwisata yang terjadi selama ini, seperti devripasi lingkungan dan exploitasi ekonomi yang berlebihan, menuju pariwisata yang lebih sustainable. Para penyedia jasa pariwisata juga dituntut untuk mendorong permintaan baru (a new demand) di bidang pariwisata dengan menyediakan produk – produk pariwisata yang bersifat berkelanjutan tersebut. Selanjutnya pariwisata juga diharapkan mampu bertransformasi menjadi industri yang lebih mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas. Transformasi tersebut dilakukan guna mengubah fokus industri pariwisata yang sebelumnya diprioritaskan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, namun kini diharapkan mampu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pandemi ini telah memaksa kita untuk merubah preferensi dengan lebih memilih hal – hal yang berbau lokal, dan industri ini harus memanfaatkan momentum ini untuk dapat lebih memberdayakan muatan lokal sehingga memberi dampak yang lebih besar pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Transformasi industri pariwisata pada era post pandemic yang diharapkan selanjutnya adalah industri pariwisata dapat memitigasi perubahan iklim. Industri pariwisata yang selama ini mejadi salah satu penyumbang perubahan iklim karena banyak memakan sumber daya, diharapkan mampu berubah menjadi industri yang lebih ramah lingkungan. Pandemi covid-19 ini dapat menjadi saat yang tepat bagi stakeholder pariwisata untuk menempatkan penyelamatan lingkungan sebagai prioritas demi keberlangsungan industri ini di masa depan. Selanjutnya, transformasi industri pariwisata diharapkan melibatkan masyarakat lokal sebagai sentra perubahan. Industri pariwisata diarahkan untuk memenuhi kebutuhan akan community – centered tourism atau pariwisata berbasis masyarakat lokal sehingga manfaat industri ini dapat sebesar – besarnya dirasakan masyarakat lokal. Pemulihan industri pariwisata bisa dikatakan sebagai jalan terjal yang harus dilalui tidak hanya oleh Indonesia, namun juga semua negara di dunia. Optimisme akan kebangkitan kembali industri ini harus tetap dijaga mengingat secara historis industri ini terbukti mampu bangkit kembali dengan cepat dari beberapa krisis seperti krisis ekonomi, bencana alam, maupun wabah (Ebola, SARS, MERS, dan sebagainya). Pun pandemi covid-19 ini, telah menjadi pengingat untuk memikirkan kembali arah pembangunan pariwisata menuju pariwisata yang bersifat sustainable untuk dapat dinikmati anak cucu kita nanti. Namun demikian, penanganan pandemi tentunya menjadi kunci utama pemulihan ekonomi termasuk pemulihan sektor pariwisata. Untuk itu, upaya pemerintah untuk segera mengakhiri pandemi ini harus sepenuhnya didukung dengan tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan dan berpartisipasi dalam program vaksinasi. Catatan: Ditulis kembali dengan penyempurnaan isian dari artikel sebelumnya yang telah dimuat pada situs berita detik.com dengan judul “Kerangka Kebijakan Pemulihan Pariwisata Nasional” yang dapat diakses pada tautan https://news.detik.com/kolom/d-5707645/kerangka-kebijakan-pemulihan-pariwisata-nasional . Referensi Purba, Fathiah, dan Steven, 2021). The Impact of Covid-19 Pandemic on The Tourism Sector in Indonesia. Jurnal Aplikasi Ekonomi, Akuntansi dan Bisnis, 3 (1), 389 – 401. Sharma, Thomas, dan Paul (2021). Reviving tourism industry post-COVID-19: A resilience-based framework. Tourism Management Perspectives, 37, 100786. UNWTO (2020).World Tourism Barometer Vol 18 (7), Desember 2020. Data Produk Domesti Bruto (PDB) dan Pariwisata dari www.bps.go.id.
MENYULUT ENERGI HIJAU DARI EMAS CAIR: PERAN STRATEGIS KELAPA SAWIT DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Read More